Refleksi Pergi ke Timur; ke Morotai

Monika Swastyastu

Saya tak menyangkal bahwa gagasan awal ‘perjalanan ke Timur’ dalam projek Moro Moro ini sangat menggugah selera saya pribadi. Bentukan didikan antropologi selama empat tahun masih membekas dalam diri saya— yang tentunya ini terlalu konservatif—bahwa pergi sejauh mungkin ke pedalaman, melakukan riset lapangan etnografi, kemudian pulang dengan cerita-cerita (yang kadang dilebih-lebihkan) tentang ‘liyan’ yang jauh dari pusat terasa ‘antropolog banget’. Maka untuk saya yang belum ‘antropolog banget’ karena belum ke timur, dan belum pernah hidup di ‘pedalaman’ Kalimantan atau Sulawesi dan belum pernah penelitian tentang Sawit (baca: agraria), saya tergiur untuk merasakannya.

Projek Moro Moro ini adalah realisasi dari ide yang muncul setelah kami mengulik beberapa tulisan dari Mamitua Saber (1921-1992), seorang peneliti sosial, pekerja budaya, pendidik dan sosiolog dari Mindanao Filipina. Mamitua Saber merupakan seorang pemimpinyang juga merupakan Suku Moro dan juga beragama Islam. Salah satu karyanya yang menarik perhatian kami ialah tesisnya berjudul “Marginal Leadership in A Culture Contact Situation” (1991) yang menggunakan metode autobiografi tentang etnografi Orang Moro di Mindano, Filipina. Ia banyak menyinggung tentang pemimpin marginal, yaitu autobiografi dirinya sendiri yang berada diantara tegangan konflik dan kontak budaya antar populasi minoritas (Suku Moro di Mindanao yang biasanya beragama Islam) dan mayoritas Filipina yang beragama Katolik.

Mendengar ‘Suku Moro’ yang tidak terlalu asing, kami kemudian mencoba mencari keberadaannya di Indonesia dan menemukan adanya cerita tentang Suku Moro di sebuah pulau bernama Morotai dekat dengan Mindanao, Filipina. Melihat kedekatan geografis antara Mindanao dan Morotai , kami kemudian bertanya-tanya apakah ada relasi antara Suku Moro di Indonesia dengan Suku Moro di Mindano. Pertanyaan sederhana itu membuat kami melakukan perjalanan yang cukup jauh ke Timur, menuju Morotai, untuk mencari Moro. Tentunya sebagai kelompok studi pangan kami juga ingin mengetahui tentang kebudayaan pangan dan agrikultur di Morotai, Maluku Utara.

Dalam perjalanan ke Morotai ini saya pergi bersama dengan rekan saya Gatari Surya Kusuma  (tulisan gatari bisa di baca di sini). Berdua kami menuju ke Morotai lewat Makassar, Ternate dan kemudian Pulau Morotai.  Seperti yang bisa dilihat di peta, Pulau Morotai merupakan pulau kecil paling ujung Utara Indonesia yang berbatasan dengan Filipina. Penduduk di Pulau Morotai ini mengaku bahwa mereka semua pendatang , katanya “tara ada orang asli Morotai, yang asli hanya orang Moro”. Para pendatang ini berasal dari berbagai latar belakang : Jawa, Bugis, Tobelo, Galela, Tengger, Menado, Ternate dsb. Lingua Franca di Morotai adalah bahasa Melayu Ternate, sedangkan bahasa Tobelo, Galela merupakan bahasa daerah yang mayoritas terdengar di tempat-tempat umum karena mayoritas pendatang merupakan orang Tobelo dan Galela.

Pesona Pulau Morotai bisa dibilang sangat memabukkan mata, hati dan pikiran. Pasir putih, pohon kelapa yang berjajar bergoyang karena angin laut, dan gelombang ombak kecil berwana biru yang bergemelapan karena cahaya matahari, merupakan gambaran nyata dari imajinasi akan Indonesia Indah atau Mooi Indie. Keindahan inilah yang membuat hampir seluruh bibir pantai di Morotai telah dibeli oleh investor domestik dan internasional, privatisasi yang menutup akses nelayan lokal untuk melaut. Kegiatan transaksional tersebut di bungkus manis dalam sebuah program pembangunan Morotai untuk menjadi salah satu dari 10 Bali Baru Indonesia dan menjadikan Morotai sebagai KEK atau Kawasan Ekonomi Khusus. Tak perlu peramal jitu jika nantinya akan lebih banyak lagi penjajah-penjajah yang datang atas nama pembangunan dan kemajuan ekonomi.

