Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Pertemuan empat (14/5/2015)

Diskusi / Fast & Foodrious
  • 19 Mei 2015
  • Gatari Suryakusuma

Sore ini Bakudapan mempunyai kesempatan untuk membahas pembacaan atas secuil dari tulisan panjang Pierre Bourdieu: A Social Critique of Judgement of Taste. Kami memulai pembicaraan dengan mendiskusikan kata ‘taste’ yang diterjemahkan sebagai selera dan bukan hanya tentang rasa yang bisa dihasilkan dari indera pengecap manusia. Bourdieu membahas kata selera yang berhubungan dengan tiga hal, yaitu dalam makanan, budaya dan presentasi visual yang dihadirkan. Ketiga aspek itu berkaitan, bukan lagi terpisah-pisah menjadi bagian-bagian sendiri yang tidak berkesinambungan. Contohnya, bagaimana orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda memiliki preferensi jenis makanan tertentu, lalu ketika mereka dihadapkan dengan jenis makanan dengan kualitas dan predikat (misalnya : harga, bentuk sajian, maupun tempat disajikannya) yang berbeda dari jenis makanan yang biasa mereka makan akan menghasilkan perilaku berbeda juga. Apakah mereka akan semakin mendekat ke makanan itu dan mampu melahapnya habis atau malah sebaliknya?

Contoh peristiwa itu bisa dibaca bahwa bagaimana sebuah makanan mampu menentukan posisi sosial dari seseorang yang mengonsumsinya, juga sebaliknya posisi sosial seseorang juga bisa dilihat dari bagaimana dia berelasi dengan makanannya. Presentasi visual yang dihadirkan oleh makanan akan membentuk relasi yang berbeda-beda pula terhadap orang yang mengonsumsinya, tergantung dari kelas, latar belakang budaya dan posisi sosialnya.

Pada awalnya kami tertarik untuk membahas pemikiran Bourdieu ini karena ia bicara tentang bagaimana perihal selera bisa menunjukan banyak hal di kehidupan sosial yang lebih luas lagi. Dalam tulisannya, Bourdieu menempatkan satu bahasan tentang pembagian posisi sosial, yaitu profesi seseorang dalam kaitannya terhadap selera, yang dibagi tiga: professional, guru atau kaum intelektual dan buruh yang masing-masing dari mereka memiliki cara, selera dan kebutuhan masing-masing terhadap makanan yang berbeda. Ia menjelaskan bagaimana profesi seseorang menentukan prioritas dalam membelanjakan uangnya terhadap pilihan makanan, penampilan (pakaian, sepatu, dll) dan hiburan (buku, majalah, musik, dll) dengan prosentase dari seluruh gajinya.

Fast Food dan Kaum ‘Borjouis’

Jika kita berbicara tentang fast food maka yang akan ada di pikiran kita adalah tentang tempat makan ala Amerika dan kapitalis. Bourdieu juga membahas tentang bagaimana presentasi atau penyajian dan juga harga akan membentuk nilai dari makanan itu terhadap kelas sosial konsumennya. Dalam kasus fast food, bagaimana image tentang makanan cepat saji ini terbentuk dari visual iklannya, memiliki referensi yang hampir sama satu sama lain. Sedang fenomena fast food lokal yang marak di Yogyakarta, dalam visualisasi iklannya sebagian besar merujuk pada fast food internasional yang lebih mapan. Visual atau penyajian yang seperti ini juga akan berpengaruh terhadap image dan nilai fast food di masyarakat Indonesia yang sebagian besar memiliki pemikiran bahwa segala sesuatu di tempat yang bersih, rapih, terang, dengan pelayanan menggunakan seragam dan cepat saji adalah berasal dari negeri Barat dan menjadi sasaran bagi kaum yang dianggap Borjouis atau kelas menengah.

