Ekspektasi yang Menguras Kantong

Minggu ini kami sempat melakukan pemetaan ulang di area Prawirotaman I. Pemetaan pertama telah dilakukan sejak beberapa bulan lalu dengan berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan Prawirotaman I dan mencatat semua kegiatan ekonomi disana, mulai dari industri makanan, penginapan, toko antik, hingga laundry. Kami lalu memutuskan untuk melakukan pemetaan ulang yang lebih berfokus pada menu dan jenis makanan di tiap restorannya. Kebetulan sebagian besar restoran disana memasang daftar menunya di halaman depan restoran, karena cukup banyak turis yang berjalan kaki untuk sekedar mencari agen perjalanan ataupun variasi santapan diluar menu yang disediakan oleh hotel mereka yang tidak jauh dari situ. Dengan begitu kami pun dapat lebih mudah mencari tahu dan mendokumentasikan menu-menu yang mereka punya, tanpa harus masuk dan memesan. Sampailah kami pada penghujung jalan Prawirotaman I, bertepatan dengan mulai turunnya rintik-rintik air hujan, membuat kami semakin bergegas mendokumentasikan menu di restoran terakhir yang kami temui.

Dari pemetaan ulang tersebut kami menemukan satu restoran baru yang cukup mencolok dari segi eksterior jika dilihat dari luar, yaitu dominasi cat warna merah terang, atap yang terbuat dari nipah serta lampu yang cukup temaram. Karena hanya sekilas melihat dari luar, asumsi saya secara visual terhadap asosiasi “warna merah” dengan “lampu temaram” pada suatu restoran adalah bisa jadi itu restoran yang menyajikan masakan Arab, India, atau bahkan Oriental? Namun ketika kami mengecek daftar menu yang mereka sajikan, membuat kami terkecoh. Ternyata menu utama mereka adalah masakan Spanyol, bahkan sebagai pelengkap mereka juga menyediakan menu makanan ekstrim berupa ular Kobra dan Piton. Hmm… hal ini menggugah niat kami untuk kembali ke restoran ini dan mencicipi menunya.

Beberapa hari kemudian tibalah rencana kami untuk mengunjungi restoran tersebut. Dalam melakukan proyek ini, kami memang berniat untuk sekaligus melakukan “tur makan” di restoran-restoran sekitar Prawirotaman I secara periodik nantinya. Prioritas kami pada waktu itu sebenarnya adalah mengunjungi warung makan Tante Lies yang sedari kemarin selalu tutup, dan ternyata kali ini warung makan itu juga masih belum buka. Langsung saja kami berputar haluan menuju restoran baru tersebut yang bernama “Mi Casa Es Tu Casa” sebagai tujuan pertama.

Kami memarkirkan kendaraan tepat didepan pagar rendah berkayu, salah satu bagian dari eksterior restoran itu. Bangunannya cukup menjorok ke depan jalan dan tanpa halaman, sehingga kami merasa kendaraan yang kami parkir akan berpotensi mengganggu akses jalan jika tidak diparkir dengan benar. Beberapa langkah setelah memasuki restoran tersebut terlihat beberapa karyawannya berdiri dari kursi kasir menyapa kami dengan semangat, karena pada saat itu hanya kami pula satu-satunya pengunjung yang datang. Salah satu dari mereka mempersilahkan duduk, dan kami memilih meja di pojok, dekat dengan pagar kayu yang menghadap ke jalan. Setelah kami duduk, kami sempat berpikir agak lama untuk memutuskan menu apa yang akan kami pesan. Sebenarnya menu daging ular cukup terdengar unik untuk dicoba, namun sayangnya tidak ada salah satupun dari kami yang berani dan tertantang untuk memesannya. Awalnya kami tergoda akan beberapa varian Paella, nasi rempah yang biasanya dihidangkan menggunakan periuk dan lauk berupa seafood. Karena nama hidangannya berbahasa Spanyol pula maka kami sempat memastikan gambaran makanannya melalui Google, dan memang benar visualnya cukup menarik karena porsinya yang besar bahkan seafood yang melimpah. Tetapi karena pertimbangan harga yang sangat mahal dan keraguan kami akan kesegaran makanan laut yang mereka hidangkan, akhirnya kami memilih Mushroom Risotto dan Tortilla de Patatas (Potato Omelette), sebagai perwakilan untuk mencicipi masakan Spanyol yang telah mereka nobatkan sebagai menu spesialis restoran mereka.

