Sebuah Warung Kopi di Lucky Plaza, Singapura

Umar Kayam

Waktu minggu yang lalu saya berada di Singapura, saya mendapat kesan kota itu semakin kelihatan tampil sebagai belantara beton yang, meskipun cantik arsitekturnya, tetapi juga sekaligus mengerikan. Tentu belum seperti belantara beton New York yang kelabu kusam, dingin, dan kadang tampil garang. Tetapi toh kesan efisien, acuh, cuwek terhadap sesama manusia terasa juga. Maka agak mengejutkan bahwa di pojok tingkat dua Lucky Plaza yang berjubel dengan manusia yang wira-wiri, naik-turun eskalator sembari menenteng tas-tas belanjaan dengan label Metro dan sebagainya itu, saya menemukan sebuah warung kopi. Ya, warung kopi.

Tentu saja bukan warung kopi seperti punya Bu Amat di depan pasar Beringharjo di waktu malam itu. Juga tidak mungkin di situ ada suasana leyeh-leyeh karena, selain Bu Amat menyediakan lincak, Bu Mul yang mangkal nasi gudeg di sebelah menyediakan tikar. Dan aroma yang sedep bin kangen dari bekas sampah yang baru saja disapu tentu juga tidak terdapat di warung kopi yang saya temukan di pojok tingkat dua Lucky Plaza di Singapura itu. Singapura seperti kota modern baru di mana saja kesannya adalah steril, dingin tidak mengandung aroma apa-apa. Kalau Yogya aromanya ‘kan sedap mambu sampah.

Begitulah saya masuk ke dalam warung kopi Mitsubachi. Wah, Jepang lagi! Interior warung itu juga ditata seperti warung kopi Jepang. Dan di rak buku disediakan sejibun komik-komik Jepang yang ditulis dengan hanacaraka yang pating plungker itu. Tetapi, ternyata yang punya adalah seorang Cina Singapura asli yang semua orang di situ memanggil Mr. Tan. Bersama adik-adiknya dikumpulkanlah modal dan mereka pun menyewa pojok itu dan menyulapnya menjadi satu warung kopi yang seronok suasananya.

Ternyata Mr. Tan mempunyai penciuman yang jitu. Untuk para staf business Jepang yang cukup banyak keluyuran di Lucky Plaza sehabis makan siang disediakanlah sentuhan Jepang itu. Nama warung, Jepang: bacaan hiburan sembari minum kopi, komik jepang, dan selain kopi dari berbagai wilayah budaya di seantero dunia juga ada teh Jepang. Maka langganan tetap orang-orang Jepang pun kelihatan cukup besar juga jumlahnya. Dan untuk langganan lain, orang-orang Melayu Malaysia, orang-orang Melayu Indonesia (termasuk Jawa seperti saya) disediakan kopi Java Arabica dan Java Robusta. Daftar kopi Mr. Tan memang mengagumkan. Mulai dari kopi Brazil hingga kopi Afrika ada semua. Juga tehnya. Segala teh Darjeeling, Assam dan entah apa lagi ada semua. Kopi kita, yang cuma diwakili dua, yaitu yang Java Robusta dan Java Arabica itu, saya rasakan kurang. Maka saya pun melantunkan setengah protes setengah pendobosan.

“Mr. Tan, sebagai orang Indonesia saya bangga, lho, kopi negaraku diwakili di sini.”

“Anda dari mana?”

“Saya dari Indonesia, Yogyakarta. Kopi di negeri saya banyak yang yahud, lho!”

“Is that right?”

“Right, tenan, dong. Yang paling seru mahal kopi Toraja.”

Ah, ya, saya pernah dengar ada orang Jepang menyebut itu. Di mana sih Toraja itu?”

Maka sebagai seorang patriot yang baik, yang sekarang tentu ikut menyukseskan strategi sapta pesona pariwisata, saya pun lantas bercerita tentang Toraja. Lengkap dengan kerbau-kerbaunya dan mayat-mayatnya yang ditauh di gua-gua.

Eh, negeri yang fantastic. Tapi saya ini kan cuma pemilik warung kopi. Yang penting itu kopinya. Bagaimana rasanya, bagaimana harganya dan pesennya itu di mana?”