Pada suatu hari yang terik, rekan kami Erwin dari Simpul Papeda[1] mengajak kami untuk mengunjungi keluarga Om Amo[2] yang berada di Desa Tawakali, Morotai. Ketika sampai, Om Amo menyambut kami dengan senyum dan langsung mengajak kami masuk ke dalam rumahnya dan menuju dapur. Posisi Dapur dalam rumah-rumah di Morotai berada di bagian paling belakang yang tidak jauh berbeda yang biasa di temukan di Jawa. Rumah-rumah dibangun menghadap jalan utama yang merupakan satu-satunya jalan beraspal di Pulau Morotai. Program bantuan perumahan murah di Morotai mengikuti standar pusat yang sangat ajaib: dinding berbahan bamboo atau anyuman daun dan atap rumbia termasuk tidak layak huni. Alhasil ribuan rumah dibangun dengan dinding beton dan atap seng, membuat panas 31 drajat celcius terasa menjadi hampir 35 tiap harinya (oke saya sedikit berlebihan). Dapur, jika beruntung (seperti Om Amo) entah bagaimana caranya terhindar dari libasan beton dan seng. Sehingga paling tidak dapur menjadi ruangan yang paling lumayan sejuk untuk berkumpul.

Menuju dapur yang terletak di bagian paling belakang rumah maka harus melewati bagian-bagian rumah yang lain seperti ruang depan, kamar, ruang tengah dan ruangan yang lain. Sehingga tidak semua orang yang baru saja dikenal dapat ‘diterima’ di dapur sebagai area privat. Ketika saya dan Gatari menuju ke dapur rumah Om Amo, artinya kami telah menyerbu privasi keluarga Om Amo dengan melewati kamar-kamar dan mengamati benda-benda yang ada di rumah mereka. Sesampainya di dapur kami duduk di kursi panjang yang mengapit meja kayu yang diselimuti dengan taplak plastik bermotif. Sedikit canggung, beberapa percakapan basa-basi terlontar. Om Amo terlihat tidak terlalu nyaman menatap mata kami, terlebih lagi dengan gap bahasa yang membuat percakapan jadi sedikit kagok.  Tiba-tiba bau minyak kelapa semerbak, satu demi satu makanan terhidang di atas meja , pisang goreng, kasbi (singkong) goreng , telur goreng, sambal dan kacang goreng. Kami dipersilahkan makan. Seketika semua menjadi hening karena ternyata keluarga Om Amo menunggu respon kami yang sedang menyantap. Ketika kami bilang “jame” yang artinya enak, semua orang jadi tertawa dan mulai ikut makan juga.

Setelah makan, Om Amo meletakkan buah pinang, sirih dan kapur di atas meja. Gerakan tangan Om Amo secara lihai membelah buah pinang, lalu dimakannya cuilan buah pinang itu, kemudian digigitnya sirih yang sudah dicocol pada butiran kapur. Cara makan yang mirip makan gorengan dengan lombok rawit. Setelah itu Om Amo menawari kami untuk mencoba. Ragu-ragu sudah pasti. Saya hanya ingat waktu kecil sering melihat mbahuti saya nyinang sampai giginya merah-merah. Merasa tertantang sebagai anggota food study group kan ya, saya dan Gatari mencoba makan pinang, sirih dan kapur. Awalnya terasa asanya seperti memakan tanaman, tiba-tiba ada rasa gurih, dan rasa kebas aneh menyeruak dalam mulut. Pedas, kebas, pahit tapi segar. Aneh sekali. Raut muka kami menyerngit keras sebagai respon penolakan dengan kompilasi rasa yang muncul. Melihat muka kami yang sedemikian rupa anehnya, Om Amo dan seluruh keluarga tertawa.

Pada akhirnya saya dan Gatari menyerah untuk mengunyah dan menghisap pinang, sirih dan kapur dalam kurang dari satu menit. Indera perasa kami hanya dapat bertahan dalam beberapa kali kunyahan. Kami tidak kuasa untuk bergegas menuju halaman di samping dapur Om Amo dan meludahkan semua isi mulut. Ludah kami berwarna merah darah terpapar dengan beberapa semburat pinang di atas tanah, di halaman. Setelah itu, kami bergegas untuk meminta air putih, minum beberapa gelas dengan cekatan, kemudian meraih manisan kalua yang terbuat dari kacang tanah dan gula aren, yang rasanya seperti enting-enting di Jawa. Barulah kami merasa lega setelahnya, ketika rasa kebas aneh hilang dari lidah digantikan manisnya manisan kalua.

