Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #3

Catatan / Diskusi / Living Leftover
  • 7 Agustus 2017
  • Irindhita Laras & Elia Nurvista

Pada hari Kamis, 25 Mei 2017, sampai juga kami pada acara makan siang sisa sesi ketiga yang juga merupakan akhir dari rangkaian acara makan di periode pertama. Masih mengulang beberapa pola dari acara makan siang sebelumnya, yaitu bertempat di Greenhost Hotel, mengolah makanan sisa sarapan tamu hotel, dan mengundang peserta makan siang secara umum. Kali ini kami mendapatkan menu sisa sarapan berupa potato wedges dan nasi goreng yang harus kami olah kembali. Hari ini Nisa dan Gloria bertugas menjadi chef nya.

Tak lama kemudian, peserta makan siang mulai datang. Terhitung peserta pada hari itu berjumlah 8 orang, kemudian Elia berperan sebagai pemandu, dan saya sebagai pencatat percakapan. Setelah peserta sudah mulai nyaman dengan tempat duduknya masing-masing, Elia mulai membuka percakapan dengan memperkenalkan Bakudapan serta menjelaskan tentang proyek Living Leftover, kemudian diikuti oleh perkenalan diri para peserta secara bergiliran.

Sembari menunggu makanan datang, Elia berusaha memancing peserta untuk menceritakan pengalamannya masing-masing perihal sisa. Peserta pertama yang angkat bicara adalah Lisis, ia menceritakan pengalamannya sebagai salah satu warga yang tersisa yang tinggal di area Prawirotaman. Ia merasa terhimpit dengan pembangunan hotel dan bisnis pariwisata lain yang cukup masif di lingkungan tempat ia tinggal, dimana membuatnya dan mungkin juga warga lain merasa terasing. Kerap kali kita berfikir bahwa pembangunan, sesuatu yang bersifat progresif dan membawa kearah kemajuan adalah hal yang diidam-idamkan oleh semua orang. Tenyata pembangunan ini tidak dapat merengkuh semua elemen yang ada, sehingga menyisakan hal-hal, mulai dari bangunan fisik, manusia, hingga perasaan terasing satu dan lainnya.

Berbeda dengan Lisis, Alex peserta makan siang lain menghubungkan persoalan sisa makanan dengan peluang keuntungan yang didapat. Alex bekerja sebagai barista di salah satu kedai kopi. Menurutnya sisa makanan atau minuman yang ditinggalkan oleh pelanggan merupakan peralihan kepemilikan, karena makanan tersebut sudah tidak diinginkan lagi.

“Ketika sedang kerja dan ada pelanggan yang tidak menghabiskan pesanannya, jadi seperti kenikmatan tersendiri karena dapat menghabiskannya. Misal ada yang pesan kue tapi cuma dimakan sepotong. Kalau aku pribadi ga malu makan makanan sisa, tapi tidak etis kalau pelanggan tau. Padahal aku makan biar ga mubazir.”

Elia terus memancing pengalaman sisa para peserta makan siang, kemudian Doddy peserta lain bercerita tentang dompetnya yang terbuat dari kulit sisa. Menurutnya selama berupa benda/barang yang tidak dimakan, mungkin tidak masalah dengan sisa. Hal ini memancing pertanyaan lebih jauh, mengapa jika sesuatu yang dimakan atau masuk kedalam tubuh, tidak semua orang setuju untuk mengkonsumsinya.

Kemudian Talitha, salah satu peserta menanggapi:

“Karena kalau makanan, kita jadi sharing body fluid seperti misalnya saliva.”

Pada dasarnya makan merupakan sesuatu kegiatan yang sangat intim dan privat, karena lewat makan kita memasukan sesuatu kedalam tubuh kita dan menjadikannya bagian dari kita. Seperti kutipan :

“The fundamental element on which the “omnivore’s anxiety” (as I have defined it) is focussed, is the act of incorporation, i.e. the action in which we send a food across the frontier between the world and the self, between “outside” and “inside” our body” (Rozin an Fallon, 1981)[i]

Seperti halnya berbagi makanan dengan orang asing, apalagi sesuatu yang sudah disebut sisa, pastinya ada banyak kecurigaan mulai dari “jenis makanan apa yang tadi dia makan? Bagaimana kalau mengandung bahan yang tidak boleh saya makan, babi misalnya?”, “apakah tadi dia sudah cuci tangan dan makanan yang ditinggalkannya ini bersih?”, “apakah tadi tidak terkena ludahnya? Dan bagaimana kalau dia punya penyakit menular, dsb?”

