Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Resep Negosiasi Rasa

264 / Resep / Residensi
  • 14 Februari 2017
  • Khairunnisa

Bulan Agustus sampai September tahun lalu, saat mengikuti residensi di Bamboo Curtain Studio, Taipei. Saya dan Gatari bertemu dengan banyak sekali teman-teman BMI (Buruh Migran Indonesia) yang bekerja di sana. Salah satu pengalaman yang dialami adalah bertemu dan berbincang dengan beberapa teman BMI di sebuah taman, di komplek apartemen dekat dengan stasiun kereta Zhongxiao Xinsheng. Jujur, saya sendiri lupa dengan nama taman yang kami kunjungi, sehingga saya lebih sering menyebutnya dengan nama stasiun terdekat dari taman itu. Di sana kami bertemu teman-teman BMI yang bekerja sebagai care taker yang menjaga lansia (lanjut usia) dan kebanyakan dari mereka kondisinya memang sudah tidak terlalu sehat, sehingga membutuhkan bantuan perawatan dan penjagaan.

Kegiatan sehari-hari teman-teman BMI di Taipei bisa dikatakan hampir seragam. Mereka bekerja selama hampir 24 jam. Hal tersebut disebabkan karena mereka harus tetap awas dengan lansia yang mereka jaga. Terlebih lagi jika sewaktu-waktu lansia tersebut  butuh pergi ke kamar mandi atau bahkan susah tidur. Aktivitas mereka akan dimulai dari pagi hari, memasak, membereskan rumah, membantu makan lansia yang mereka jaga, dan terkadang mereka juga membantu mereka untuk pergi ke kamar mandi. Jika mereka tinggal bersama dengan keluarganya maka tanggungan pekerjaan mereka pun bertambah. Tambahan pekerjaan yang paling sering dilakukan adalah memasak. Dalam pekerjaan memasak, menurut saya membutuhkan banyak negosiasi serta toleransi. Antara siapa yang berkuasa, rasa apa yang harus dimiliki pada masakan, atau masakan apa yang harus dimasak hari ini.

Kekuasaan di Dapur

Bagi saya, dapur merupakan tempat di mana terjadi perebutan kekuasaan. Biasanya terdapat satu orang yang akan mendominasi kuasa atas dapur. Sedikit contoh, seperti dalam dapur profesional di restoran atau dapur hotel, akan ada chef yang mengepalai dan sous-chef yang menjadi asistennya. Sedangkan melalui pengalaman saya, dapur di keluarga saya dikuasi oleh ibu saya. Walaupun ada asisten rumah tangga yang bertugas memasak, tetapi Ibu saya tetap memegang kendali atas menu masakan dan yang paling utama adalah mengenai rasa. Kontrol atas rasa berada di tangan ibu saya dan saat rasa masakan itu tidak sesuai dengan pendapatnya, maka itulah saat di mana ia akan mengambil alih masakan. Cara yang akan dilakukan ibu saya biasanya akan komplain terlebih dahulu dan kemudian dia akan menambahkan bumbu-bumbu sampai memenuhi rasa yang dia inginkan.

Saat datang ke negara lain dan tinggal bersama dengan orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan kita, maka negosiasi dan toleransi dibutuhkan, termasuk dalam hal makan dan memasak. Dalam cerita saya, saat ibu saya mengontrol masakan di rumah, akan lebih mudah diterima, karena kami sekeluarga memang terbiasa dengan bumbu masakan tersebut. Kami sekeluarga terbiasa dengan rasa yang sama karena memang konstruksi yang sudah lama terbangun, di mana ibu saya menjadi orang yang mengontrol rasa masakan di rumah sejak dia berkeluarga, yang artinya sejak saya kecil. Bagi asisten rumah tangga yang membantu memasak, dia akan familiar dengan rasa yang dimiliki ibu saya, sehingga jarang terjadi negosiasi diantara mereka. Namun, cerita akan berbeda dengan teman-teman BMI yang memasak di negara lain. Konflik yang bermula dari rasa akan sering terjadi di dapur. Saya banyak mendapat cerita dari teman-teman BMI soal itu. Perbedaan rasa yang dirasakan oleh BMI disebabkan oleh penggunaan bumbu pada masakan yang bisa dibilang minimalis.

Orang Taiwan tuh kalau masak gampang, cuman bawang, minyak goreng sedikit, sama minyak-minyak bumbu, selesai.