Beberapa menit kemudian setelah kejadian pinang tersebut—meskipun kami tidak berhasil untuk menghisapnya— saya mendapati Om Amo tidak berhenti bercerita, tentang Morotai, tentang sejarah keluarganya yang merupakan pendatang, tentang Orang Moro, tentang sesaji berupa nasi kuning yang dulu sering dilakukan dan dipersembahkan pada pohon dan batu besar, hingga menggundang kami ke pertunangan anak perempuannya yang terjadi pada minggu depan. Kami dan Om Amo seperti kawan lama yang baru berjumpa kembali, kejadian yang agak mengagetkan mengingat suasana canggung yang beberapa jam lalu masih mendominasi dapur. Entah Om Amo agak nge-fly karena pinang, sirih dan kapur tadi atau memang suasana telah menjadi hangat dengan sendirinya.

Saya merasa bahwa saya dan Gatari telah melewati sebuah inisasi kecil yang tidak terungkap. Saya tidak akan membawa peristiwa makan ini lebih jauh sebagai sebuah ritus peralihan ala Van Gennep dan Victor Tuner. Hanya saja, sebuah inisiasi sederhana terselip tak terkatakan pada masakan yang tersaji di meja makan. Mourice Bloch berpendapat jamuan makan bersama tidak hanya memperkuat solidaritas tapi juga “find out how far the other is willing to engage in greater intimacies[3] Pada saat itu posisi superior bukanlah milik kami, tapi milik tuan rumah. Jika kami melakukan hal yang tidak sesuai dengan hati tuan rumah, maka tentu dengan mudah kami bisa diusir, digunjingkan sekampung, dan sulit untuk berteman dengan siapapun.  Terlebih lagi ketika pinang sirih dan kapur ditawarkan. Pinang, sirih dan kapur masih menjadi makanan penyambut utama di Morotai yang biasanya disuguhkan kepada tamu bersamaan dengan rokok. Secara simbolis dan tanpa disadari, sebuah inisiasi kecil telah kami lalui dan merubah status kami dari orang asing menjadi tamu dan kawan baru bagi tuan rumah. Dalam hal ini tuan rumah memiliki kuasa paling tinggi untuk mengafirmasi perubahan status tersebut.

Makan bersama kemudian tidak hanya tentang makanan yang dimakan bersama, tapi juga adanya pikiran, pengalaman, perasaan dan emosi yang dipaparkan di atas meja makan. Pada tahap yang lebih terselubung, penerimaan, penolakan, rasa hormat, ataupun takut terhadap Other juga diekspresikan.  Makan bersama dapat menegaskan rasa memiliki, dan juga apakah seseorang diterima menjadi bagian dari komunitas ataupun sebaliknya. Claude Fischler mengatakan “we send food across the frontier between the world and the self, between ‘outside’ and ‘inside’ our body” [4]. Dalam hal ini, proses negosiasi akan perbedaan antara self dan other terjadi ketika kita makan.

Setelah peristiwa makan di rumah Om Amo, saya baru menyadari bahwa kami (saya dan Gatari) banyak makan dan memasak bersama dengan beberapa keluarga di Morotai. Saya rasa, saya sudah makan segala menu ikan dari yang ditumis, dibakar, digoreng, di-woku dan di-sup. Serta memasak bersama sambal roa, donat santan, sagu kasbi dan beberapa masakan lainnya. Percapakan yang terjadi di seputar dapur dan meja makan terasa hangat dan bersahabat. Saya rasa dalam dapur, dan diatas meja makan terjadi negosiasi antara ‘self’ dan ‘other’ yang terjembatani dengan makanan sehingga posisi peneliti dan narasumber lebih bersifat cair daripada dalam wawancara formal empat mata.

