Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Pertemuan lima (20/5/2015)

Diskusi / Fast & Foodrious
  • 24 Mei 2015
  • Gloria Mario

Pertemuan kelima di Bakudapan Rabu kemarin 20 Mei 2015 pukul 20.00 kami isi dengan mengadakan pemutaran film dokumenter berjudul Earthlings. Malam itu saya berkesempatan memilih film yang akan kami simak dan nikmati bersama. Sebagai pengantar, Earthlings adalah film dokumenter Amerika yang dirilis pada tahun 2005 akhir dengan durasi135 menit. Secara graris besar, film ini memaparkan isu lingkungan dengan eksploitasi alam yang telah dilakukan kita sebagai manusia. Adegan demi adegan dari film ini diambil menggunakan kamera tersembunyi, dan digabungkan juga dengan beberapa potongan adegan yang diperoleh dari dokumentasi aktivis PETA, ALF, dan beberapa lembaga aktivis lainnya. Alur cerita dalam film terbagi menjadi lima pembahasan yakni pet, food, clothes, entertainment, dan yang terakhir scientific research. Prolog Earthling memilih latar alam liar dengan menyuguhkan gambar berbagai spesies hewan, mungkin tujuannya adalah kembali mengingatkan kita bahwa alam semesta ini dihuni bukan hanya oleh manusia namun juga hewan dan tumbuhan, yang akhirnya semua tergabung dalam sebuah ekosistem besar. Kemudian setelah adanya perkembangan teknologi dan pertumbuhan penduduk, bumi kita mengalami perubahan.

Cerita film

Pada bagian pertama, pet atau hewan peliharaan di Amerika sudah lama menjadi bagian dari industry peternakan besar yang ternyata mengancam kesejahteraan hewan-hewan yang biasa dipelihara oleh manusia. Ancaman terhadap hewan-hewan seperti anjing dan kucing dapat dlihat dari ukuran kandang yang sempit, jaminan kebutuhan makan dan minum yang sangat dibatasi oleh industri, dan sisi paling kontroversial adalah kebijakan suntik mati yang dilakukan pada anjing atau kucing yang terkena virus, yang dianggap hewan dengan nilai jual rendah. Kemudian pada bahasan kedua, yakni Food, Shaun Monson si pembuat film banyak mengambil gambar di peternakan-peternakan besar dan di beberapa tempat pemotongan hewan. Di Amerika pembantaian hewan nampak tidak etis, dan tentu saja hal ini menjadi pertentangan di ruang publik. Selanjutnya, bahasan ketiga yakni clothes menceritakan tentang industri fashion Amerika yang mengeksploitasi binatang-binatang liar untuk diambil kulit dan bulunya untuk dijadikan jaket, dompet, tas, ban pinggang, atau assesoris. Kebanyakan dari konsumen penggemar kulit dan bulu satwa liar ini memang berasal dari kelompok social dengan kelas tertentu. Konsumsi barang-barang yang terbuat dari kulit atau bulu satwa langka semakin mendorong kita manusia untuk kemudian tersegmentasi demi kepentingan gaya hidup. Sementara itu, bahasan yang terakhir adalah soal scientific research, dimana ada begitu banyak hewan yang menjadi bahan penelitian namun malah menjadi korban. Terpapar dalam film ini disebutkan ada sekitar 10 miliar binatang yang telah menjadi korban percobaan penelitian.

Apa yang kita bicarakan?