Mbak Anggun

Sedangkan jika teman-teman BMI membandingkan dengan masakan Indonesia, satu menu akan membutuhkan paling sedikit lima bahan bumbu. Saya sendiri cukup bisa memahami cerita dari teman-temani ini. Selama dua bulan saya menetap di Taipei, rasa makanan yang saya makan memang terasa tidak terlalu banyak bumbu, walaupun begitu saya tetap menikmatinya. Namun, akan sulit rasanya kalau kebiasaan memasak makanan Indonesia diaplikasikan ke masakan Taiwan sehari-hari, karena rasa yang dimiliki akan terlalu kuat. Contohnya masakan tumis tempe yang terlihat mudah, tetapi bumbu masakan yang digunakan beragam; seperti daun salam, lengkuas, jahe, cabai hijau, bawang putih, bawang merah, dan kecap manis. Daun salam dan lengkuas sendiri memiliki rasa dan aroma khas saat dimasak bersama — ditambah dengan kecap manis yang rasanya berbeda dengan manis gula. Semua perpaduan ini menciptakan impresi yang berbeda mengenai masakan Indonesia.

Pada salah satu kesempatan saya dan Gatari juga sempat berkunjung ke salah satu rumah teman BMI yang telah menikah dengan orang Taiwan. Salah satu cerita yang kami dapat dari hari itu adalah cerita mengenai suaminya yang tidak suka dengan rasa makanan Indonesia karena rasa bumbunya terlalu kuat, seperti nasi kuning, rendang, dan ikan asin. Saya sendiri dapat memahaminya, selain memasak untuk makan sehari-hari, saya dan Gatari juga sering membeli masakan siap saji di satu warung. Warung itu menjadi favorit kami karena murah, sehingga hampir setiap hari kami makan disana. Berdasar pengalaman tersebut, sedikit banyak saya mengerti rasa yang biasa dikonsumsi orang Taiwan, yaitu dominasi bawang putih. Walaupun ada satu masakan yang memakai saus berwarna gelap — yang saya tidak tahu namanya, tetapi rasa bawang putih memang mendominasi masakan. Tidak terasa rempah-rempah yang beragam seperti masakan Indonesia.

Bagi teman-teman BMI yang bekerja untuk satu keluarga atau harus menjaga lansia, maka mereka harus menegosiasikan rasa pada masakan yang akan mereka buat. Teman-teman BMI kemudian harus mengikuti kebiasaan rasa yang dikonsumsi oleh keluarga tersebut. Banyak dari mereka pada akhirnya begitu saja mengikuti selera dari tempat dimana mereka bekerja, sehingga saat memasak makanan Indonesia, hanya akan dibuat untuk konsumsi pribadi. Mengonsumsi makanan Indonesia bagi mereka adalah salah satu cara mengobati rindu, tetapi kadang beberapa dari mereka harus sembunyi-sembunyi saat memasak, karena majikannya tidak suka dengan bau masakan yang terlalu menyengat. Saat mereka memasak makanan Indonesia, biasanya untuk hari-hari spesial; misalnya ulang tahun, hari raya agama, dan hari kemerdekaan. Memasak makanan Indonesia juga sering dilakukan teman-teman BMI saat mereka berkumpul di taman, di sore hari saat membawa keluar jalan-jalan lansia yang mereka rawat. Namun, bagi yang beruntung, mereka bisa leluasa menggunakan dapur untuk memasak masakan Indonesia dan bahkan keluarga majikan mereka pun turut mengonsumsinya. Biasanya, ini terjadi pada teman-teman BMI yang sudah bekerja cukup lama, sampai majikannya pun dapat menerima rasa masakan Indonesia.

Perbedaan rasa mengenai masakan Indonesia dan Taiwan memang umum terjadi, tetapi permasalahannya adalah mengenai enak atau tidaknya makanan yang sebenarnya tidak memiliki ukuran yang baku. Enak atau tidak jatuhnya akan sangat personal, tergantung dengan selera, preferensi dan pengalaman makan masing-masing. Bagi salah satu teman BMI, Mbak Indah, yang kami temui di taman dekat stasiun Zhongxiao Xinsheng, enak itu sesuatu yang sifatnya umum seperti kesepakatan bersama, tapi bagi dia makanan itu harusnya terasa “mantap”. Ungkapan “mantap” ini memang ambigu kalau hanya mendengarnya saja — di mana “mantap” sendiri sebenarnya tergantung selera masing-masing setiap orang.  Bagi Mbak Indah, “mantap” disini adalah saat makanan memiliki rasa yang seimbang, antara manis, asin, dan gurih. Mbak Indah memiliki pendapat yang sama pula mengenai masakan Taiwan, terlalu minimalis, tidak banyak bumbu, dan yang utama rasanya tidak “mantap”.

Kemudian, dia mencari cara bagaimana agar masakan Taiwan yang dibuat memiliki rasa yang “mantap” tidak hanya bagi dia, tetapi juga majikannya. Sehingga ia juga senang saat mengonsumsinya. Ia merasa kalau majikannya perlu tahu rasa seperti apa yang seharusnya dimiliki dalam sebuah masakan. Lalu, cara yang Mbak Indah lakukan untuk mengejar rasa tersebut adalah dengan menggunakan bumbu penyedap, seperti kaldu bubuk instan. Kaldu bubuk instan ini bagi Mbak Indah adalah yang membuat unsur “mantap” itu tercipta. Beberapa keluarga di Taipei, tempat teman-teman BMI yang kami temui bekerja tidak pernah menggunakan bumbu penyedap instan atau disebut MSG, karena bagi mereka tidak sehat. Namun, Mbak Indah berpendapat lain, bahwa sehat atau tidak itu tergantung pola makan dan tidak ada hubungannya dengan rasa.

