“Aren’t We All Alone Together?”: Relasi Personal dengan Dapur dari Lokakarya Kitchen Mapping

Gatari Surya Kusuma

Judul tulisan ini saya dapatkan ketika saya dan rekan saya, Kharunnisa sedang memfasilitasi serangkaian lokakarya tentang dapur di sebuah institusi seni bernama BAK (basis voor actuele kunst) di Utrecht, Belanda. Bakudapan diundang untuk mengisi serangkaian lokakarya selama lima hari yang berkaitan dengan dapur. Lima seri lokakarya ini kami bingkai dalam satu payung berjudul ‘Kitchen Atlases’, dimana nantinya semua lokakarya ini akan menginvestigasi lebih jauh soal beragam isu melalui satu ruang, yaitu dapur. Alih-alih melihat dapur hanya sebagai tempat pangan diproduksi, kami ingin menelisik lebih dalam soal politik, budaya, ekonomi, gender, dan lainnya yang tercipta dari seputar perdapuran, melalui hal mikro, misalnya; resep, kerja, memasak, dan sebagainya.

Dari kelima lokakarya yang kami inisiasi, ada satu lokakarya diantaranya membicarakan tentang relasi kuasa dapur dan fungsi dapur. Lokakarya itu bernama Kitchen Mapping. Di banyak budaya, kerja dapur kerap diasosiasikan sebagai kerja perempuan serta dianggap sebagai kerja-kerja perawatan. Anggapan yang mengakar tentang dapur sebagai sebatas ruang masak seolah menyelimuti kompleksitas yang terjadi di dalamnya. Dibalik praktiknya, dapur justru menjadi tempat terjadinya kontestasi atas kuasa dan dominasi. Kontestasi tersebut terjadi ketika dapur menjadi ruang persinggungan laki-laki dan perempuan, majikan dan pekerja, ibu dan anak, atau bahkan teman-teman satu kontrakan. Dalam lokakarya ini, dengan menggunakan cara menggambar denah dapur masing-masing, para peserta diminta menceritakan berbagai kegiatan dan kebiasaan yang terjadi di dapur mereka sehari-hari. Hal ini kami gunakan untuk memantik refleksi dan pikiran kritis atas kerja-kerja dapur melalui aktivitas keseharian, kebiasaan, tugas, posisi serta relasi personal yang terjadi.

Begitulah kira-kira metode yang kami uji coba terkait membicarakan peran kerja dan gender yang umum terjadi di berbagai budaya, melalui situs yang kami anggap privat, yaitu dapur.  Kami masih belum yakin apakah metode lokakarya ini bisa menjadi pisau tajam untuk mendedah persoalan relasi kuasa, budaya patriarki, dan persoalan yang lebih luas daripada dapur itu sendiri. Oleh karenanya metode ini akan terus kami uji coba dan kritisi kembali.  Pertanyaan selanjutnya adalah jika dapur mampu membicarakan relasi kuasa yang terjadi dalam kegiatan yang bersifat domestik, lalu sejauh hal ini kemudian bisa digunakan untuk melihat gejala problema sosial yang lebih luas? Dan sejauh apa dapur sebagai salah satu ruang privat dipengaruhi oleh hal-hal di luar perdapuran?

Hal ini menjadi ketertarikan sendiri bagi saya, karena kemudian saya menyadari perbedaan geografi, budaya, sistem sosial, ekonomi dan lainnya turut membentuk apa yang terjadi di dapur. Saya akan menceritakan lebih lanjut lewat impresi saya akan kota Utrecht, kota di belahan bumi barat sana yang bagi saya cukup dingin baik secara temperatur maupun secara aura.

Impresi Awal Kota Utrecht

Ini adalah perjalanan pertama saya mengunjungi kota Utrecht dan terjadi di musim dingin. Saya tidak begitu kaget dengan suhu dinginnya karena saya sudah persiapan dengan membawa setumpuk baju hangat dan antangin, namun saya lebih merasa kaget dengan perasaan sepi yang dihadirkan kota ini. Selain karena perasaan asing berada di tempat baru, juga karena ritme hidup yang sangat berbeda di tempat saya hidup saat ini, Yogyakarta.

Saya memulai hari lebih pagi karena masih harus berjuang melawan jetlag yaitu pukul 5 pagi. Sedangkan matahari terbit setelah pukul 9 pagi. Di hari pertama hingga ketiga, kami menumpang tidur di rumah salah satu rekan kami bernama Annette. Ia tinggal bersama keluarganya. Ia adalah seorang seniman, pengajar, sekaligus peneliti. Kami tinggal di lantai tiga, sedangkan segala aktivitas rumah itu terjadi di lantai dua. Kamar yang kami tinggali cukup menyenangkan, tenang, dan hangat. Kami bisa melihat ke jendela luar untuk tahu lingkungan sekitar–meskipun tidak ada kesibukan yang cukup signifikan.

