Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Pertemuan Satu (28/4/2015)

Diskusi / Fast & Foodrious
  • 7 Mei 2015
  • Bakudapan
Image illustration: pinterest.com

Melalui bantuan KUNCI Cultural Studies yang bersedia kami tumpangi, akhirnya kami telah berhasil mengadakan pertemuan bersama dengan para peserta. Sore menjelang malam sekitar pukul 18.30 satu persatu peserta mulai berdatangan. Demi menyambut kedatangan para peserta, kami menyediakan makanan lumayan cepat saji, yaitu tahu goreng Sumedang dan ditemani dengan minuman bersoda. Mungkin karena kelompok ini kajiannya berhubungan dengan makanan, salah satu peserta dengan baik hati membawakan makanan.

Perkenalan singkat

Setelah sekitar empat puluh menit, peserta yang datang hampir lengkap, dan kami pun memutuskan untuk memulainya. Sedikit pengantar disampaikan untuk memperkenalkan kembali Bakudapan dan tema yang kami angkat saat ini. Latar belakang peserta yang beragam dan memang sebagian besar tidak saling mengenal, maka terjadilah pengenalan singkat dari masing-masing peserta, memperkenalkan nama, serta alasan mereka tertarik mengikuti Bakudapan. Menariknya, beragamnya alasan yang membuat para peserta tertarik mengikuti kegiatan pertama Bakudapan ini sendiri. Mulai dari alasan memang hobi makan dan memasak, sampai adanya rasa penasaran kegiatan ini akan melakukan apa saja. Jangankan para peserta, kami sendiri yang menginiasi kegiatan ini dari Bakudapan pun juga merasa penasaran, akan menjadi apa nantinya kegiatan ini.

Selama perkenalan pun terkuak latar belakang peserta yang hadir dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Satu peserta yang berlatar belakang mahasiswa jurusan Teknik Pangan dan Hasil Pertanian mendapat pertanyaan, seperti apa yang sebenarnya mereka pelajari dan apa kaitannya dengan makanan. Selain mahasiswa, terdapat seorang atlet gulat, yang membuat perkenalan awal semakin menarik. Latar belakang peserta yang beragam ini membuat diskusi kami semakin seru saat mulai membahas mengenai fast food.

Berbicara tentang fast food yang jika diterjemahkan menjadi makanan cepat saji, dalam hal ini menjadi sangat luas. Beberapa peserta mengatakan bahwa Nasi Padang, warteg atau warung burjo (sekarang berganti nama menjadi warmindo) juga bisa dikategorikan fast food. Melalui kesepakatan bersama kami membuat batasan tentang tema fast food yang akan kami bahas, yaitu mereka yang memiliki sistem waralaba, baik itu fast food lokal maupun internasional, kategori lainnya adalah bahan makanannya dibuat di satu tempat (pusat), kemudian akan di distribusikan ke cabang-cabang yang mereka miliki.

Berbagi memori dan pengalaman

Catatan selama diskusi di pertemuan satu.
Catatan selama diskusi di pertemuan satu.

Diskusi dimulai dengan membahas sisi gengsi dari mengkonsumsi fast food. Seorang peserta menceritakan mengenai pengalamannya, ada masa saat nongkrong di McDonald’s itu merupakan hal yang mewah, walaupun pengaturan tempat, seperti pemilihan kursi yang tidak nyaman, orang-orang tetap saja tahan berlama-lama. Saat bicara mengenai gengsi dan fast food  sebagai hal yang mewah, maka tidak lepas dari cerita merayakan ulang tahun di waralaba fast food ternama, seperti McDonald’s atau KFC, yang memang menyediakan paket untuk merayakan ulang tahun. Memori-memori tentang rasa iri saat temannya merayakan ulang tahun di McDonald atau betapa senangnya menjadi salah satu undangan ulang tahun di KFC terlontar dari para peserta. Cerita menarik lainnya saat seorang peserta mengungkapkan pengalamannya saat masih kecil, ia berjualan es di sekolahnya, dan uang dari penjualan ini ia tabung untuk membelikan sekeranjang ayam goreng KFC bagi seluruh anggota keluarganya. Baginya, pengalaman itu adalah suatu kebanggaan, karena pada saat itu fast food merupakan barang yang mewah dan baru.

