Resep Negosiasi Rasa

Bulan Agustus sampai September tahun lalu, saat mengikuti residensi di Bamboo Curtain Studio, Taipei. Saya dan Gatari bertemu dengan banyak sekali teman-teman BMI (Buruh Migran Indonesia) yang bekerja di sana. Salah satu pengalaman yang dialami adalah bertemu dan berbincang dengan beberapa teman BMI di sebuah taman, di komplek apartemen dekat dengan stasiun kereta Zhongxiao Xinsheng. Jujur, saya sendiri lupa dengan nama taman yang kami kunjungi, sehingga saya lebih sering menyebutnya dengan nama stasiun terdekat dari taman itu. Di sana kami bertemu teman-teman BMI yang bekerja sebagai care taker yang menjaga lansia (lanjut usia) dan kebanyakan dari mereka kondisinya memang sudah tidak terlalu sehat, sehingga membutuhkan bantuan perawatan dan penjagaan.

Kegiatan sehari-hari teman-teman BMI di Taipei bisa dikatakan hampir seragam. Mereka bekerja selama hampir 24 jam. Hal tersebut disebabkan karena mereka harus tetap awas dengan lansia yang mereka jaga. Terlebih lagi jika sewaktu-waktu lansia tersebut  butuh pergi ke kamar mandi atau bahkan susah tidur. Aktivitas mereka akan dimulai dari pagi hari, memasak, membereskan rumah, membantu makan lansia yang mereka jaga, dan terkadang mereka juga membantu mereka untuk pergi ke kamar mandi. Jika mereka tinggal bersama dengan keluarganya maka tanggungan pekerjaan mereka pun bertambah. Tambahan pekerjaan yang paling sering dilakukan adalah memasak. Dalam pekerjaan memasak, menurut saya membutuhkan banyak negosiasi serta toleransi. Antara siapa yang berkuasa, rasa apa yang harus dimiliki pada masakan, atau masakan apa yang harus dimasak hari ini.

Kekuasaan di Dapur

Bagi saya, dapur merupakan tempat di mana terjadi perebutan kekuasaan. Biasanya terdapat satu orang yang akan mendominasi kuasa atas dapur. Sedikit contoh, seperti dalam dapur profesional di restoran atau dapur hotel, akan ada chef yang mengepalai dan sous-chef yang menjadi asistennya. Sedangkan melalui pengalaman saya, dapur di keluarga saya dikuasi oleh ibu saya. Walaupun ada asisten rumah tangga yang bertugas memasak, tetapi Ibu saya tetap memegang kendali atas menu masakan dan yang paling utama adalah mengenai rasa. Kontrol atas rasa berada di tangan ibu saya dan saat rasa masakan itu tidak sesuai dengan pendapatnya, maka itulah saat di mana ia akan mengambil alih masakan. Cara yang akan dilakukan ibu saya biasanya akan komplain terlebih dahulu dan kemudian dia akan menambahkan bumbu-bumbu sampai memenuhi rasa yang dia inginkan.

Saat datang ke negara lain dan tinggal bersama dengan orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan kita, maka negosiasi dan toleransi dibutuhkan, termasuk dalam hal makan dan memasak. Dalam cerita saya, saat ibu saya mengontrol masakan di rumah, akan lebih mudah diterima, karena kami sekeluarga memang terbiasa dengan bumbu masakan tersebut. Kami sekeluarga terbiasa dengan rasa yang sama karena memang konstruksi yang sudah lama terbangun, di mana ibu saya menjadi orang yang mengontrol rasa masakan di rumah sejak dia berkeluarga, yang artinya sejak saya kecil. Bagi asisten rumah tangga yang membantu memasak, dia akan familiar dengan rasa yang dimiliki ibu saya, sehingga jarang terjadi negosiasi diantara mereka. Namun, cerita akan berbeda dengan teman-teman BMI yang memasak di negara lain. Konflik yang bermula dari rasa akan sering terjadi di dapur. Saya banyak mendapat cerita dari teman-teman BMI soal itu. Perbedaan rasa yang dirasakan oleh BMI disebabkan oleh penggunaan bumbu pada masakan yang bisa dibilang minimalis.