Sembari menunggu pesanan datang, kami mengamati interior restoran dan kembali terkecoh. Dari yang kami pikir restoran Arab, India, Oriental, tapi ternyata restoran Spanyol, dan sekarang pemilihan interiornya juga diluar dugaan kami. Dominasi warna merah tadi dikombinasi dengan atap anyaman bambu, lampion, taplak meja bermotif batik, dan mural bergambar kupu-kupu. Bahkan terdapat gitar besar serta pajangan mirip taksidermi kadal yang menggantung di samping meja kami. Beberapa saat kemudian, pelayan datang mengantarkan makanan dan memecah gumam kecil kami.

Kesan pertama setelah makanan datang di meja kami, lagi-lagi mengecoh ekspektasi kami. Tortilla de Patatas hadir dalam bentuk telur dadar berbentuk lingkaran dan berisi kentang. Sedangkan untuk Risotto masih tidak jauh dari bayangan kami, yaitu berupa nasi kaldu yang creamy. Lalu kami membolak-balik makanan dengan garpu untuk mencari dimana letak Tortilla nya seperti yang tertulis pada daftar menu. Pada akhirnya, kegelisahan kami berujung pada mengkonfirmasi keaslian menunya melalui pencarian di internet. Kemudian kami cukup terkejut lagi dengan penjelasan Wikipedia mengenai Tortilla de Patatas ala Spanyol. Kata “Tortilla” sendiri pada awalnya berarti “kue” atau “tar kecil”, dan tidak terkait akan Tortilla gandum ala Meksiko yang berbentuk seperti roti tipis, namun memang benar berupa Omelette berisi kentang (patatas). Tapi tetap saja, kami menyayangkan uang yang kami keluarkan karena harganya tidak sesuai dengan kualitas makanan yang kami dapatkan. Kami berekspektasi untuk mendapatkan rasa baru yang berbeda, tapi pada kenyataannya kami masih mendapatkan rasa yang cukup familiar, bahkan kami merasa tahu bahwa biaya masak yang mereka keluarkan tidak terlalu banyak jika dilihat dari bahan-bahan yang digunakan. Baik dari segi rasa maupun tampilan makanannya, sejauh ini terlalu apa adanya dan terlihat hanya seperti atraksi kuliner yang cukup dicoba sekali. Selain dari harganya yang terbilang cukup mahal untuk sepotong telur dadar yang dicampur dengan kentang, rasanya pun tidak istimewa sehingga meskipun tidak sesuai ekspektasi kami akan tampilan visual, tetapi secara rasa bisa kami anggap enak atau istimewa. Ternyata tidak, omelet ini jauh dari istimewa.

Dari sini kami kemudian menyadari bahwa ternyata tidak semua yang kita tahu tentang suatu makanan dan asalnya itu selalu benar meskipun sudah familiar disekitar kita, misalnya salah paham antara Tortilla dan Omelette tadi. Terkadang popularitas suatu materi budaya menjadikan kita menutup mata terhadap hal-hal yang sifatnya lebih mendasar, menjadikan kita urung untuk mempelajari lebih dalam karena merasa semua sudah dipaparkan oleh berbagai media, padahal sebagian besar hanyalah bersifat permukaan. Terutama yang berkaitan untuk tujuan menciptakan tren yang ujung-ujungnya jualan.

Berbicara tentang permukaan, atau bisa juga disebut sebagai hybrid, saya juga merasakannya lewat suasana yang mereka (para pemilik atau pengelola restoran) tawarkan, lewat interior, dekorasi, maupun pilihan playlist musik mereka. Meskipun obyek-obyek suatu budaya dapat direproduksi dan berkembang secara global, tetapi cara penyajiannya terkadang masih sangat spesifik terhadap budayanya masing-masing. Contohnya, ketika kita makan di suatu restoran Italia di Indonesia, bukan tidak mungkin jika mereka malah memilih musik ber-genre Pop Melayu sebagai pengiring makan, bukannya musik bergaya Neapolitan misalnya, tergantung selera karyawan atau pemiliknya. Bahkan kami masih melihat adanya upaya-upaya untuk memasukkan identitas kelokalan dari masing-masing restoran, entah cocok ataupun tidak, seperti memilih taplak meja bermotif batik, atap yang terbuat dari nipah, pagar bambu, dan masih banyak lagi. Hal ini juga menandakan bahwa produk yang kita konsumsi bisa saja bercita rasa global namun pengalamannya tetaplah lokal, tergantung di mana ia disajikan.

 

Ayash Laras. 2017