Percakapan santai dengan Slow Food Jogja

Setelah selesai dengan penelitian untuk isu pertama mengenai fast food yang dilakukan oleh kelompok belajar kami Bakudapan, kami sepakat untuk bergerak ke isu kedua; mencari tahu segala hal yang berkaitan dengan perilaku konsumsi dan produksi organik baik oleh individu maupun kelompok di Yogyakarta. Ketertarikan ini berasal dari rasa ingin tahu mengapa sekarang banyak kelas menengah yang tinggal di kota menjalani gaya hidup sehat dan mengonsumsi atau memproduksi produk-produk organik, apa yang menggerakkan mereka, apa sebenarnya yang ingin mereka tunjukkan, isu apa yang sesungguhnya mereka usung, apa yang menjadi tujuan mereka ke depannya, dan sebagainya.

Dalam rangka mencari tahu mengenai hal-hal tersebut, kami pun mencoba membuat daftar individu atau kelompok terkait di Jogja yang perlu kita datangi dan mengobrol seputar profil mereka, kegiatan mereka, visi misi, motivasi, imajinasi, dan lain-lain. Salah satu yang masuk dalam daftar kami adalah Slow Food Jogja.

Slow Food dan beberapa komunitas lainnya yang kami masukkan ke daftar memang bukanlah produsen atau aktivis gerakan organik, tapi kami menaruh semacam asumsi atau kecurigaan awal bahwa mereka yang tergabung dalam kelompok ini merupakan kelas menengah yang mengonsumsi makanan sehat, lokal, dan organik. Setidaknya tiga kata kunci inilah – sehat, lokal, organik- yang menjadi patokan kami kemudian dalam membuat daftar calon narasumber. Kami menemukan bahwa isu organik juga menggandeng beberapa isu lain seperti kelokalan dan kesehatan.

Singkat cerita, ini lah pertemuan kami dengan salah satu anggota Slow Food Jogja. Demi alasan kenyamanan dan menjaga identitas narasumber kami, sebut saja namanya Mbak Sari (nama samaran). Kami mengobrol soal Slow Food Jogja dan terutama kegelisahan-kegelisahan dia terhadap segala hal yang berkaitan dengan pangan lokal dan anak muda. Beberapa hal yang menarik dari ceritanya malam itu adalah sebagai berikut:

Slow Food dan Slow Food Jogja

Secara garis besar, Slow Food adalah sebuah organisasi global yang awalnya kahir di Italia, pada dasarnya hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap industri fast food. Dalam gerakannya ini, Slow Food mengampanyekan pentingnya melestarikan makanan tradisional, lokal, dan mendorong orang-orang untuk bercocok tanam serta mengolah makanannya sendiri.

Akan tetapi, dari cerita narasumber kami, Slow Food Jogja hanya seperti ‘komunitas kuliner’ yang anggoatanya kelas menengah yang kegiatannya lebih mengarah pada wisata kuliner. Sementara untuk kegiatan yang bersifat sosial dan dilakukan secara bersama, menurutnya belum ada. Oleh karena itu, orang-orang di Slow Food Jogja jika ingin melakukan suatu proyek sosial, mereka bergerak secara individu dengan dukungan eksternal. Sepertinya, narasumber kami tidak terlalu peduli dengan Slow Food Jogja itu sendiri secara kegiatan komunitas, tapi lebih memanfaatkan koneksi di dalamnya yang menurutnya diisi oleh orang-orang dengan sumber daya sosial dan ekonomi yang mapan yang bisa membantunya mewujudkan cita-cita personalnya.

Neo Marco Polo

Mbak Sari bergabung di Slow Food Jogja karena dia punya kepentingan politis sendiri. Beliau memilih Slow Food Jogja sebagai media saluran motivasi-motivasi personalnya ini karena menurutnya orang-orang Slow Food Jogja lah yang secara karakter banyak memiliki kesamaan dengan karakternya dan mungkin juga kesamaan latar belakang sosial ekonominya. Kedua, dia ingin sekali bekerja sama dengan mendorong koleganya yang memiliki sumber daya untuk memiliki posisi startegis dalam organisasi slow food, karena melihat peluang besar untuk mewujudkan cita-citanya tentang pelestarian pangan lokal dan pendidikan pangan lokal terhadap generasi muda.

Salah satu program yang sedang mereka rancang adalah tentang cara memasarkan produk lokal dan sehat dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Program tersebut ingin membuat suatu aplikasi on-line di ponsel pintar bagi orang-orang Indonesia yang ingin membeli pangan sehat dan lokal. Jadi dengan aplikasi tersebut dia ingin bagaimana pangan sehat dan lokal ini bisa terjangkau untuk masyarakat luas dengan cara memutus rantai distribusi dan transportasi yang panjang antara produsen (petani) dan konsumen menjadi lebih pendek. Program ini akan menitik beratkan pada moda distribusi, dimana produk-produk akan dikumpulkan pada suatu titik tertentu yang terdekat dengan pembeli dan didistribusikan melalui jalur-jalur yang paling efektif. Mirip seperti layanan GoFood dalam aplikasi GoJek atau bahkan mungkin Happy Fresh, korporasi global yang berpusat di Jakarta dan sudah ada di beberapa negara misalnya, Thailand, Malaysia, dan Taiwan yang menyediakan aplikasi layanan pesan antar bahan-bahan pangan segar.