Tak lama kemudian ditengah percakapan para peserta yang sudah mulai mencair, Nisa dan Gloria datang menyajikan makanan yang sudah mereka olah kembali. Mereka menjelaskan makanan apa saja yang ada di piring. Nasi gorengnya tampak cantik dengan tambahan tomat merah sebagai mangkuknya, dan juga olahan pangsit yang kali ini direbus, sebagai wujud koreksi dari kritik salah seorang peserta yang kami dapat pada sesi makan siang sebelumnya untuk mengurangi metode menggoreng dan mengurangi penggunaan minyak untuk alasan kesehatan. Dan menurut kami, hasil olahan makanan sisa kali ini memang terasa lebih baik dari hasil olahan makan siang sebelumnya, selain dari segi metode yang diperbaiki dengan ditambahkan bumbu kari, juga secara tampilan yang lebih menarik. Kemudian setelah kami selesai membahas makanan yang kami sajikan, Lisis tiba-tiba bercerita sedikit tentang pengalamannya akan makanan sisa.

“Agak berbeda dengan suamiku yang orang Melayu. Dia biasa menyisakan makanannya tapi bukan karbo nya, melainkan lauknya. Karena menurut dia rejeki seharusnya dikembalikan ke bumi jadi harus disisakan. Tapi biasanya meskipun sering disisakan sama suamiku, ya tetap aku ambil dan aku kasih ke anjingku..”

 Pendapat ini menarik, melihatnya makan sebagai tindakan pengorbanan atau pembatasan diri serta agar selalu mawas diri dan bersyukur. Makanan sebagai persembahan ada hampir dalam setiap kehidupan manusia dalam berbagai tempat dan ritual kelompok etnis dalam bentuk dan jenis makanan yang beragam. Dipercaya bahwa konsep memberikan persembahan kepada Dewa, Tuhan atau bahkan Bumi (alam) sudah dilakukan semenjak manusia mengenal domestifikasi tumbuhan dan ternak untuk kebutuhan makan. Artinya kesuburan tumbuhan, keberhasilan panen hingga sehat dan banyaknya ternak dianggap tidak lepas dari berkah atau campur tangan mereka. Dan biasanya bagian terbaik dari makanan lah yang dijadikan persembahan kepada para Dewa Dewi ini. Dalam hal ini makanan juga bisa menjadi alat ritual yang berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya spiritual. Terutama dalam kehidupan masyarakat agraris, yang terjadi hampir diseluruh Asia tenggara.[ii]

Selain sebagai persembahan, dalam hal spiritual, makanan juga kadang berfungsi sebagai alat pembatas diri untuk tujuan pemurnian, dengan puasa atau makan secara sederhana misalnya. Cerita dari seorang peserta bernama Abirama mungkin bisa dikaitkan dengan persoalan pembatasan dan kontrol diri atas hasrat.

“Kebetulan bapakku adalah chef, dan sering masak untuk disajikan dengan model prasmanan. Dia paling ketat untuk urusan menghabiskan makanan karena dia sering lihat banyak orang sekarang hanya lapar mata dan ambil sebanyak-banyaknya tanpa bisa memperkirakan kapasitasnya. Jadinya banyak sisa makanan terbuang dari piring-piring yang sudah dimakan. Jadi menurut Dia karena kita ngambil sendiri makanannya ya kita harus bertanggung jawab untuk menghabiskannya.”

Dari dua pendapat di atas kita bisa melihat bahwa etika memperlakukan makanan, mulai dari pengorbanan dan memberikan yang terbaik pada alam (bisa diwakilkan dengan ide tentang Dewa Dewi) hingga tidak menyisakan makanan sudah ada sejak manusia menyadari makanan adalah basis terpenting dalam hidup.