Saya terbangun dalam keadaan masih gelap namun mata sudah 100% on. Jadilah saya mencari kesibukan di dapur dan berada di depan laptop menjadi pilihan akhir. Waktu berjalan begitu cepat rasanya dalam tiga hari pertama. Entah saya yang terlalu lama di depan laptop dan enggan untuk beraktivitas di luar atau memang waktu berjalan cepat dan pendek karena matahari menunjukan dirinya dalam waktu singkat di musim dingin. Selain itu, toko-toko yang buka mulai pukul 10 AM, akan tutup pukul 7 PM. Saya menyadari itu, ketika saya memutuskan untuk keluar menghadiri satu pertemuan dengan pihak museum tempat kami akan menyelenggarakan workshop. Saya harus pergi sendiri karena rekan saya sedang sakit. Selepas dari museum, saya sengaja untuk berjalan memutar sedikit mencari makan malam. Pada saat itu, waktu menunjukkan pukul enam menuju pukul tujuh malam. Yang saya temui adalah toko-toko bersiap-siap untuk menutup gerainya. Akhirnya, saya berhenti di supermarket untuk membeli makanan cepat saji dan buah-buahan.

Ritme hidup ini sangat berkebalikan dengan ritme hidup saya di Yogyakarta. Di sana saya terbiasa hidup dalam keramaian dan terkadang kemacetan dalam musim libur. Rasanya Yogyakarta selalu tidur larut malam dan berakhir lelah. Pukul tujuh malam, saya masih melihat lampu-lampu dan toko-toko masih menyala dengan sangat terang. Parkiran kendaraan di depan gerai Indomaret masih berjubel penuh. Atau ketika saya tiba-tiba mencari teman makan malam, akan sangat mudah dilakukan tanpa janjian berhari-hari sebelumnya. Tentu saja perbedaan suhu dan cuaca sangat mempengaruhi bagaimana orang-orang hidup di kedua kota ini. Kesan berbeda ini menjadi impresi penting dalam perjalanan sepuluh hari ke depan bagi saya.

Pengalaman Pergi ke Supermarket

Jika melihat kembali kepada sejarah kolonialisme, Indonesia menjadi bagaian dari koloni Belanda selama kurun waktu yang cukup lama yaitu 3,5 abad. Tentu saja, diawali dengan keingin tahuan akan dunia lain dan pencarian sumber-sumber kekayaan duniawi seperti rempah-rempah. Namun yang selalu menjadi pertanyaan bagi saya, apakah awal tujuan menjajah demi rempah dimotivasi oleh nilai ekonomisnya di pasaran dunia kala itu saja, atau juga dipantik dari kebutuhan untuk memperlezat budaya makanan mereka sendiri? Mengingat, beberapa jenis masakan Belanda pun tidak banyak yang menggunakan rempah-rempah. Meskipun tidak dipungkiri banyak juga terbit buku resep masakan campuran atau saling mempengaruhi dari budaya makan Belanda dan Indonesia sejak masa kolonial dari orang-orang Belanda. Selain itu banyak juga restoran masakan Indonesia di sana. Tetapi tetap saja semur di Indonesia terasa lebih mantap daripada smoor di rumah makan Asia di Belanda. Bahkan konon katanya Indomie di Belanda lebih minim rasa gurihnya daripada yang kita makan sehari-hari di Indonesia.

Persoalan ini kemudian cukup membantu saya dalam mengatur ekspektasi terhadap rasa masakan Belanda. Mereka memiliki tone rasa yang berbeda dengan makanan Indonesia meskipun berjudul sama. Awalnya saya merupakan pribadi yang snob untuk menentukan rentang rasa enak dan tidak enak sebuah makanan. Misalnya saja, karena saya berasal dari Jawa Timur, ada beberapa makanan di Yogyakarta yang tidak bisa saya terima hanya karena tidak sama dengan cita rasa di kampung halaman saya, pecel misalnya. Saat ini, saya sudah melewati masa itu. Saya selalu menaruh lidah dan pikiran saya lebih terbuka terhadap rentang rasa enak dan tidak enak sebuah makanan, terutama jika sedang berpergian. Termasuk pengalaman di Belanda pada saat itu.