Dalam program ini tentunya akan mengajak produsen-produsen organik lokal untuk terlibat sebagai pemasok dan keuntungan diambil lewat akumulasi margin harga dari produsen ke konsumen. Mbak Sari menyebut ide ini sebagai “neo-Marco Polo”. Maksudnya bagaimana proses penyeleksian dan pelibatan para produsen ini seperti halnya saat Marco Polo datang dan menginvasi benua-benua lain untuk memilih dan memperjual belikan sumber dayanya. Walaupun terdengar sebagai bentuk win win solution antara pemasok dan pemborong, tetap saja ada relasi kuasa dan bentuk eksploitasi dalam bentuk yang paling halus.

Motivasi dan Cita-cita Personal Untuk Pangan Lokal

Salah satu kegelisahan Mbak Sari dalam isu pangan lokal saat ia melihat bagaimana garam Kusamba dari Bali dieksploitasi oleh pengusaha Jepang dan diperjualbelikan sejara internasional dengan harga yang cukup mahal. Tetapi secara kesejahteraan tidak cukup mengangangkat taraf hidup para petani garam tersebut. Menurutnya, warisan budaya pangan Indonesia secara tidak langsung dijadikan komoditas oleh pihak asing dengan menjual nilai budaya dan eksotisme.

Selain itu pengalamannya saat mengikuti Ubud Food Festival dan melihat bagaimana seorang asing dari Australia memberi workshop pembuatan jamu kepada tamu-tamu asing dengan biaya lokakarya yang cukup mahal. Mbak Sari gerah melihat ini dan menganggapnya sebagai kolonialisme gaya baru. Katanya,”Halah, enakan jamunya si mbok-mbok gandeng”. Keinginan dan cita-citanya adalah orang-orang lokal lah yang harusnya memegang kendali dan membuat acara semacam itu.

Melihat hal itu, beliau membangun beberapa proyek yang bertujuan ingin melestarikan pangan lokal seperti lokakarya pembuatan tempe tapi yang digerakkan oleh anak-anak muda terutama perempuan. Pemilihan anak muda dan perempuan memiliki alasan tersendiri sebab menurutnya nanti ibu-ibu muda inilah yang akan mengatur atau menentukan apa yang akan dikonsumsi seluruh keluarga. Selain itu, anak muda merupakan garda terdepan penyerap tren sehingga menjadi sangat potensial jika justru anak-anak muda inilah yang dididik supaya menciptakan tren yang bisa diikuti oleh teman-teman sebayanya dan seluruh lapisan masyarakat.

Dari sinilah berkali-kali beliau menekankan pentingnya pendidikan mengenai biodiversitas pangan lokal dan pentingnya mengolah pangan lokal menjadi produk ekonomis yang kalau dijual ke warga Indonesia sendiri murah, tapi kalau ke warga negara asing harus mahal. “Oh, iya nggak apa-apa dong. Kalau jual ke orang kita murah, tapi kalau jual ke orang asing harus mahal”.

Pertanyaan Selanjutnya

Berdasarkan apa yang diceritakan Mbak Sari, kami merasa bahwa ide-idenya tersebut sesungguhnya sangatlah mulia dan cemerlang sebab ingin mengedukasi generasi muda terutama perempuan mengenai kakayaan ragam pangan lokal Indonesia, ingin membuat pangan lokal kita dikenal oleh dunia lewat tangan-tangan orang kita sendiri terutama generasi muda, dan ingin merebut kembali kendali pangan lokal dari kontrol atau monopoli asing. Selain itu, ide-ide Mbak Sari ini tentu saja berpotensi memajukan ekonomi masyarakat lokal.

Akan tetapi menurut kami, bentuk ini juga rentan terjebak kembali dalam bentuk-bentuk komodifikasi dan eksploitasi gaya baru. Meskipun bukan lagi masyarakat asing, namun bukankah justru akan lebih ironis jika orang-orang kita sendirilah yang saling memonopoli dan mengekspliotasi satu sama lain atas nama bisnis? Ungkapan seperti, “Pokoknya yang penting kita jadi bos di tanah kita sendiri!” yang diungkapkan mbak Sari bisa memunculkan pertanyaan yang lebih besar, sebab ada relasi hierarkis yang rawan dan tersurat juga tersirat di dalamnya. Jika ada bos, tentu ada anak buah, lalu bagaimanakah relasi bos dan anak buah dalam skema kerja industri atau korporasi pada umumnya? Siapakah yang (sebenaranya) selalu diuntungkan?

Apakah tidak ada jalan lain untuk melestarikan kekayaan pangan atau kuliner lokal selain jalur dagang? Apa tidak ada cara lain untuk keluar dari masalah eksploitasi pangan lokal ini selain lewat bentuk komodifikasi? Apa benar sudah tidak ada jalur lain untuk merebut kembali kendali terhadap pangan lokal kita dari intervensi asing selain mengikuti cara kapitalisme bekerja dalam dunia pangan dengan menambahakan nilai-nilai kearifan lokal sebagai bahan jualan?

(Fikri)