Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

#Workshop #Plating #Foodstagram

Fast & Foodrious / Lokakarya
  • 18 Agustus 2015
  • Tiara Afriani

Mengapa workshop plating dan instagram jadi bagian dalam proyek Fast and Foodrious?

Kamis lalu (11/6/15), agenda kami adalah melakukan workshop, platting, dan foodstagram yang akan dibina oleh Dadad Sesa (Java Foodie) seorang foodgrammer yang sudah cukup dikenal para netizen instagram Jogjakarta. Dalam akunnya @JavaFoodie (dulunya @HungerRanger) Dadad sering mengunggah foto-foto makanan, baik makanan utama, makanan kecil, maupun minuman dan berbagai jenis makanan penutup sebagai ikon dari akun yang ia kelola.

Berkaitan dengan itu pula kami dengan semangat mengundang Dadad sebagai narasumber, karena kami anggap sudah cukup mumpuni dalam dunia foodgrammer. Terbukti dari jumlah pengikut di akun Instagram maupun jumlah pengunjung di blog (www.javafoodie.co).

Lebih jauh, kami ingin mengetahui tentang perasaan dan pengalaman orang dalam mengkonsumsi fast food dan kaitannya dengan fenomena food porn atau mengunggah foto makanan di jejaring sosial, khususnya instagram yang fokus pada fotografi.

Apakah alasan orang mengungah foto-foto makanan di instagram?

Kami berangkat dari asumsi bahwa foto di akun jejaring sosial seseorang dapat menjadi perwakilan atau merepresentasikan image dari dirinya. Tentu orang akan memilah dan mengkurasi foto dari peristiwa apa yang akan ia unggah, yang dapat membantu orang lain memahami image yang ingin ia bentuk.

Peristiwa makan menjadi salah satu pilihan orang untuk menjelaskan siapa dirinya lewat menunjukan apa yang ia makan.

Makanan seperti apa yang upload-able?

Kami juga berasumsi bahwa makanan yang paling sering diunggah ke akun instagram seseorang saat ini adalah makanan yang khas dan unik, yang lokal, terkait dengan situs geografis tertentu, seperti asal makanan dan bahannya atau letak restorannya. Mungkin juga dengan label organik, pangan sehat, atau raw food. Jenis makanan fast food atau sering juga diasosiasikan dengan junk food jarang menjadi pilihan untuk di unggah oleh para pemilik akun instagram.

Apakah hal ini karena pengalaman makan fast food tidak lagi menjadi pengalaman makan yang istimewa? Atau makan fast food dapat merusak citra seseorang? Atau memang bentuk dari makanan fast food yang tidak indah dan menarik serta tampilannya yang membosankan yang membuat orang enggan mengunggahnya?

Selain berbicara tentang makanannya sendiri, kami juga tertarik dengan visualisasi dari instagram. Ada beberapa gaya visual yang kerap menjadi rujukan dari banyak pemilik akun, yang seolah menjadi kesepakatan bahwa gaya visual seperti itu yang indah dan menjadi kecenderungan tren dalam kurun waktu tertentu.

Saat berbicara gaya visual, tentu saja ini mencangkup tentang filter yang digunakan, angle fotografi, penataan obyek serta pilihan judul dan tagar.

Lewat workshop plating dan foodstagram ini, kami juga ingin mengeksplorasi dan membicarakan hal ini lebih lanjut lagi.

Sore itu kami juga melakukan praktik foto makanan bersama, yang hasilnya akan diunggah di akun instagram masing-maisng peserta. Selain itu, untuk menambah semangat para peserta workshop, Dadad mengadakan sedikit tantangan bagi para peserta untuk mengunggah hasil foto terbaik mereka, untuk kemudian dipilih dan mendapatkan voucher dari HungerRanger. Tentu saja hal ini semakin menambah semangat peserta workshop untuk berusaha sebaik mungkin mengambil foto terbaik dan tak lupa mengunggah dengan filter-filter tertentu yang sebelumnya sudah dijelaskan oleh HungerRanger.

Melihat tren belakangan ini, mengunggah foto makanan di akun Instagram menjadi perilaku yang dilakukan banyak pemilik akun sebagai salah satu ajang unjuk eksistensi mereka di dunia maya. Dengan gaya foto tertentu, filter foto yang kadang menggunakan aplikasi berbayar, lalu diberi caption dan tak lupa tagar yang menjelaskan tentang kekhasan makanan ini, yang juga disinyalir menjadi keyword yang akan di cari pengguna instagram lainnya, supaya mudah ditemukan.