Menjadi Reflektif

Pada sisi yang lain, saya memiliki keresahan tersendiri dalam penelitian ini. Pengalaman meja makan ini tak bisa dipungkiri bisa dilihat sebagai politik di atas meja makan seperti yang dilakukan Obama yang menjamu Presiden Rusia Medvedev untuk bernegosiasi persoalan nuklir, atau juga ketika Jokowi menunjukan hubungannya bersama Prabowo baik-baik saja dengan menyantap ikan bakar. Makanan terbukti dapat melenturkan keadaan dan menghadirkan atmosfer yang lebih bersahabat. Dalam penelitian ini, saya melakukan politik di atas meja makan supaya saya sebagai peneliti mendapatkan data sebanyak-banyaknya dari percakapan informal. Saya merasakan bahwa diri saya adalah oportunis, berusaha memanfaatkan hubungan baik untuk memperoleh data.

Ke-oportunisan saya dalam pencarian data, sebenarnya diakui menjadi sebuah metode penelitian.  Relasi yang saya jalin di dalam dapur dan di atas meja makan, biasa disebut oleh Antropolog sebagai Participation Observation atau dapat diterjemahkan dengan partisipasi observasi. Saya ingat betul kata dosen saya dulu sewaktu kuliah, bahwa untuk menjadi ‘antropolog banget haruslah memahami metode khas ilmu antropologi ini. Maka marilah saya kutip sebuah kutipan dari Bernard (2006:1) yang dapat menjelaskan lebih lanjut tentang metode ini:  

Participation observation is a strategic method involves getting close to people and making them feel comfortable enough with your presence so you can observe and record information about their lives. Participant observation involves immersing yourself in a culture to remove yourself every day from that immersion so you can intellectualize what you’ve seen and heard, put into perspective and write about it convincingly”.

Untuk memahami lebih mudahnya, kita diharuskan untuk menjadi seperti bunglon yang dapat merubah warna sesuai dengan tempatnya hinggap.

 Strategi ini juga, meskipun pada masa imperialisme dan kolonialisme belum disebut sebagai ‘metode partisipasi observasi’ telah digunakan Antropolog untuk mencaplok ‘other’ dengan melabeli masyarakat pribumi sebagai masyarakat primitif, terjebak dalam other yang selalu otentik, esensialis dan spiritualis. Tidak bisa dipungkiri bahwa disiplin ilmu antropologi merupakan salah satu ilmu penjajah yang paling dekat dengan studi Other dan pendefisian primitivisme[5]. Linda Tuhiwai Smith mengatakan bahwa tatapan etnografis antropologi mengoleksi, mengklasifikasi dan merepresentasikan budaya-budaya lain sedemian rupa, hingga antropolog termasuk para akademisi yang dianggap oleh dunia pribumi sebagai lambang dari keburukan akademisi[6]. Antropolog dan bangsa penjajah pada masa itu seakan menyelamatkan artefak-artefak pribumi tapi yang dilakukan adalah merampas dan mencuri barang-barang kebudayaan milik bangsa terjajah. Kolonialisme kemudian tidak hanya berhubungan dengan koleksi tapi juga penataan kembali, representasi kembali dan distribusi kembali.

Kata-kata Linda serta kerja Antropolog pada masa itu mengingatkan bahwa penelitian bukanlah sebuah ranah yang netral dan naif terlepas dari segala kepentingan yang seakan akan dijalankan demi produksi ilmu pengetahuan. Bahwa ‘penjajah’ dan ‘pribumi’ bukan hanya sebuah istilah dikotomi tapi simbol dari hubungan superioritas yang tidak bisa lepas dari politik kuasa dan representasi. Penelitian tanpa disadari juga memproduksi hubungan superioritas yang dimiliki oleh peneliti sebagai yang maha tau dan maha benar yang kemudian merampas begitu saja pengetahuan dan ingatan yang dimiliki oleh subyek—yang tanpa disadari juga sering diposisikan sebagai obyek mati— dalam penelitian. Seperti yang dikatakan Edward Said sebagai “Superioritas posisional[7]”. Bagaimana Other dari bangsa Eropa dianggap “tidak beradap” sehingga dapat diperlakukan semena-mena. Sebagai obyek penelitian, bangsa pribumi dianggap tidak punya hak bersuara dan tidak memberikan sumbangan penelitian apapun.