Eksperimen Rasa

Beberapa tahun bekerja, Mbak Indah kemudian memberanikan diri untuk bernegosiasi akan rasa masakan kepada keluarga tempatnya bekerja. Ia kemudian mencari cara untuk mengkomunikasikan perihal negosiasinya tersebut dengan memasak satu masakan, tetapi berbeda rasa. Piring pertama dimasak dengan menggunakan kaldu bubuk instan dan piring kedua tidak menggunakannya. Kemudian Mbak Indah menjelaskan kepada majikannya, bahwa dia harus mencoba perbedaan dari kedua rasa masakan ini. Hasilnya? Majikan Mbak Indah setuju bahwa masakan yang memakai kaldu bubuk instan memang lebih enak. Sebelumnya Mbak Indah tidak diperbolehkan sama sekali menggunakan MSG dengan alasan kesehatan, walaupun Mbak Indah juga sempat beberapa kali mencoba mendiskusikan dengan majikannya. Namun, semenjak peristiwa negosiasi rasa yang dilakukannya, majikannya menjadi mengerti bahwa masakan dengan MSG itu memang enak dan akhirnya Mbak Indah diperbolehkan menggunakan MSG saat memasak. Mungkin majikan Mbak Indah akhirnya sepakat bahwa rasa mantap dari MSG tidak ada hubungannya dengan kesehatan.

Saya bilang aja, ini dicoba dulu, pasti yang pake kaldu bubuk instan lebih enak! Yang penting dia nyoba dulu. Terus akhirnya dia tau dan setuju kalau pake kaldu bubuk instan emang enak, yaudah deh sejak itu saya masak pake ini terus.

Cerita Mbak Indah ini adalah salah satu cerita yang berkesan bagi saya. Saat Ia bekerja di dapur, awalnya memang ada konflik mengenai rasa dan perbedaan cara masak. Namun, tidak hanya konflik yang terjadi, Mbak Indah kemudian mencoba melakukan negosiasi mengenai rasa, bukan hanya mengikuti rasa yang biasa dan disukai majikannya, tetapi ia coba membuka diskusi. Cara yang dipilih Mbak Indah ialah dengan menyajikan masakan dengan memakai kaldu bubuk instan dan tanpa menggunakan kaldu bubuk instan. Melalui pengalaman Mbak Indah, sebenarnya dalam dapur, kekuasaan pada akhirnya tidak mutlak dimiliki oleh majikan yang dianggap sebagai “penguasa”, tetapi teman-teman BMI juga memiliki ruang kekuasaan di dalamnya. Relasi kekuasaan di dapur memang tidak akan pernah setara, akan selalu ada seseorang yang berkuasa, apalagi dalam kasus teman-teman BMI terdapat posisi hierarkis antara majikan dan pekerja. Namun, dalam setiap ruang yang hierarkis selalu ada celah untuk negosiasi serta diskusi. Bentuk negosiasi yang dilakukan teman-teman BMI ini dapat dilihat juga bahwa mereka  sebenarnya mempunyai strategi dan daya tawar untuk menggugat — yang biasanya dilakukan dengan praktek langsung, seperti memasak.

Sebagai bonus dari akhir tulisan ini, saya ingin membagikan resep singkat negosiasi rasa. Jika ada yang membutuhkan cara bernegosiasi rasa, mungkin resep ini akan berguna. Selamat mencoba.

Bahan-bahan:

  • Kaldu bubuk instan rasa sapi/ayam (merk tergantung selera)
  • Satu jenis makanan
  • Strategi

Cara Membuat:

  • Pilih satu jenis makanan, kemudian pisahkan dalam dua tempat
  • Berikan salah satu tempat dengan kaldu bubuk instan sesuai selera
  • Siapkan strategi, seperti kalimat yang akan diucapkan kepada majikan agar mereka mau mencoba

**Catatan: tingkat keberhasilan dari resep ini tidak akan sama bagi semua orang. Pemilihan jenis makanan dan rasa enak dari masakan memang penting, tetapi strategi yang dipersiapkan secara matang akan besar mempengaruhi.

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Ilustrasi oleh : Shilfina Putri
  • Proyek

Nasi Bakar Isi Ayam Suwir dan Teri

  • Foodemic
  • /Resep
14 Oktober 2020
Ilustrasi oleh Shilfina Putri
  • Proyek

Lawar Pakis dan Ikan Asin Istimewa

  • Foodemic
  • /Resep
25 Juni 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.