Lebih menariknya lagi, para foodgrammer kelas “serius” ini terkadang juga menggunakan kamera DSLR dengan lensa tertentu, serta peralatan berupa gambar background yang bervariasi, serta tambahan lampu untuk memotret makanan-makanan ini. Kemudian baru mereka mengunggahnya lewat perangkat telpon seluler setelah di sunting dan diberi filter tambahan.

Melihat kecenderungan tersebut, kami ingin mengetahui sejauh mana fast food menarik para foodgrammer ini untuk dijadikan bahan unggahan mereka. Melihat tidak banyak, bahkan sangat jarang melihat seorang foodgrammer maupun non foodgramer mengunggah makanan cepat saji, sebut saja ayam goreng tepung yang pasti sudah sangat familiar.

Kata kunci “familiar” ternyata menjadi salah satu alasan Dadad untuk tidak mengunggah jenis makanan fast food sebagai makanan indah yang diunggah di Instagram.

Masyarakat sekarang sudah amat familiar dengan panganan ayam goreng, entah ayam goreng tepung yang dimakan bersanding saus, maupun ayam goreng tepung yang dimakan bersanding sambal uleg. Mungkin karena ayam goreng sudah terlalu populer, tidak ada perkembangan rasa, dan tidak ada perkembangan bentuklah yang menyebabkan keengganan untuk mengunggah ke akun Instagram. Selain karena bentuk dan rasa yang tidak “instgram-able” nilai fast food kini bukan lagi sebagai suatu makanan mewah dan prestige di kalangan anak muda khususnya, melihat segmen followers Dadad adalah anak muda. Fast food dianggap makanan yang tidak sehat, dan tidak memiliki keistimewaan. Pengalaman makan fast food adalah pengalaman biasa yang tidak memerlukan perjuangan pergi ke daerah-daerah eksotis, atau mengantri direstoran terbaru yang sedang popular untuk berebut tempat. Apalagi jika fast foodnya berasal dari fast food lokal, meskipun hasil dari workshop kemarin Dadad mampu menciptakan foto ayam goreng berharga delapan ribuan menjadi ayam goreng berkelas dan menggiurkan menurut saya.

Lalu kemudian Dadad sempat menceritakan sebelumnya ia pernah mengupload foto makanan dari gerai fast food McDonald’s, kemudian diberi judul yang intinya : Hari ini makan fast food yang enak, karena esok akan mulai “puasa sehat”.

Melihat hal ini, fast food juga kerap dijadikan bahan bercandaan atau sindiran tentang makanan yang tidak sehat tapi kita tidak bisa menolaknya sebaagai makanan yang enak. Ada nada ironi disini, dimana yang enak ternyata tidak sehat dan mungkin sebaliknya. Selain itu juga tercetus ide dari Dadad dan teman-teman foodgramer yang lain untuk menciptakan tren makan kentang goreng McDonald’s dicocol Mcflurry, hanya untuk sekedar tes pasar, sejauh mana influence mereka terhadap followers akan berpengaruh.

Pada akhirnya, kecenderungan muda-mudi masa kini untuk tidak menggunggah foto fastfood dalam akun mereka dapat saya uraikan menjadi beberapa poin:

  • Label junk food yang sudah terlanjur melekat pada fast food, mungkin sebagian besar orang merasa malu dinilai sebagai pengkonsumsi makanan tidak sehat.
  • Tidak ada “rasa” yang baru baik dari segi bentuk maupun rasa yang ditawarkan.
  • Pengalaman makan fast food bukan lagi sesuatu yang istimewa yang pantas dipamerkan dalam akun instagram.

Namun, lagi-lagi semuanya saya kembalikan kepada opini pribadi masing-masing. Untuk apa kamu menggunggah foto makanan di media sosial?

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Bakudapan Berpartisipasi dalam Istanbul Design Biennale
  • Kabar

Bakudapan Berpartisipasi dalam Istanbul Design Biennale

  • Lokakarya
18 September 2018
Mencari yang Orisinal dalam Sepotong Ayam
  • Proyek

Mencari yang Orisinal dalam Sepotong Ayam

  • Fast & Foodrious
29 Juni 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.