Pertanyaan yang menghantui saya kemudian ialah bahwa saya, sebagai seorang perempuan, yang sok jadi peneliti, lulusan antropologi, datang ke Morotai jauh-jauh dari Jawa— tergiur dengan penelitian ‘antropologi banget’—apakah ada bedanya dengan penjajah eksploitatif yang datang dalam dunia pribumi? Pertanyaan inilah yang membuat saya tetap sadar bahwa saya sebagai peneliti memiliki privilese untuk menempatkan diri saya pada posisi superior dan subjek penelitian berada di bawah kekuasaan saya. Kesadaran kemungkinan eksploitasi dengan memanfaat posisi saya sebagai peneliti ini membuat saya dapat berhati-hati dan berusaha menempatkan subjek penelitian sebagai agensi yang dapat merepresentasikan diri mereka sendiri.

Hal pertama yang saya lakukan ialah terbuka kepada narasumber dan orang-orang yang saya dan Gatari temui tentang latar belakang penelitian ini. Kami bercerita perlahan-lahan dalam bahasa Indonesia tentang Projek Moro-Moro ini. Perbedaan bahasa menjadi tantangan tersendiri. Kami menjelaskan apa yang akan kami lakukan dengan cerita-cerita Orang Moro, resep-resep, foto, rekaman suara, rekaman gambar, dan catatan-catatan yang kami buat. Kami juga memberi ruang kepada orang-orang yang kami temui untuk menolak bercerita dan menolak kehadiran kami. Tentu saja ini terjadi. Kami beberapa kali ditolak saat mengambil gambar, atau saat minta waktu untuk ngobrol-ngobrol sebentar. Tidak jadi masalah. Bayangkan saja kalau kami di posisi mereka: didatangi orang asing kemudian ditanya-tanya kan pasti juga risih.

Saya tidak memungkiri bahwa saya yang lahir di Jogja, di Jawa datang ke Morotai dan melihat segalanya –membandingkan juga— dengan kacamata urban. Saya mencoba untuk membuang jauh-jauh konsep ‘primitif’ dan ‘eksotis’ dari kepala saya.  Hal ini ternyata sangat membantu. Meskipun tentu saya tidak bisa lepas dari nggumunan[8] ketika melihat suatu hal yang baru dan sangat tradisional. Pada tahap ini, saya bukannya berusaha untuk menjadi other tapi menempatkan other menjadi sama dengan diri saya. Artinya, jika saya memiliki superioritas posisional, maka saya menempatkan narasumber saya juga memiliki superioritas posisional yang sama. Hal yang menarik yang terjadi kemudian, percakapan yang biasanya hanya terjadi satu arah yakni peneliti yang bertanya pada narasumber, dapat juga menjadi dua arah. Bahwa saya juga menjadi subjek yang menarik untuk mereka tanyai. Saya terbuka pada mereka, dan mereka bertanya banyak tentang kehidupan pribadi saya, tentang agama, percintaan, pekerjaan, keluarga dan bahkan cara pandang dalam kehidupan.

Meskipun penelitian singkat di Morotai telah selesai, kami berusaha tetap menjalin relasi yang baik dengan teman-teman di Morotai. Hal yang sangat kami hindari adalah persoalan ‘tabrak-lari’ yang kerap terjadi dalam dunia penelitian: datang penelitian, wawancara, kemudian kabur mendapatkan gelar. Tidak bisa dipungkiri bahwa kami juga merepresentasikan mereka dalam penelitian ini dan juga dalam karya kami. Oleh karena itu, keterbukaan tentang bagaimana mereka direpresentasikan lewat projek Moro Moro ini, kami kembalikan lagi kepada mereka dengan memperlihatkan video karya, dan beberapa foto-foto dalam projek ini. Usaha-usaha ini adalah cara belajar yang saya dan Bakudapan lakukan agar tidak terjebak pada cara pandang kolonial dan menghindari penyalahgunaan posisi superioritas dalam penelitian.


[1] Untuk lebih jauh tentang Simpul Papeda bisa dibuka di http://www.papeda.org/

[2] Bukan nama sebenarnya

[3]Bloch, Maurice (1999) Commensality and poisoning.” Social research (1999) Pg 146

[4] Fischler, Claude. 1988. “Food, self and identity.” Social Science Information 27,2: 272-92.

[5] Stocking G. Jr (1987), Victorian Anthropology, The Free Press, London

[6] Smith, Linda Tauhai (2005), Dekolonisasi metodologi, Insist Press, Yogyakarta, hal 91

[7] Said, E (1978) Orientalism, Vintage Books, New York, hal 7

[8] Nggumunan merupakan bahasa jawa artinya mudah terpesona terhadap hal yang baru