Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Perjalanan Memahami Pangan Liar

Edible Weed
  • 11 Maret 2017
  • Gloria Mario

Ketertarikan. Mengapa pangan liar?

Sebagai pengantar, sejak November 2016 saya dan tim Bakudapan telah memulai sebuah proyek Pop-Up Restoran dengan tema pangan liar sebagai menu yang akan kami presentasikan. Mengapa pangan liar? Ada beberapa jawaban atas pertanyaan barusan.

Pertama, karena Bakudapan pernah terlibat dalam sebuah residensi Dapur Komunitas di Dusun Mendira, Jombang yang diinisiasi oleh Holopis dan Mantasa. Lembaga-lembaga tersebut memang sudah lebih dulu bergerak di isu-isu pangan. Kemudian, pengalaman residensi tersebutlah yang mempertemukan saya; bagian dari Bakudapan berinteraksi dengan Komunitas Perempuan Sumber Karunia Alam. Kelompok ini dibentuk sekitar 3 tahun yang lalu oleh lembaga bernama Mantasa. Bersama Mantasa mereka saling mengedukasi tentang tanaman liar yang banyak tumbuh di pekarangan dan hutan mereka. Sumber pangan tersebut tidak datang dari nama-nama tanaman sayur yang familiar saya dengar, sebagai anak muda yang asupan sayurnya sehari-hari bergantung pada pasar tradisional, kios sayur, atau warteg. Sintrong, Ketul, Krokot, Gude, Pegagan, Jelatang, adalah beberapa sayur yang pada awalnya susah sekali saya rekam dalam ingatan. Sejak jaman saya SD, saat bermain menyebutkan nama-nama sayur sesuai abjad, yang kami sebutkan adalah semua yang selalu kami lihat di pasar atau di pedagang sayur keliling. Mulai dari kangkung, bayam, brokoli, wortel dan kentang. Saya rasa sayur-sayur inilah yang tersimpan dengan baik dalam otak karena dikonsumsi sehari-hari. Bahkan sayur-mayur yang populer itu juga sangat sering kita jumpai menjadi bintang iklan bumbu masak produk industri besar. Mendengar cerita-cerita dari Ibu-Ibu di Dusun Mendira, bagi saya yang tumbuh di kota, hal ini menjadi pengalaman baru yang menarik bagi saya. Salah satu contoh percakapan misalnya

“Kalau disini ada istri yang hamil, atau baru saja melahirkan biasanya para suami seringnya pergi ke hutan. Mereka mengambil daun Besaran muda, daun Nangka muda, dan daun Kopi muda. Itu dilalap sama istrinya, supaya ASI-nya lancar…”

Kalimat tersebut menjelaskan bahwa masyarakat desa memiliki pengetahuan yang baik tentang sumber pangan.

Sejak bekerja sama dengan Mantasa, para Ibu kemudian mendirikan kebun bersama untuk membudidayakan beberapa tanaman liar yang bisa diolah, sehingga mereka tidak perlu lagi mengambil di hutan. Kemudian pengetahuan lain yang kami peroleh dari residensi diantaranya adalah ketika awalnya masyarakat desa tidak lagi mengkonsumsi beberapa tanaman seperti sintrong dan ketul, ternyata disebabkan oleh citra tanaman tersebut yang seringnya dijadikan pangan ternak. Dalam suatu percakapan, ternyata ada juga cerita dari seorang wanita paruh baya yang sehari-hari bertani bercerita kepada saya, bahwa ketika memasakkan suaminya lalapan daun Sintrong, suami awalnya enggan menghabiskan masakan tersebut. Namun, setelah beberapa kali masakan itu tetap dibuat, sang suami lambat-lambat teringat masa kecilnya yang ternyata ia pernah dimasakkan masakan yang sama oleh Ibunya. Perjalanan penerimaan kembali pangan liar sebagai sumber pangan yang sebenarnya sudah dikonsumsi lama oleh para leluhur, memang tidak mulus. Hadirnya pasar tradisional yang memasok sayur dari berbagai daerah, kesempatan berbelanja jarak dekat dengan pilihan pedagang sayur keliling, serta giuran kepraktisan memasak dari iklan televisi lah yang kemudian mengesampingkan pengetahuan-pegetahuan lokal masyarakat. Hal ini kemudian menjadi tantangan bagi kami kelompok lingkar belajar pangan untuk melihat lebih lanjut bagaimana masa depan pangan bisa diteliti dari pangan liar.

