Fermentasi Tempo Hari, Saat Ini, Hingga Nanti.

Oleh Reyza Ramadhan (FAO & Parti Gastronomi)

Ilustrasi oleh Shilfina Putri

Diawal pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, semua terasa normal tanpa ada perubahan. Dua minggu setelahnya, mulai ada yang dirumahkan dan kita belajar menerima dengan tatanan yang baru. Tatanan dimana kita harus terbiasa melakukan hampir semua aktifitas dari rumah. Di rumah saja, menjadi sebuah plot yang harus diterima. Lucunya, sebelum semua berubah menjadi seperti sekarang, kita selalu memimpikan punya waktu lebih panjang untuk berleha-leha dirumah. Sekarang? Kita punya lebih dari cukup, pertanyaan selanjutnya, sampai kapan bisa bersabar?

Banyak kegiatan harus ditunda atau bahkan dibatalkan, tentu banyak yang kecewa tapi juga tak sedikit yang cukup mengambil hikmahnya. Kalau dihitung sejak kasus pertama, kita sudah lewati lebih dari 2 bulan dengan kondisi yang kita beri tajuk “normal yang baru”. Bosan sudah menjadi kata sifat yang sering diucap, apalagi bagi yang sering melangkahkan kaki kesana kemari untuk alasan kerjaan atau plesiran. Namun, nyatanya banyak cara untuk mengusir kebosanan, salah satunya dengan mempelajari hobi yang baru. Bagi saya, belajar soal fermentasi jadi hal yang saya benar-benar dalami. Tahun lalu bersama dengan kolektif kuliner yang saya asuh bersama Hardian Eko Nurseto dan Arifin Windarman, kami melakukan perjalanan ke 8 kota di Indonesia. Tujuannya untuk mendokumentasikan delapan produk fermentasi di setiap daerah itu. Tentu riset dilakukan, namun rasanya belum banyak yang kita praktikan.

Sejak bekerja dari rumah, keintiman saya dengan dapur seperti tak berjarak, saya bisa menemuinya kapanpun. Momen tersebut saya pakai untuk banyak mempelajari soal jamur dan bakteri, yang akhirnya membantu proses perubahan kandungan sehingga beberapa bahan baku mencapai puncak kenikmatannya. Sampai hari ini tidak ada penjelasan yang sangat jelas kapan pandemi ini berakhir. Mengawetkan makanan dengan fermentasi menjadi salah satu mode bertahan hidup selain memproduksi bahan pangan itu sendiri. Melalui budaya fermentasi, nenek moyang kita mengajarkan kita akan dua hal; bersyukur dan bersabar. Bersyukur dengan tidak menyia-nyiakan bahan baku yang ada, sebagian dinikmati sekarang dan sisanya diawetkan. Bersabar, karena fermentasi bukan makanan instan, seperti cinta sejati yang layak dinanti.

Berbekal riset kecil-kecilan dan bahan baku yang masih bisa didapatkan di pasaran. Saya ingin membagikan resep bumbu dasar merah yang sebelumnya saya fermentasikan dengan cara lacto-fermentation. Berikut adalah detailnya, sila dicoba.

Bumbu Dasar Merah Fermentasi

Bahan Baku

  1. Cabe merah besar 250 gr
  2. Cabe hijau besar 100 gr
  3. Cabe Rawit 50 gr
  4. Bawang Putih 8 siung
  5. Minyak Kelapa 2 sdm
  6. Gula pasir 2 sdm
  7. Garam laut

Cara membuat

  1. Cuci bersih cabe merah besar, cabe hijau besar, cabe rawit, dan bawang putih
  2. Iris tipis semua bahan.
  3. Masukan bahan2 ke dalam toples lalu isi air bersih hingga semua bahan. terendam air. Timbang berat bahan baku beserta air (dikurangi berat toples)
  4. Pisahkan air ke wadah lain dan campur dengan garam laut sejumlah 2% dari total berat bahan baku dan air yang sempat dihitung tadi. Lalu masukan kembali ke dalam toples berisi bahan baku.
  5. Diamkan selama 7-10 hari di ruangan yang sejuk
  6. Setelah didiamkan selama 7-10 hari, tiriskan bahan baku lalu haluskan.
  7. Panaskan minyak kelapa lalu tambahkan bumbu dasar merah yang sudah dihaluskan, tambahkan gula , masak hingga harum
  8. Setelah dingin bisa dipindahkan ke wadah makanan dan disimpan di lemari pendingin