“Orang Taiwan tuh kalau masak gampang, cuman bawang, minyak goreng sedikit, sama minyak-minyak bumbu, selesai.” (Mbak Anggun)

Sedangkan jika teman-teman BMI membandingkan dengan masakan Indonesia, satu menu akan membutuhkan paling sedikit lima bahan bumbu. Saya sendiri cukup bisa memahami cerita dari teman-temani ini. Selama dua bulan saya menetap di Taipei, rasa makanan yang saya makan memang terasa tidak terlalu banyak bumbu, walaupun begitu saya tetap menikmatinya. Namun, akan sulit rasanya kalau kebiasaan memasak makanan Indonesia diaplikasikan ke masakan Taiwan sehari-hari, karena rasa yang dimiliki akan terlalu kuat. Contohnya masakan tumis tempe yang terlihat mudah, tetapi bumbu masakan yang digunakan beragam; seperti daun salam, lengkuas, jahe, cabai hijau, bawang putih, bawang merah, dan kecap manis. Daun salam dan lengkuas sendiri memiliki rasa dan aroma khas saat dimasak bersama — ditambah dengan kecap manis yang rasanya berbeda dengan manis gula. Semua perpaduan ini menciptakan impresi yang berbeda mengenai masakan Indonesia.

Pada salah satu kesempatan saya dan Gatari juga sempat berkunjung ke salah satu rumah teman BMI yang telah menikah dengan orang Taiwan. Salah satu cerita yang kami dapat dari hari itu adalah cerita mengenai suaminya yang tidak suka dengan rasa makanan Indonesia karena rasa bumbunya terlalu kuat, seperti nasi kuning, rendang, dan ikan asin. Saya sendiri dapat memahaminya, selain memasak untuk makan sehari-hari, saya dan Gatari juga sering membeli masakan siap saji di satu warung. Warung itu menjadi favorit kami karena murah, sehingga hampir setiap hari kami makan disana. Berdasar pengalaman tersebut, sedikit banyak saya mengerti rasa yang biasa dikonsumsi orang Taiwan, yaitu dominasi bawang putih. Walaupun ada satu masakan yang memakai saus berwarna gelap — yang saya tidak tahu namanya, tetapi rasa bawang putih memang mendominasi masakan. Tidak terasa rempah-rempah yang beragam seperti masakan Indonesia.

Bagi teman-teman BMI yang bekerja untuk satu keluarga atau harus menjaga lansia, maka mereka harus menegosiasikan rasa pada masakan yang akan mereka buat. Teman-teman BMI kemudian harus mengikuti kebiasaan rasa yang dikonsumsi oleh keluarga tersebut. Banyak dari mereka pada akhirnya begitu saja mengikuti selera dari tempat dimana mereka bekerja, sehingga saat memasak makanan Indonesia, hanya akan dibuat untuk konsumsi pribadi. Mengonsumsi makanan Indonesia bagi mereka adalah salah satu cara mengobati rindu, tetapi kadang beberapa dari mereka harus sembunyi-sembunyi saat memasak, karena majikannya tidak suka dengan bau masakan yang terlalu menyengat. Saat mereka memasak makanan Indonesia, biasanya untuk hari-hari spesial; misalnya ulang tahun, hari raya agama, dan hari kemerdekaan. Memasak makanan Indonesia juga sering dilakukan teman-teman BMI saat mereka berkumpul di taman, di sore hari saat membawa keluar jalan-jalan lansia yang mereka rawat. Namun, bagi yang beruntung, mereka bisa leluasa menggunakan dapur untuk memasak masakan Indonesia dan bahkan keluarga majikan mereka pun turut mengonsumsinya. Biasanya, ini terjadi pada teman-teman BMI yang sudah bekerja cukup lama, sampai majikannya pun dapat menerima rasa masakan Indonesia.

Perbedaan rasa mengenai masakan Indonesia dan Taiwan memang umum terjadi, tetapi permasalahannya adalah mengenai enak atau tidaknya makanan yang sebenarnya tidak memiliki ukuran yang baku. Enak atau tidak jatuhnya akan sangat personal, tergantung dengan selera, preferensi dan pengalaman makan masing-masing. Bagi salah satu teman BMI, Mbak Indah, yang kami temui di taman dekat stasiun Zhongxiao Xinsheng, enak itu sesuatu yang sifatnya umum seperti kesepakatan bersama, tapi bagi dia makanan itu harusnya terasa “mantap”. Ungkapan “mantap” ini memang ambigu kalau hanya mendengarnya saja — di mana “mantap” sendiri sebenarnya tergantung selera masing-masing setiap orang.  Bagi Mbak Indah, “mantap” disini adalah saat makanan memiliki rasa yang seimbang, antara manis, asin, dan gurih. Mbak Indah memiliki pendapat yang sama pula mengenai masakan Taiwan, terlalu minimalis, tidak banyak bumbu, dan yang utama rasanya tidak “mantap”.