Kemudian pembicaraan mengalir soal bagaimana kita bisa memperpanjang usia benda sebelum menjadi sampah ataupun makanan sisa. Beberapa dari peserta menjawab jika perihal makanan, biasanya pertolongan pertama adalah memasukannya dalam kulkas yang kemudian bisa dipanaskan (di-nget dalam bahasa jawa) atau diolah kembali di keesokan harinya. Hal ini juga diakui sering dilakukan oleh seorang peserta bernama Wiwit yang biasanya mengolah nasi sisa untuk dijadikan bubur Manado. Menurutnya, itu adalah hal-hal sepele dalam ranah domestik yang bisa dilakukan dan salah satu tujuannya adalah untuk ngirit. Setelah bicara banyak tentang berbagai teknik mengolah kembali makanan sisa, kami berpindah bahasan dari makanan ke hal yang lebih luas.

“Kalau sisa ditempatku mungkin lebih ke rezim pembangunan dan wisata. Seperti di kampungku misalnya, sejak ada kedai es krim itu sekarang jadi banyak orang yang parkir untuk makan es krim di depan rumahku dan membuang cone nya secara sembarangan, trus sekarang disitu disediakan tempat sampah khusus untuk membuang cone. Hal ini sepertinya akan terus berkembang, maksudnya kita dan pemerintah sadar tidak sadar kemudian mendisain fasilitas yang mementingkan urusan pariwisata aja. Hari ini tempat sampah, besok mungkin apa…”

Lisis lalu menceritakan kekhawatirannya akan dinamika lingkungan tempat dimana ia kini tinggal. Ia merasa pembangunan yang tersistematis dan semakin sengaja didesain sebagai kampung turis ini justru akan menciptakan sisa-sisa yang lain, yang menolak ikut dalam lingkaran yang menopang bisnis pariwisata, apalagi daerah Prawirotaman tempat ia tinggal sudah dilabeli sebagai kampung wisata. Berdasarkan amatan kami soal kampung ini, pariwisata memang bagaikan magnet kuat yang memiliki pusaran besar dan mau tidak mau menarik sebagian besar orang untuk turut masuk. Mulai dari pemilik tanah yang membangun hostel-hostel, menyewakan atau bahkan menjualnya untuk juga membagun hotel, restoran, café, toko souvenir, hingga penyediaan tenaga kerja, mulai dari pekerja hotel, restoran, dll hingga tenaga parkir, keamanan, dan bahkan preman setempat. Semua sibuk melayani para turis, pelancong, pemukim sementara baik domestik maupun asing. Manusia maupun ruang yang tidak turut serta dalam lingkaran tersebut seolah merupakan sisa-sisa dari Prawirotaman dahulu, sebelum rezim pariwisata merasuk.

Dalam acara makan siang ini, kami menggunakan piring dimana kami tuliskan nukilan tentang sisa-sisa yang kami dapat baik dari buku maupun internet. Alex kemudian membaca nukilan yang terdapat pada piringnya:

“With a little imagination, there are a million ways to use up leftovers rather than bin them.”

Lagi-lagi kutipannya cocok dengan kebiasaan Alex yang sering ngeman saat melihat sisa-sisa makanan di tempat ia bekerja. Namun kini ia mempunyai interpretasi lain tentang sisa. Menurutnya, sisa adalah suatu entitas yang kekal, bisa jadi barang sisa adalah sesuatu untuk membuat barang yang baru lagi, dan semua tergantung apakah kita masih mau menggunakannya lagi atau tidak. Ia mencontohkannya dengan hukum kekekalan energi. Seperti yang pernah kita semua pelajari saat sekolah dalam ilmu fisika yang menyatakan bahwa jumlah energi dari sebuah sistem itu akan tetap sama, dan energi tersebut tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan oleh manusia, namun ia dapat berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Katakanlah jika ada sebuah benda yang diam sekalipun, ketika kita mencampurnya dengan kekuatan yang membuat benda tersebut bergerak, maka benda yang bergerak tersebut mengandung sebuah energi kinetik. Kemudian dari energi kinetik tersebut dapat kita konversi lagi ke dalam bentuk yang lain, contohnya seperti dapat membuat sebuah kendaraan berjalan, ataupun energi listrik yang dihasilkan dari gabungan antara energi kinetik dan air yang bergerak.

