Diary Berkebun (pt.1)

Berikut ini adalah tulisan yang diolah dari Emotional Diary berkebun milik Monika Swastyastu (Tyas). Dalam proyek “Please eat Wildly“, salah satu aktivitas utama yang kami jalankan adalah membuat kebun sendiri di halaman belakang kantor KUNCI Cultural Studies Center. Dalam menjalankan aktivitas berkebun kami menggunakan Emotional Diary  untuk mencatat pengalaman dan perasaan kami, yang nantinya kami gunakan sebagai cara untuk refleksi dan evaluasi program.

Njajal Berkebun

“Berkebun” , satu kata yang membuat saya sedikit mengernyitkan dahi ketika mendengarnya. Bayangan tentang tanah, cacing, gatal, bau pupuk dan panas terik matahari tiba-tiba langsung menyeruak. Tapi jangan kira kernyitan itu karena takut kotor, atau benci keringat seperti putri manja. Saya ini calon antropolog. Bukan putri manja. Calon antropolog yang diajarkan dan diharapkan untuk blusukan ke tempat-tempat yang seperti dalam reality show tv itu, ketika orang kaya manja njajal hidup di desa, yang semacam itu lho. Jadi jelas bukan karena saya takut kotor. Ya meski saya akui, saya geli dengan hewan yang menggeliat, berbuku yang muncul seenaknya dari perut bumi.

Kernyitan itu sebenarnya untuk ingatan-ingatan yang lalu. Pengalaman njajal berkebun sebelum ini. Ketika panasnya tangan saya, membuat bibit-bibit segan memunculkan tunasnya. Sangat berbeda dengan ibu saya. Beliau bisa saja lo menyebar benih apa saja di pekarangan kecil kami dan tiba-tiba tumbuh beberapa hari berikutnya. Kalau kata orang tangan beliau itu tangan dingin, bahkan ibaratnya tongkat kayu bisa jadi tanaman. Sedangkan tangan saya? Panasnya minta ampun. Belum pernah saya menanam sampai tanaman itu tumbuh dengan bahagia. Paling, mati ditengah-tengah atau tidak tumbuh sama sekali. Tidak ada sama sekali cerita sukses menanam dalam kenangan

Jadi bolehlah saya berkenyit untuk serbuan keraguan yang muncul dalam ide berkebun ini. Tapi melihat semangat yang ada dalam komunitas kecil kami, saya menampik keraguan itu. Walaupun baru kemudian saya tau, belum pernah juga di antara kami ada yang berpengalaman menggarap kebun sebelumnya. Mantap bukan? Kami, sekelompok orang nekat yang tidak menggunakan ilmu-ilmu eksata yang jadi tren berkebun kini, serta tidak peduli dengan hitungan rumit waktu tanam, design kebun, atau prosedur tetek bengek lainnya. Tapi kami nggak ngawur lo. Ini learning by doing dan kami sengaja lakukan itu. Kami juga punya ideologi, biar nggak kalah sama kelompok kebun yang lain. Ideologi sederhana untuk mencari tau, menjajal, kenapa sih orang urban pada ngebun? Ada apa dibalik berkebun? Bagaimana caranya berkebun? Kenapa banyak resto yang mulai menanam sendiri bahan masakannya? Kenapa jika diberi label ‘ditanam sendiri’ di kebun belakang, makanan jadi ‘organik’ dan mahal? Apa dengan berkebun kami sudah jadi aktivis pangan? Apakah berkebun itu upaya untuk melepaskan diri dari jeratan politik pangan global?

Jadi bagaimana? Anda yang berkenyit sekarang? Saya bahkan, belum mulai bercerita.

Tentang Bedeng

Awam. Ya, kami orang-orang awam. Orang-orang embuh yang maha tidak tau. Tidak ada di antara kami yang lulusan teknik pangan, pertanian, perkebunan, atau biologi. Hanya kumpulan orang- orang embuh yang berkutat dengan makanan dan sok menganalisis keadaan sosial lewat makanan. Saking embuhnya, kami putuskan untuk menjajal berkebun.