Kemudian, dia mencari cara bagaimana agar masakan Taiwan yang dibuat memiliki rasa yang “mantap” tidak hanya bagi dia, tetapi juga majikannya. Sehingga ia juga senang saat mengonsumsinya. Ia merasa kalau majikannya perlu tahu rasa seperti apa yang seharusnya dimiliki dalam sebuah masakan. Lalu, cara yang Mbak Indah lakukan untuk mengejar rasa tersebut adalah dengan menggunakan bumbu penyedap, seperti kaldu bubuk instan. Kaldu bubuk instan ini bagi Mbak Indah adalah yang membuat unsur “mantap” itu tercipta. Beberapa keluarga di Taipei, tempat teman-teman BMI yang kami temui bekerja tidak pernah menggunakan bumbu penyedap instan atau disebut MSG, karena bagi mereka tidak sehat. Namun, Mbak Indah berpendapat lain, bahwa sehat atau tidak itu tergantung pola makan dan tidak ada hubungannya dengan rasa.

Eksperimen Rasa

Beberapa tahun bekerja, Mbak Indah kemudian memberanikan diri untuk bernegosiasi akan rasa masakan kepada keluarga tempatnya bekerja. Ia kemudian mencari cara untuk mengkomunikasikan perihal negosiasinya tersebut dengan memasak satu masakan, tetapi berbeda rasa. Piring pertama dimasak dengan menggunakan kaldu bubuk instan dan piring kedua tidak menggunakannya. Kemudian Mbak Indah menjelaskan kepada majikannya, bahwa dia harus mencoba perbedaan dari kedua rasa masakan ini. Hasilnya? Majikan Mbak Indah setuju bahwa masakan yang memakai kaldu bubuk instan memang lebih enak. Sebelumnya Mbak Indah tidak diperbolehkan sama sekali menggunakan MSG dengan alasan kesehatan, walaupun Mbak Indah juga sempat beberapa kali mencoba mendiskusikan dengan majikannya. Namun, semenjak peristiwa negosiasi rasa yang dilakukannya, majikannya menjadi mengerti bahwa masakan dengan MSG itu memang enak dan akhirnya Mbak Indah diperbolehkan menggunakan MSG saat memasak. Mungkin majikan Mbak Indah akhirnya sepakat bahwa rasa mantap dari MSG tidak ada hubungannya dengan kesehatan.

“Saya bilang aja, ini dicoba dulu, pasti yang pake kaldu bubuk instan lebih enak! Yang penting dia nyoba dulu. Terus akhirnya dia tau dan setuju kalau pake kaldu bubuk instan emang enak, yaudah deh sejak itu saya masak pake ini terus.”

Cerita Mbak Indah ini adalah salah satu cerita yang berkesan bagi saya. Saat Ia bekerja di dapur, awalnya memang ada konflik mengenai rasa dan perbedaan cara masak. Namun, tidak hanya konflik yang terjadi, Mbak Indah kemudian mencoba melakukan negosiasi mengenai rasa, bukan hanya mengikuti rasa yang biasa dan disukai majikannya, tetapi ia coba membuka diskusi. Cara yang dipilih Mbak Indah ialah dengan menyajikan masakan dengan memakai kaldu bubuk instan dan tanpa menggunakan kaldu bubuk instan. Melalui pengalaman Mbak Indah, sebenarnya dalam dapur, kekuasaan pada akhirnya tidak mutlak dimiliki oleh majikan yang dianggap sebagai “penguasa”, tetapi teman-teman BMI juga memiliki ruang kekuasaan di dalamnya. Relasi kekuasaan di dapur memang tidak akan pernah setara, akan selalu ada seseorang yang berkuasa, apalagi dalam kasus teman-teman BMI terdapat posisi hierarkis antara majikan dan pekerja. Namun, dalam setiap ruang yang hierarkis selalu ada celah untuk negosiasi serta diskusi. Bentuk negosiasi yang dilakukan teman-teman BMI ini dapat dilihat juga bahwa mereka  sebenarnya mempunyai strategi dan daya tawar untuk menggugat — yang biasanya dilakukan dengan praktek langsung, seperti memasak.

Sebagai bonus dari akhir tulisan ini, saya ingin membagikan resep singkat negosiasi rasa. Jika ada yang membutuhkan cara bernegosiasi rasa, mungkin resep ini akan berguna. Selamat mencoba.

Bahan-bahan

  • Kaldu bubuk instan rasa sapi/ayam (merk tergantung selera)
  • Satu jenis makanan
  • Strategi

Cara Membuat

  • Pilih satu jenis makanan, kemudian pisahkan dalam dua tempat
  • Berikan salah satu tempat dengan kaldu bubuk instan sesuai selera
  • Siapkan strategi, seperti kalimat yang akan diucapkan kepada majikan agar mereka mau mencoba

**Catatan: tingkat keberhasilan dari resep ini tidak akan sama bagi semua orang. Pemilihan jenis makanan dan rasa enak dari masakan memang penting, tetapi strategi yang dipersiapkan secara matang akan besar mempengaruhi.

Khairunnisa