Selain itu, saya juga memiliki ketertarikan personal dalam melihat pangan liar. Saya berasal dari Indonesia bagian Timur, Papua yang memiliki keberagaman sayur mayor dan tradisi makan makanan yang berbeda dengan di Yogyakarta, kota tempat saya merantau. Hal ini lah yang membuat saya tertarik untuk mengetahui keberagaman sayur-mayur lokal di Yogyakarta. Saya percaya, masing-masing tempat memiliki pengetahuan lokal dan potensinya sendiri dalam soal keberadaan sumber pangan. Namun, menilik kota Yogyakarta sendiri yang belakangan ini mulai mengubah wajahnya dengan orientasi pembangunan dimana-mana, menimbulkan kecurigaan saya. Apakah ketika berbicara tentang sumber-sumber pangan lokal masih mungkin?

Bercakap dengan Mas Satrio, seorang pegiat pangan liar yang mencoba membantu kami dalam menganalisa sumber pangan yang dikonsumsi masyarakat. Ia mengawalinya dengan sebuah contoh tradisi dalam keluarga Jawa dahulu, yang memiliki bentuk rumah dengan pekarangan yang cukup luas untuk bercocok tanam. Sistem penanaman di pekarangan sendiri terbagi menjadi beberapa jenis tumbuhan serta fungsinya. Yang terdekat jaraknya dengan bangunan rumah misalnya ditanami sayur-mayur, serta bumbu-bumbuan. Kemudian diikuti juga dengan tanaman obat keluarga atau dikenal dengan istilah TOGA, serta tanaman perindang seperti buah-buahan, lalu di bagian tanah yang paling kering ditanami oleh umbi-umbian. Selain tanaman-tanaman yang sengaja ditanam tersebut, tumbuh juga beberapa jenis yang “tidak dengan sengaja ditanam” oleh keluarga. Misalnya seperti Sintrong, Krokot, Ketul, Jelatang yang mudah sekali tumbuh disekitar tanaman sayur, sebenarnya juga biasa dikonsumsi oleh Masyarakat Jawa terdahulu. Namun, ketenarannya sebagai pangan liar yang tidak memiliki nilai ekonomis , apalagi nilai sosial tentu saja semakin meminggirkan tanaman-tanaman ini sebagai bagian dari sumber pangan yang layak dikonsumsi. Padahal, kini tidak sedikit penelitian tentang sumber gizi dan nutrisi yang berasal dari pangan liar sudah dilakukan.

Penghambat ketenaran.

Wajah Mas Satrio sebenarnya sudah akrab sejak sekitar 2011. Ia dulu masih menjadi mahasiswa Biologi yang saya kenal karena terlibat dalam sebuah komunitas. Kini ia lebih serius tergabung dalam kegiatan yang bergerak dalam tema pangan liar. Ia memiliki produk-produk minuman fermentasi dari berbagai macam buah dan umbi, serta tertarik jga dalam mengolah sayuran dari tanaman liar. Mulai dari Sintrong, sampai daun Ubi Jalar yang ditumis ia ceritakan selalu ia kenalkan di pasar-pasar alternatif (pasar sehat dan organik di kota Yogyakarta). Sebagai orang yang lebih dulu terlibat dalam seluk beluk pangan liar, Mas Satrio menyebutkan satu hal hambatan yang selalu ia hadapi, yakni rasa. Salah satu pengalamannya saat mengolah sayur daun ubi jalar misalnya, ia merasa bahwa orang yang datang mencicipi tidak terlalu antusias dengan rasanya. Meski Mas Satrio telah membubuhinya dengan manfaat kesehatan yang ia ceritakan ke konsumen, tetap saja sayur daun ubinya tidak mendapat sentuhan konsumen.

