Perjalanan Memahami Pangan Liar

Ketertarikan. Mengapa pangan liar?

Sebagai pengantar, sejak November 2016 saya dan tim Bakudapan telah memulai sebuah proyek Pop-Up Restoran dengan tema pangan liar sebagai menu yang akan kami presentasikan. Mengapa pangan liar? Ada beberapa jawaban atas pertanyaan barusan.

Pertama, karena Bakudapan pernah terlibat dalam sebuah residensi Dapur Komunitas di Dusun Mendira, Jombang yang diinisiasi oleh Holopis dan Mantasa. Lembaga-lembaga tersebut memang sudah lebih dulu bergerak di isu-isu pangan. Kemudian, pengalaman residensi tersebutlah yang mempertemukan saya; bagian dari Bakudapan berinteraksi dengan Komunitas Perempuan Sumber Karunia Alam. Kelompok ini dibentuk sekitar 3 tahun yang lalu oleh lembaga bernama Mantasa. Bersama Mantasa mereka saling mengedukasi tentang tanaman liar yang banyak tumbuh di pekarangan dan hutan mereka. Sumber pangan tersebut tidak datang dari nama-nama tanaman sayur yang familiar saya dengar, sebagai anak muda yang asupan sayurnya sehari-hari bergantung pada pasar tradisional, kios sayur, atau warteg. Sintrong, Ketul, Krokot, Gude, Pegagan, Jelatang, adalah beberapa sayur yang pada awalnya susah sekali saya rekam dalam ingatan. Sejak jaman saya SD, saat bermain menyebutkan nama-nama sayur sesuai abjad, yang kami sebutkan adalah semua yang selalu kami lihat di pasar atau di pedagang sayur keliling. Mulai dari kangkung, bayam, brokoli, wortel dan kentang. Saya rasa sayur-sayur inilah yang tersimpan dengan baik dalam otak karena dikonsumsi sehari-hari. Bahkan sayur-mayur yang populer itu juga sangat sering kita jumpai menjadi bintang iklan bumbu masak produk industri besar. Mendengar cerita-cerita dari Ibu-Ibu di Dusun Mendira, bagi saya yang tumbuh di kota, hal ini menjadi pengalaman baru yang menarik bagi saya. Salah satu contoh percakapan misalnya

“Kalau disini ada istri yang hamil, atau baru saja melahirkan biasanya para suami seringnya pergi ke hutan. Mereka mengambil daun Besaran muda, daun Nangka muda, dan daun Kopi muda. Itu dilalap sama istrinya, supaya ASI-nya lancar…”

Kalimat tersebut menjelaskan bahwa masyarakat desa memiliki pengetahuan yang baik tentang sumber pangan.

Sejak bekerja sama dengan Mantasa, para Ibu kemudian mendirikan kebun bersama untuk membudidayakan beberapa tanaman liar yang bisa diolah, sehingga mereka tidak perlu lagi mengambil di hutan. Kemudian pengetahuan lain yang kami peroleh dari residensi diantaranya adalah ketika awalnya masyarakat desa tidak lagi mengkonsumsi beberapa tanaman seperti sintrong dan ketul, ternyata disebabkan oleh citra tanaman tersebut yang seringnya dijadikan pangan ternak. Dalam suatu percakapan, ternyata ada juga cerita dari seorang wanita paruh baya yang sehari-hari bertani bercerita kepada saya, bahwa ketika memasakkan suaminya lalapan daun Sintrong, suami awalnya enggan menghabiskan masakan tersebut. Namun, setelah beberapa kali masakan itu tetap dibuat, sang suami lambat-lambat teringat masa kecilnya yang ternyata ia pernah dimasakkan masakan yang sama oleh Ibunya. Perjalanan penerimaan kembali pangan liar sebagai sumber pangan yang sebenarnya sudah dikonsumsi lama oleh para leluhur, memang tidak mulus. Hadirnya pasar tradisional yang memasok sayur dari berbagai daerah, kesempatan berbelanja jarak dekat dengan pilihan pedagang sayur keliling, serta giuran kepraktisan memasak dari iklan televisi lah yang kemudian mengesampingkan pengetahuan-pegetahuan lokal masyarakat. Hal ini kemudian menjadi tantangan bagi kami kelompok lingkar belajar pangan untuk melihat lebih lanjut bagaimana masa depan pangan bisa diteliti dari pangan liar.

Selain itu, saya juga memiliki ketertarikan personal dalam melihat pangan liar. Saya berasal dari Indonesia bagian Timur, Papua yang memiliki keberagaman sayur mayor dan tradisi makan makanan yang berbeda dengan di Yogyakarta, kota tempat saya merantau. Hal ini lah yang membuat saya tertarik untuk mengetahui keberagaman sayur-mayur lokal di Yogyakarta. Saya percaya, masing-masing tempat memiliki pengetahuan lokal dan potensinya sendiri dalam soal keberadaan sumber pangan. Namun, menilik kota Yogyakarta sendiri yang belakangan ini mulai mengubah wajahnya dengan orientasi pembangunan dimana-mana, menimbulkan kecurigaan saya. Apakah ketika berbicara tentang sumber-sumber pangan lokal masih mungkin?