Wah mati aku. Kalau pertanyaan begitu prsesis saya ‘kan tidak bisa kasih keterangan.

“Pokoknya, Mr. Tan, kopi Toraja itu kopi surga. Rasanya weh dibanding dengan yang ada di sini, semua jauh lebih-lebih unggul. Tentang harga dan tetek-bengek lainnya itu saya kurang tahu. Begini saja, next time saya ke sini tak oleh-olehi to sudah.”

Mr. Tan tertawa terkekeh.

“You Indonesian always talk big-lah!”

Lho, true, tenan, Mr.Tan. Nanti tak oleh-olehi to sudah. Lha, masih ada kopi-kopi yang lain. Ada dari Sidikalang. Ada dari Bali. Pokoknya semua kopi dari Indonesia itu good tenan Mr. Tan.”

Heh…heh…heh… Yang penting itu buktinya, Kalo memang enak jangan kuatir pasti saya pesen.”

Kemudian saya masih terus mendobos (demi pariwisa Indonesia ‘nih) soal caranya membikin kopi yang enak.

“Coba Mr. Tan you coba hidangkan kopi Anda dengan teknik joss.”

“Wah, teknik apa itu?’

Naaah, ini cuman ada di Solo. Itu pun cuma ada di depan meseum pers, Teknik Joss itu me-ngejoss kopi tubruk panas di cangkir dengan sepotong areng yang mengangah alias membara. Suaranya sampai mak joss begitu. Rasanya? Heavenly, Mr. Tan.”

Mr. Tan menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin dia terheran-heran ada langganan yang penuh pendobosan itu. Eh, dia tidak tahu saja bahwa saya membawa misi sapta pesona pariwisata. Pokoknya semua unsur plus negeri kita mesti kita jajakan, toh? Demi pariwisata, demi lainnya?

Mr. Tan bergeser ke dapur menyiapakan kopi dan membakar toast yang ternyata beraneka warna juga. Ada toast sele kaya, ada toast jamur Jepang dengan keju, ada nasi kare ayam. Harus saya akui rasanya yahud juga. Juga toast sele kaya. Hemm!

Saya kok lantas ingat warung kopi Bu Amat yang teh jahenya yahud, peyek kacang gurih. Tapi ya cuma itu. Dan warung kopi Yu Mulang nebeng di pinggiran Puro Pakualaman itu. Kopi, teh, jadah bakar yang dioles dengan coklat, pisang Ambon yang di-keropok, tahu susur. Wah, alangkah jauhnya mereka dari tempat saya mengunyah toast jamur keju itu. Dan tempat mereka yang gelap, ekonomi mereka yang tertatih-tatih. Kadang jualan, kadang absen karena kehabisan modal. Tetapi, eh, di mana ya warung-warung atau kedai-kedai kopi Singapura lama yang dulu berserakan. Saya ingat salah satu warung itu yang tersuruk di pojokan Change Allery. Di manakan itu sekarang?

Saya keluar dari warung kopi Mitsubachi dengan tubuh yang terasa hangat karena kopi yang enak dan toast yang enak pula. Di esklator saya lihat gerombolan ibu-ibu menggeh-menggeh, terengah-engah, menenteng belanjaan mereka yang menggunung di tas-tas belanjaa. Pasti ibu-ibu Indonesia itu! Tahunya? Ah, gampang. Wajah mereka lebih berseri-seri dari wajah para pembelanja lainnya. Layaknya wajah mereka yang berseri itu bercerita kepada semua orang.

“Dari belanja di Metro dan Isetan lhoo kita….”

Di luar, di Orchard Road, muka saya ketatap lagi dengan deretan pencakar langit Singapura yang dahsyat itu. Saya ingat jalan Thamrin di Jakarta. Di mana warung-warung kopi di jalan Thamrin itu? Saya ingat Malioboro. Ah, Bu Amat, senajan senin-kemis bisnisnya, masih coba membuka warung kopinya, Sampai kapan, Bu Amat, sampai kapan Pak Wali?

21 November 1989

Diambil dari Sketsa Umar Kayam; “Mangan Ora Mangan Kumpul”. 1990. Penerbit : PT. Pustaka Utama Grafiti.