Selanjutnya, karena fokus kami adalah berkomentar soal makanan, maka kami tidak mendiskusikan soal pet, clothes, entertainment, dan scientific research. Hal yang menarik bagi saya pribadi yang merekomendasikan Earthlings untuk ditonton bersama sebenarnya karena saya mempunyai rasa penasaran akan tanggapan penonton lain. Dua tahun lalu saya pernah menonton film ini, yang direkomendasikan oleh teman saya yang adalah seorang aktivis. Waktu itu saya menonton film ini sendiri dengan bekal intervensi dari teman saya, yang kemudian berujung pada keputusan saya untuk berhenti mengkonsumi daging ayam potong. Bagaimana saya bisa memutuskan untuk tidak makan daging ayam sebenarnya muncul ketika rasa ngilu melihat adegan “penyiksaan” yang dilakukan di peternakan ayam. Dimulai dari adegan pemotongan paruh ayam-ayam yang masih kecil menggunakan mesin yang sangat panas, penyuntikkan suplemen pada ayam agar bisa tumbuh lebih cepat dan besar, serta kandang yang sempit membuat saya menyalahkan diri saya sendiri sebagai orang yang hampir setiap hari mengkonsumsi daging ayam. Saya membayangkan betapa tidak bahagianya daging ayam yang ada di meja ketika hendak disantap, ketika saya kembali mengingat adegan demi adegan dari film Earthlings, terutama ketika ayam yang saya makan berasal dari restaurant fast food terkenal seperti KFC, Mc Donals, Wendys, dll. Sayangnya, aksi “anti-ayam” saya hanya berjalan selama enam bulan saja, saat itu saya tidak bisa menghindari ajakan dari teman-teman yang mengajak saya makan di restaurant fast food local usai rapat rutin KKN. Dalam diskusi malam itu saya ingin melihat tanggapan dari anggota Bakudapan yang lain, apakah mereka mengalami kegelisahan yang sama atau mungkin memberikan tanggapan lain.

Sebagian besar dari kami menyimpulkan bahwa film ini sangat persuasive dan terkesan menaruh semua kesalahan kepada manusia yang menciptakan industri-industri. Pola perlakuan industri memperlakukan ayam-ayam, sapi, kambing, babi, termasuk ikan-ikan dengan tidak etis sebenarnya mengejar satu tujuan yang sama, demi keuntungan bisnis yang harus terus meroket. Misalnya kita bisa melihat ukuran kandang ayam yang sempit dengan tujuan menghemat lahan dan biaya pembangunan, kemudian berakibat pada hewan-hewan yang cenderung menjadi kanibal namun sanggup diatasi dengan diciptakannya mesin pemotong paruh. Semua perlakuan ditujukan untuk tetap menjadi pemasok akan kebutuhan-kebutuhan pasar, termasuk kebutuhan dari perusahaan-perusahaan fast food. Dalam film ini manusia dikarakterkan sebagai tokoh super power melalui adegan-adegan pengurus ternak yang mengeksekusi hewan-hewan dengan ritual mereka yang nampak tidak etis. Lebih dari itu, kami juga melihat film ini sangat vocal dan justru memberikan ide baru untuk berhenti saja mengkonsumsi daging, atau dengan kata lain mengajak untuk beralih menjadi vegetarian, demi kehidupan yang lebih bersahaja. Selain itu ada pula yang meberikan tanggapan lain seperti di Indonesia kita mempunyai ritual yang dirasa lebih “manusiawi” saat melakukan penjagalan. Menurut kami, Indonesia cenderung lebih etis dalam menjagal hewan dikarenakan adanya aturan pelebelan “halal” pada daging yang akan dipasarkan. Film ini sama sekali tidak meninggalkan rasa enggan untuk kami dalam mengkonsumsi daging-dagingan. Dalam berbagai etnis misalnya daging selalu menjadi makanan yang paling bernilai, baik dala acara syukuran, ritual keagamaan, dan pernikahan.

Bagi kami orang Indonesia, mengkonsumsi daging bahkan merupakan sebuah kepuasan tersendiri. Terutama dengan masih banyaknya masyarakat yang hidup di bawah garis sejahtera tentu megkonsumsi daging masih menjadi harapan, daging menjadi tolak ukur kemakmuran seseorang. Kami di Indonesia dengan begitu banyak ritual adat yang menggunakan hwan juga makanan yang mengandung unsur hewan, sulut bagi kami untuk menjadi vegetarian. Saya pribadi kemudian disini mengambil kesimpulan lagi, yang berbeda dari simpulan saya dua tahun lalu. Hal yang perlu kita garis bawahi adalah kita harus mulai peduli darimana makanan di atas meja kita berasal. Karena bagi para ahli kesehatan maupun tukang masak sekalipun berpendapat bahwa bahan makanan yang baik harus berasal dari sumber yang baik, untuk selanjutnya diolah dengan baik. Ketika kita tahu makanan di piring kita terjamin berasal dari ayam-ayam yang hidup di kandang yang lebih luas, dengan makanan yang alami, juga termasuk disini sayuran-sayuran yang organik, barulah kita bisa berdeklarasi sejauh apa tingkat kelayakan makanan yang masuk dalam tubuh kita.

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Makan Siang Sisa #3
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #3

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
7 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #2
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #2

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #1
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #1

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Juli 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.