Bercakap dengan Mas Satrio, seorang pegiat pangan liar yang mencoba membantu kami dalam menganalisa sumber pangan yang dikonsumsi masyarakat. Ia mengawalinya dengan sebuah contoh tradisi dalam keluarga Jawa dahulu, yang memiliki bentuk rumah dengan pekarangan yang cukup luas untuk bercocok tanam. Sistem penanaman di pekarangan sendiri terbagi menjadi beberapa jenis tumbuhan serta fungsinya. Yang terdekat jaraknya dengan bangunan rumah misalnya ditanami sayur-mayur, serta bumbu-bumbuan. Kemudian diikuti juga dengan tanaman obat keluarga atau dikenal dengan istilah TOGA, serta tanaman perindang seperti buah-buahan, lalu di bagian tanah yang paling kering ditanami oleh umbi-umbian. Selain tanaman-tanaman yang sengaja ditanam tersebut, tumbuh juga beberapa jenis yang “tidak dengan sengaja ditanam” oleh keluarga. Misalnya seperti Sintrong, Krokot, Ketul, Jelatang yang mudah sekali tumbuh disekitar tanaman sayur, sebenarnya juga biasa dikonsumsi oleh Masyarakat Jawa terdahulu. Namun, ketenarannya sebagai pangan liar yang tidak memiliki nilai ekonomis , apalagi nilai sosial tentu saja semakin meminggirkan tanaman-tanaman ini sebagai bagian dari sumber pangan yang layak dikonsumsi. Padahal, kini tidak sedikit penelitian tentang sumber gizi dan nutrisi yang berasal dari pangan liar sudah dilakukan.

Penghambat ketenaran.

            Wajah Mas Satrio sebenarnya sudah akrab sejak sekitar 2011. Ia dulu masih menjadi mahasiswa Biologi yang saya kenal karena terlibat dalam sebuah komunitas. Kini ia lebih serius tergabung dalam kegiatan yang bergerak dalam tema pangan liar. Ia memiliki produk-produk minuman fermentasi dari berbagai macam buah dan umbi, serta tertarik jga dalam mengolah sayuran dari tanaman liar. Mulai dari Sintrong, sampai daun Ubi Jalar yang ditumis ia ceritakan selalu ia kenalkan di pasar-pasar alternatif (pasar sehat dan organik di kota Yogyakarta). Sebagai orang yang lebih dulu terlibat dalam seluk beluk pangan liar, Mas Satrio menyebutkan satu hal hambatan yang selalu ia hadapi, yakni rasa. Salah satu pengalamannya saat mengolah sayur daun ubi jalar misalnya, ia merasa bahwa orang yang datang mencicipi tidak terlalu antusias dengan rasanya. Meski Mas Satrio telah membubuhinya dengan manfaat kesehatan yang ia ceritakan ke konsumen, tetap saja sayur daun ubinya tidak mendapat sentuhan konsumen.

“Padahal daun ubi jalar itu bisa menambah darah, bahkan lebih baik dari jambu biji merah yang kita kenal.”

Begitu kira-kira cerita Mas Satrio yang kesulitan mengenalkan pangan dari sayur-mayur yang termarjinalkan.

Berbicara tentang rasa, berarti berbicara tentang selera. Rata-rata indera pengecap kita susah sekali menerima masakan yang diolah dari bahan yang asing. Dedaunan seperti Pakis, daun Ubi Jalar, daun Singkong Karet, muda, Genjer, Bunga Jengger Ayam, tentu saja sangat asing di kuping masyarakat kota pada umunya. Hal ini tentu saja karena dedaunan tersebut tidak dibudidayakan oleh masyarakat, sehingga tidak termasuk menjadi sayuran populer di pasaran. Karena tidak dapat dilihat dan diakses dalam kehidupan sehari-hari, lantas selera kita atas sayuran dari tanaman-tanaman asing itu pun belum “masuk” di lidah. Selain itu, menurut amatan saya beberapa sayuran yang saya sebut di atas tidak memiliki nilai-nilai yang menyeleksinya untuk dapat masuk di pasaran. Beberapa tanaman sayur yang saya sebut tidak memiliki nilai ekonomis, karena tidak ditanam oleh petani karena tidak ada permintaan pasar. Kemudian yang kedua adalah tanaman tersebut tidak memiliki nilai sosial. Nilai sosial yang dimaksud disini menandakan sayur yang diolah dari tanaman di atas sama sekali tidak memiliki kelas. Sepertinya, mereka yang makan Wortel, Kentang, dan Brokoli yang jelas harganya tidak murah di pasaran membentuk kelas mereka dengan mengkonsumsi sayuran-sayuran populer. Mungkin karena Wortel, Kentang, Brokoli, Bayam, dan Kangkung lebih sering tampil di layar kaca sebagai bintang iklan bumbu instan yang sering sekali tayang di saluran televisi Indonesia. Ya, kalimat terakhir itu hanya kecurigaan saya, yang dirasa perlu untuk saya tuliskan disini.

Kedua nilai diatas memang sangat bergantung satu sama lain. Jika sayuran sudah memiliki nilai sosialnya, maka dengan mudah akan diikuti oleh nilai ekonomi. Dalam mensosialisasikan pangan, satu hal yang cukup penting adalah tentang rasa. Memahami bahwa “rasa” adalah hambatan paling besar dalam mensosialisasikan sayuran-sayuran marjinal kaya manfaat adalah sebuah tantangan baru, baik bagi saya dan tim Bakudapan. Sebagai kelompok belajar yang sebenarnya tidak memiliki latar belakang ilmu biologi maupun tata boga, kami berusaha meneliti dan belajar dari teman-teman pegiat pangan yang lain, untuk menemukan praktek yang tepat dalam mengolah tanaman dari pangan liar. Kami tidak ingin hanya terjebak dalam gerakan kampanye untuk sekedar hanya hidup sehat, melainkan ingin membuat gerakan-gerakan sekecil membuka ruang disukusi, atau demo masak yang kami akan aplikasikan ke masyarakat. Impian kami adalah membuka bersama wawasan kesadaran akan sumber pangan yang telah menjadi masalah bersama umat manusia di bumi ini melalui berbagai praktek sosial sehari-hari.

Gloria Mario, 2017.