Di hari keempat, kami berdua tumbang karena flu. Mungkin karena cuaca dingin dan kondisi badan sudah tidak begitu fit, jadi cukup mudah terkena virus. Sayangnya, beristirahat lebih tidak bisa menjadi pilihan pada saat itu karena harus tetap menjalankan workshop sesuai jadwal. Jadilah kami selalu mencoba untuk mencari hal-hal yang membuat kami nyaman, salah satunya adalah makanan. Saya pergi ke supermarket lalu melihat tumpukan jeruk yang sangat menggiurkan. Lalu, di bagian rak pendingin, saya melihat ada bagian masakan Asia. Mata dan tangan langsung menuju kepada satu kotak nasi goreng. Dengan girang dan harapan besar, bahwa nasi goreng dan jeruk mampu menjadi makanan yang  menyamankan lidah saya. Tidak hanya itu, di bagian lain ada juga masakan ayam, babi, dan daging sapi yang sudah berbumbu. Untuk menyantapnya, kita tinggal panaskan menggunakan microwave. Selain itu, ada satu pojok yang mendisplay roti dengan banyak pilihan. Semua bisa didapatkan dengan mudah. Saya sempat berfikir, mudah juga untuk hidup dengan makanan seperti ini. Saya tidak perlu pusing untuk membuat bumbu-bumbu dan menjalani beberapa proses memasak.

Begitu sampai di tempat kami tinggal, segera saya menuju microwave dan memanaskan nasi goreng pujaan saya. Saya sudah mengangankan nasi goreng yang terasa asin, pedas dengan aroma khas, untuk menghangatkan badan dan mengisi perut setelah seharian beraktifitas. Sayangnya, nasi goreng “made in Utrecth” ini sangat jauh dari ekspektasi saya. Ia kering dan terasa begitu hambar. Saya mengalami patah hati berkeping-keping karena telah menaruh harapan besar kepada nasi goreng untuk menghalau dingin cuaca dan kondisi kesehatan badan yang kurang baik. Meskipun saya sudah berusaha “open mindset” terhadap perbedaan rasa seperti saya jelaskan tadi diatas, tapi saya terlalu sakit hati terhadap nasi goreng yang baru saja saya beli. Bahkan nasi goreng paling tidak enak yang dijual di Indonesia masih terasa lebih baik.

Kitchen Mapping

Sampailah kami pada lokakarya hari ketiga, dimana kami akan melalukan Kitchen Mapping. Partisipan yang hadir berjumlah enam orang pada saat itu. Kami memulai lokakarya dengan perkenalan satu per satu sembari duduk melingkari meja berbentuk kotak. Setelah perkenalan, kami lanjutkan dengan pembahasan tentang ide dan teknis lokakarya.

Dalam kegiatan ini, masing-masing peserta diminta untuk menggambarkan denah dapur dan porsi kegiatan serta posisi diri mereka, sehubunggan dengan pengguna lain di dalam dapur tersebut. Jika memang ada tegangan atau konflik yang berkaitan dengan pembagian wilayah, juga penting untuk digambarkan. Setelah menggambar, masing-masing peserta wajib untuk menceritakannya. Cerita dimulai tentang bagaimana dapur rumahnya secara fisik, mulai dari desain, bentuk dan ukuran. Kemudian cerita tentang aktivitas dan hal yang menyangkut territorial, tugas, dan kebiasaan dari para penggunanya. Selanjutnya, tentang konflik yang seringkali terjadi di dalam dapur baik yang bersifat halus, seperti negosisasi waktu kapan menggunakan dapur maupun yang cukup tegang, misalnya apa yang boleh dan tidak boleh dan siapa yang membuat peraturan. Seluruh peserta pun bergiliran untuk menceritakan dapurnya.

Awalnya saya sebagai fasilitator merasa penting untuk fokus kepada konflik dan hubungan kuasa yang terjadi di dapur untuk melihat persoalan sosial yang lebih luas. Nyatanya, sepanjang cerita, saya justru menangkap bahwa bagaimana perkembangan teknologi, ekonomi, dan budaya turut membentuk aktivitas dapur dengan si penggunanya yang juga bisa menjadi cara membaca konteks sosial yang lebih luas. Hal ini saya tangkap dari cerita peserta lokakarya di Utrecht ini, dimana aktivitas serta pemaknaan ruang dapurnya cukup berbeda dengan yang pernah saya temui dalam lokakarya ketika diadakan di negara-negara Asia, seperti Indonesia dan Malaysia.  