“Padahal daun ubi jalar itu bisa menambah darah, bahkan lebih baik dari jambu biji merah yang kita kenal.”

Begitu kira-kira cerita Mas Satrio yang kesulitan mengenalkan pangan dari sayur-mayur yang termarjinalkan.

Berbicara tentang rasa, berarti berbicara tentang selera. Rata-rata indera pengecap kita susah sekali menerima masakan yang diolah dari bahan yang asing. Dedaunan seperti Pakis, daun Ubi Jalar, daun Singkong Karet, muda, Genjer, Bunga Jengger Ayam, tentu saja sangat asing di kuping masyarakat kota pada umunya. Hal ini tentu saja karena dedaunan tersebut tidak dibudidayakan oleh masyarakat, sehingga tidak termasuk menjadi sayuran populer di pasaran. Karena tidak dapat dilihat dan diakses dalam kehidupan sehari-hari, lantas selera kita atas sayuran dari tanaman-tanaman asing itu pun belum “masuk” di lidah. Selain itu, menurut amatan saya beberapa sayuran yang saya sebut di atas tidak memiliki nilai-nilai yang menyeleksinya untuk dapat masuk di pasaran. Beberapa tanaman sayur yang saya sebut tidak memiliki nilai ekonomis, karena tidak ditanam oleh petani karena tidak ada permintaan pasar. Kemudian yang kedua adalah tanaman tersebut tidak memiliki nilai sosial. Nilai sosial yang dimaksud disini menandakan sayur yang diolah dari tanaman di atas sama sekali tidak memiliki kelas. Sepertinya, mereka yang makan Wortel, Kentang, dan Brokoli yang jelas harganya tidak murah di pasaran membentuk kelas mereka dengan mengkonsumsi sayuran-sayuran populer. Mungkin karena Wortel, Kentang, Brokoli, Bayam, dan Kangkung lebih sering tampil di layar kaca sebagai bintang iklan bumbu instan yang sering sekali tayang di saluran televisi Indonesia. Ya, kalimat terakhir itu hanya kecurigaan saya, yang dirasa perlu untuk saya tuliskan disini.

Kedua nilai diatas memang sangat bergantung satu sama lain. Jika sayuran sudah memiliki nilai sosialnya, maka dengan mudah akan diikuti oleh nilai ekonomi. Dalam mensosialisasikan pangan, satu hal yang cukup penting adalah tentang rasa. Memahami bahwa “rasa” adalah hambatan paling besar dalam mensosialisasikan sayuran-sayuran marjinal kaya manfaat adalah sebuah tantangan baru, baik bagi saya dan tim Bakudapan. Sebagai kelompok belajar yang sebenarnya tidak memiliki latar belakang ilmu biologi maupun tata boga, kami berusaha meneliti dan belajar dari teman-teman pegiat pangan yang lain, untuk menemukan praktek yang tepat dalam mengolah tanaman dari pangan liar. Kami tidak ingin hanya terjebak dalam gerakan kampanye untuk sekedar hanya hidup sehat, melainkan ingin membuat gerakan-gerakan sekecil membuka ruang disukusi, atau demo masak yang kami akan aplikasikan ke masyarakat. Impian kami adalah membuka bersama wawasan kesadaran akan sumber pangan yang telah menjadi masalah bersama umat manusia di bumi ini melalui berbagai praktek sosial sehari-hari.

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Image : karya Diego Rivera berjudul "The Exploiters" diambil dari internet.
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 2

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Image karya dari Vicente Alvarez Dizon (seniman Filipina) berjudul : "After the Day's Toil"
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 1

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.