Tiada tahu menahu kami, apa yang harus dilakukan pertama kali. Yang pasti kami ingin menanam. Dari mana asal tanaman itu? Dari bibit. Ingat pelajaran sederhana sekolah dasar tentang pertumbuhan kacang kedelai? Hari demi hari harus mengukur pertumbuhan akar, batang dan daun dari biji kacang kedelai yang diletakkan di atas kapas basah. Diri kecil saya, tidak sabaran menunggu hari berganti. Kedua mata ini, menyaksikan betapa eloknya batang semampai dengan sepasang daun kecil yang terlihat rapuh. Namun hanya dua minggu kedelai itu jadi primadona. Setelahnya, kedelai tidak menarik lagi untuk guru saya. Ia kembali menyuruh menghapal dan menghapal. Sayapun tidak peduli lagi dengan si kedelai yang menguning kering. Mending saya menghapal. Supaya dapat 100, meski tak tau kalau kedelai kecil nantinya bisa jadi tempe atau kecap. Padahal saya suka tempe.

Karena bibit adalah cikal bakal yang penting, kami kemudian memburu bibit. Menghubungi teman-teman yang sudah berkutik dengan kebun sebelumnya. Untung mereka dermawan, membantu orang-orang embuh dengan bibit gratis serta berbagi tips. Karena saya nggumunan melihat betapa baiknya mereka di era yang serba jahat, teman saya lalu berkata “ini namanya kekuatan kolektif”. Tak disangka, bibit- bibit yang kami dapatkan lumayan nyentrik . Ada bibit bunga telang yang sedang tren, bibit kacang-kacangan dari India, labu, sintrong, bayam merah, sawi pak coy dan banyak yang lain. Dengan modal bertanya, mencatat mengangguk-anggukan kepala, dan ber-oooo ria, kami belajar menyemai bibit.

Saat itu giliran bayam merah. Katanya, si bayam ini mudah tumbuh. Jadi kami dengan bersemangat menanamnya tanpa melalui proses penyemaian. ‘Ya kan katanya mudah tumbuh jadi nggak usah disemai deh’, begitu pikir kami. Dengan modal cangkul, tangan siap kotor, dan api-api semangat kami mulai mengeruk tanah dan menimbunnya seperti kuburan kecil untuk kucing atau anjing, tapi ukurannya lebih panjang, berderet empat sampai lima baris. Setelah itu kami membuat lubang-lubang kecil untuk para bibit bayam, kemudian menyiramnya. Tak lupa juga kami berfoto dengan rasa bangga seakan sudah menjadi power ranger lingkungan.

Hari berganti, syukurlah musim hujan. Alam membantu kami, paling tidak kami tidak perlu menyiram si merah secara rutin. Tapi jangan kira semua berjalan bebas hambatan. Kebun kami kerap diserang oleh hewan berkaki empat. Membuat kami berteriak-teriak “Anjing! Jangan diinjak woy njing”. Melihat tunas-tunas bayam sepertinya terancam, kami kemudian memutuskan untuk membuat pagar tali dari rafia. Harapannya supaya anjing itu paham area itu dilarang untuk mereka. Tapi ya, anjing kan tetap anjing.

Hari terus berganti. Kami orang-orang embuh sangat bahagia melihat tunas-tunas bayam merah yang menggerombol dengan manisnya. Bahkan beberapa dari kami sudah membayangkan untuk membuat jangan, salad , gudangan, dan banyak menu yang lain dari si bayam merah.

Sampai suatu ketika, hujan turun terus menerus sepanjang hari. Puncaknya malam itu hujan turun dengan deras. Pagi-pagi, harapan kami kandas. Kebahagian itu hilang. Salah seorang dari kami memposting gambar si merah di whatsapp grup dengan emoticon bertubi-tubi T T . Sepetak bayam kami berubah menjadi kubangan air. Tanah-tanahnya amblas. Tunas-tunas kami hilang terendam dan terseret oleh air hujan. Kami gagal panen. Atau mungkin, gagal tunas? kegeloan ini baru untuk awam seperti kami namun akrab di kalangan petani ketika padinya diserang wereng, cabenya rusak karena hujan atau kolnya dimakan ulat. Bahkan saya rasa, emoticon TT  tidak bisa mewakili gelo nya para petani saat gagal panen. Kalau untuk kelompok kami yang baru saja ‘kemarin sore’ njajal berkebun, saya rasa masih bisa.

Beberapa hari setelah itu. Duka kami mulai pulih, kami mulai membayangkan untuk mulai menanam lagi. Bermula dari penjelajahan internet untuk melihat kebun-kebun organik. Kami mulai menyadari perbedaan petak bayam merah kami dengan petak tanaman organik di internet. Kami orang-orang embuh tiba-tiba mendapat jawaban kenapa petak bayam kami bisa hilang disapu air hujan. Kami yang awam ini merasa mendapatkan pencerahan. Ternyata yang kami perlukan adalah BEDENG untuk menanam, bukan hanya sekedar gundukan tanah.

 

Monika Swastyastu, 2016-2017.