Sebelum kita berbicara jauh, pada forum sore hari ini kami menyepakati bahwa kaum Borjouis yang dimaksud adalah kaum yang memiliki kemampuan lebih seperti modal, baik ekonomi, budaya maupun sosial dan intelektualitas yang lebih dari yang lain, sehingga mereka memiliki kuasa tersendiri untuk berbicara banyak dalam menciptakan situasi tertentu sesuai dengan apa yang dipikirkan dan diharapakan, mengenai makanan khususnya. Kaum Borjouis adalah kaum yang bisa dikatakan sebagai kaum pencipta dari trend, karena dengan modal yang mereka miliki, mereka mampu menentukan selera pasar dan membuat kaum kelas bawah berlomba-lomba ingin mengalami pengalaman budaya yang sama dengan mereka.

Dalam obrolan ini kami mencurigai adanya pola-pola strategi, atau lebih provokatif lagi disebut resistant dari kelas bawah terhadap kaum Borjouis  dengan adanya bentuk fast food- fast food KW ini.

Mungkinkah sebenarnya adanya fast food KW ini untuk mewadahi keinginan kelas bawah mengkonsumsi fast food dengan menu seperti MCD, Wendys atau KFC yang difasilitasi dengan harga yang lebih terjangkau? Supaya semua orang bisa bahagia walaupun tidak makan di fast food Amerika yang terkenal dengan sistemnya yang tidak ramah lingkungan dan mengupah rendah buruhnya dimanapun restoran itu berada?

Apakah pemilik restoran KW ini yang sepertinya memiliki modal ekonomi, turut menciptakan trend makan fast food KW, atau ia hanya melihat peluang untuk memenuhi hasrat kelas bawah?

Lalu, jika ditempatkan di struktur sosial masyarakat, berada dimanakah para pemilik restoran ini?

Ada banyak pertanyaan dan kecurigaan kami terhadap fenomena ini, yang juga diperjelas oleh Bourdieu ketika dia berbicara tentang makanan-makanan yang biasa dikonsumsi bagi golongan intelektual dan professional, namun tidak bisa didekati oleh golongan buruh yang disebabkan oleh presentasi dari makanan itu sendiri yang “berjarak”.

Fast Food dan Gender

Selain membahas masalah kelas, Bourdieu juga menjabarkan tentang kaitan makanan dan gender, dengan memberikan contoh bahwa laki-laki dari kelas pekerja akan memilih makanan-makanan yang berunsur daging dan suatu bahan makanan yang berunsur keras dan tidak lembut sedangkan perempuan akan cenderung memilih makanan yang berporsi sedikit, lembut seperti daging ikan. Hal ini dielaborasi dengan pertimbangan laki-laki akan cenderung memilih makanan yang mampu menunjukkan kekuatannya dan kejantannya, sedangkan perempuan yang selalu terlihat lembut dan dengan porsinya yang sedikit menggambarkan pekerjaan perempuan yang tidak terlalu keras sehingga tidak membutuhkan makanan dengan porsi yang banyak. Sebenarnya dalam obrolan sore hari itu kami tertarik dengan pemikiran Bourdieu yang memandang porsi banyak sedikit, menu keras atau lembut, lebih karena laki-laki yang lebih ingin terlihat garang dan maskulin sedangkan perempuan yang lebih terlihat lembut dan menonjol sisi feminitasnya bukan lagi tentang kadar nutrisi perempuan dan laki-laki yang berbeda.

Lalu apakah strategi fast food memang disediakan bagi sebagian kaum wanita atau beberapa golongan yang ingin terlihat rapi, tidak berantakan dan bersih dengan jumlah makanan yang porsinya pasti dan akurat?

Satu hal yang ingin kami highlight disini adalah bagaimana Bourdieu mampu menjembatani kita dengan ide bahwa keberadaan  fast food mampu menjadi alat pembacaan sosial yang lebih luas dan bukan hanya tentang rasanya sebagai makanan yang digemari dan banyak ditiru atau strategi jualan yang ingin mendapatkan keuntungan seperti restoran fast food yang sudah terkenal dan memiliki franchise dimana-mana.

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Makan Siang Sisa #3
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #3

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
7 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #2
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #2

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #1
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #1

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Juli 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.