Jika awalnya saya memiliki anggapan bahwa dapur yang baik adalah yang mampu memfasilitasi proses pembuatan pangan, mulai dari nol atau from the scratch hingga siap di meja makan, maka kali ini pikiran saya menjadi lebih terbuka. Saya melihat bahwa kebutuhan individual serta bagaimana hal tersebut terkait dengan kebutuhan sosialnya, penting untuk dilihat terlebih dahulu sebelum menentukan fungsi dan makna dapur bagi penggunanya. Mengingat, keterhubungan sebuah ruang dan individu bersifat personal dan tidak bisa disamakan dengan individu lainnya. Meskipun mereka juga menganggap dapur adalah ruang privat bagi mereka selain ruang kamar tidur dimana mereka meletakan segala idealismenya tentang kesehatan, preferensi rasa, serta harmonisasi dengan anggota rumah lain untuk berada di dapur, namun mereka juga mengalami penggeseran fungsi dapur. Hal ini mungkin saja dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, posisi perempuan yang semakin setara dengan laki-laki dalam dunia kerja serta di sisi lain kehidupan kota yang semakin kapitalis dimana waktu harus dapat dikonversi dengan nilai ekonomi. Intinya, sebagian besar dari mereka tidak lagi menggunakan dapur untuk produksi makanan dari nol, mengingat apa yang disediakan oleh supermarket yang sebagian besar didominasi makanan setengah siap saji. Pastinya supermarket tersebut mensuplai sesuai kebutuhan dan kemampuan sebagian besar pangsa pasarnya, yang mungkin saja kelas pekerja, seperti para peserta lokakarya yang hadir. Mereka terlalu lelah untuk memasak dan terlalu boros untuk setiap hari makan di luar. Ternyata dimana-mana kelas pekerja memiliki situasi yang hampir sama, sibuk berkutat hanya untuk bertahan hidup.

Semua peristiwa era kontemporer ini, menunjukkan kepada saya bahwa dapur bisa digunakan sebagai salah satu indikator untuk melihat kecenderungan cara hidup sosial manusia saat ini. Mungkin ketika sebelumnya–era awal modern– dimana banyak ditemukan teknologi baru seperti food processor, microwave dan sebagainya, dapur banyak diarahkan sebagai lokus untuk para wanita bereksperimen dengan dunia permasakan. Saya membayangkan sebuah foto khas keluarga Amerika yang tampak bahagia berkumpul ketika menyantap makan malam yang sempurna, tentunya dengan dandanan sang ibu yang tetap paripurna setelah memasak berbagai masakan kesukaan keluarga.

Namun lain hal yang saya dapat dari cerita para peserta. Fungsi dapur sebagai tempat memasak “from the scratch” untuk seluruh anggota keluarga oleh satu gender tertentu sudah jarang ditemukan. Bahkan makan malam bersama bukan lagi satu hal yang rutin dilakukan. Mungkin karena semakin mahalnya pengeluaran untuk sehari-hari maka posisi ayah-ibu atau pria dan wanita semua harus sama-sama bekerja. Jangan bayangkan mereka bisa membayar asisten rumah tangga seperti yang masih banyak kita temui di Indonesia. Persoalan efisien dan ekonomis-lah yang menjadi pertimbangan utama. Bahkan dalam satu keluarga terkadang mereka menjalani aktifitas makannya sendiri-sendiri sesuai dengan ritme pekerjaan mereka. Kemudian kerja terasa menjadi suatu prioritas dalam hidup dan terasa mengalienasi. Maka, tidak heran jika salah satu peserta lokakarya berpendapat bahwa, “bukannya saat ini kita semua memang hidup sendiri-sendiri?” Kata-kata ini cukup menohok buat saya, karena disaat yang bersamaan saya melihat posisi perempuan dan laki-laki yang cukup egaliter namun di sisi lain bagaimana kehidupan yang individualis ini terasa begitu dingin bagi saya. Hal ini jadi terasa benar saat saya kaitkan dengan perasaan sepi dan kehidupan serba praktis yang saya tangkap di awal kunjungan ke Utrecht adalah salah satu petunjuk tentang cara kehidupan sosial manusia yang berusaha disampaikan dari kisah antara hubungan personal dan dapur sebagai ruang privat.

Saya baru menyadari bahwa melalui lokakarya ini saya bisa melihat hal baru melalui dapur. Saya memang memiliki posisi sebagai fasilitator dalam lokakarya tapi tidak menutup kemungkinan kami bisa saling belajar dan terbuka dalam melihat hal baru. Tanpa sadar, mungkin selama ini dalam benak saya yang selalu membayangkan dapur ideal adalah yang begini atau begitu, merupakan cara pikir patriarkis yang layak untuk digugat, karena sesungguhnya dapur ideal tiap orang itu berbeda.