Pengalaman memasuki restoran fast food mulai dari membuka pintunya dan merasakan kesejukan AC, disambut dengan sapa ramah selamat datang dari mbak kasir yang kemudian menanyakan ingin pesan apa, duduk di kursi dalam ruangan dengan interior ceria dan suara musik yang optimis, sembari menikmati ayam goreng tepung yang bumbunya sangat rahasia ini merupakan satu pengalaman mengonsumsi fast food yang sukar dilupakan oleh anak seusia kami dari generasi 80-90an. Melalui pengalaman tersebut, kami merasa memiliki pengalaman yang sama dengan anak-anak di luar negeri, seperti Amerika. Cerita-cerita yang terkait dengan gengsi ini setidaknya merupakan salah satu hasil dari promosi yang dilakukan oleh jaringan fast food ternama, juga sebagai simbol dari modernitas dan globalisasi.

Waralaba fast food yang sudah ternama, terlihat memiliki menu yang hampir sama di setiap negara di mana mereka bertempat, tetapi tidak semua negara memiliki preferensi rasa yang sama. Salah satu strategi pendekatan yang mereka gunakan untuk mendekati konsumen dengan membuat menu yang sesuai dengan latar belakang budaya di mana mereka berada. Salah seorang peserta yang berdarah Minang mengungkapkan bahwa walaupun waralaba fast food sudah menyesuaikan rasanya, tetap saja tidak enak. Menurutnya makanan fast food cenderung hambar, lebih nikmat makanan dari daerahnya yang memiliki rasa yang lebih kaya.

Rangkuman dari catatan di pertemuan satu.
Rangkuman dari catatan di pertemuan satu.

Lalu saat fast food ternama sudah memiliki tempat di hati dan lidah masyarakat, munculnya fast food lokal buatan Jogja dianggap tidak lepas dari kesuksesan pendahulunya. Bakudapan mencoba menelusuri sejarah fast food lokal yang menunya sama dengan fast food internasional; ayam goreng tepung, kentang goreng, hamburger, donat, dsb. Muncul ingatan terdapat masa di mana tepung bumbu instan sempat popular di kalangan ibu-ibu sebagai solusi membuat ayam goreng ala KFC (kentaki) di rumah. “Ekonomis dan rasa boleh diadu,” kata ibu seorang peserta dulu, walaupun ia tetap berpendapat ayam KFC jelas lebih enak. Setelah “penemuan” tepung bumbu instan itu, yang membuat ibu-ibu kurang kreatif, apa saja dibumbu kentaki, mungkin hal ini termasuk cikal bakal lahirnya tahu kentaki. Lalu perbincangan ini pun lanjut membicarakan tentang bagian ayam seperti ceker, kepala, dan usus ayam yang digoreng kentaki.

Kembali ke fast food lokal, menurut beberapa peserta, hal yang membuatnya layak diperhitungkan sebagai pilihan makanan favorit adalah karena harganya yang relatif murah dan rasanya yang hampir mendekati dari versi fast food yang sudah ternama. Misalnya ayam goreng Olive yang dinilai paling mirip dengan ayam goreng KFC dan harganya yang bersahabat dengan kantong mahasiswa. Pembicaraan tentang fast food ini tidak hanya berhenti di seputar rasa makanan itu sendiri, tapi kami juga membicarakan tentang visualisasi dari iklannya, tentang tanggapnya jaringan fast food besar dengan isu makanan sehat dan organik, juga tentang seiringnya pergeseran budaya dan pengetahuan masyarakat yang membuat citra fast food berbeda dari waktu ke waktu.

Saat ini kami sedang memetakan bersama apa saja yang bisa kita bahas dari fast food ini dan kami akan segera kembali dengan update dari project Fast & Foodrious.

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Makan Siang Sisa #3
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #3

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
7 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #2
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #2

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #1
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #1

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Juli 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.