Dari sini mungkin kita bisa membayangkan bahwa semua benda memiliki fase berpindah dari bentuk dan fungsi, dimana setiap fase tersebut memiliki nilai dan fungsi masing-masing. Dengan berfikir begitu mungkin dapat merubah cara melihat kita termasuk tentang sisa. Misalnya pisang yang mulai lembek karena belum dikonsumsi saat matang terbaik, bukan lagi dianggap sisa dan potensi menjadi sampah, tapi pisang untuk untuk membuat pie. Pisang yang benar-benar busuk bukan lagi sampah tapi misalnya disebut pupuk dari pisang. Hal memanfaatkan barang sisa ini mungkin sudah terjadi, tapi yang ditekankan disini adalah bagaimana kita tetap melihatnya dan menyebutnya masih dalam kategori sebagai sisa. Hal ini mungkin terjadi karena seolah satu-satunya tujuan kita terhadap pisang adalah menjualnya untuk kebutuhan manusia yang dikonsumsi pada saat matang terbaik. Semua alur kerja dalam perkebunan pisang dirancang untuk tujuan tersebut, ketika pisang sampai di supermarket ia harus dalam keadaan matang sempurna, kuning indah, bersih, tampak ranum dan manis rasanya.

Di sela-sela asyiknya pembahasan yang cukup panjang mengenai sisa, Nisa dan Gloria hadir kembali membawakan hidangan penutup berupa kue bolu dan buah warna-warni yang telah dipotong-potong dadu. Sambil menyantap hidangan manis itu, Lisis kembali memecah keheningan dengan komentarnya.

Bagi Lisis, melihat persepsi kita akan kategori unggul versus sisa merupakan suatu mekanisme kesepakatan bersama yang hadirnya bisa secara tidak disadari. Dan hal itu bermuara pada salah satu rezim yang tidak kentara, misalnya seperti rezim bahasa. Menurutnya, karena kita berkomunikasi menggunakan bahasa maka secara tidak sadar kita telah memakai istilah-istilah yang dapat memperkuat suatu kuasa atau bahkan merontokkannya. Contoh ketika kita memakai kata kumuh atau produktivitas. Secara tidak langsung kita menciptakan segregasi antara mana orang yang produktif maupun tidak produktif. Rezim ini dilancarkan melalui banyak hal, termasuk negara yang merupakan otoritas terkuat, lewat institusi-institusi besar mulai dari pendidikan, agama, media, hingga semua sendi kehidupan. Kemudian persebaran bahasa yang seakan-akan direkomendasi oleh beberapa kelompok masyarakat ini secara tidak sadar membuat kita menyepakati suatu bahasa atau istilah-istilah baru yang pada akhirnya cenderung bersifat diskriminatif sehingga dapat menciptakan sisa-sisa yang lain. Masih menurut Lisis, usaha-usaha yang bisa kita lakukan adalah selalu waspada dan terus mempertanyakan rezim bahasa tersebut.

Sejenak kemudian kami tersadar bahwa pembicaraan semakin panjang dan hari sudah hampir menjelang sore. Sesi makan siang periode ketiga ini akhirnya diakhiri dengan berfoto bersama didepan artefak karya Living Leftover, diiringi dengan canda tawa serta perut kenyang tanpa menyisakan sisa makanan lagi, sebagai pertanda pula bahwa makanan yang kami olah kali ini cukup sukses dan dinikmati oleh para peserta.


Catatan kaki:

[i] Fischler, Claude, 1988. “Food, Self and Identity.” Social Science Information 27:275-293. Dapat diakses secara on-line lewat www.researchgate.net

[ii] Van Esterik, Penny. 2008. “Food Culture in Southeast Asia”, hal 96.

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.