Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Ngeramban #1 : Peran Perempuan dan Politik Pangan

Edible Weed
  • 4 Juli 2017
  • Elia Nurvista & Gloria Mario

Ngeramban adalah salah satu kegiatan dan wadah di Bakudapan untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, yang utamanya bukan pangan, untuk mencari ilmu dan silang referensi. Karena kami ingin memperbanyak perspektif kami soal melihat pangan dan kaitannya dengan bidang-bidang kajian lain. Ngeramban sendiri artinya adalah mencari dan memetik daun-daunan untuk sayur dan lalap dari kebun atau mana saja, yang biasanya dimakan mentah. Maksud kami menggunakan terma ini, karena setelah proses ngeramban ilmu ini, kami akan ‘memasaknya’ lewat hal yang menjadi fokus kami, yaitu kajian tentang pangan.

Beberapa waktu lalu, Bakudapan sempat terlibat pada peluncuran album Dialita, kelompok paduan suara perempuan eks-tapol 65. Dalam acara launching album tersebut, kami memasak dan menyediakan snack khusus untuk penonton dari bahan-bahan yang menurut wawancara singkat dengan mereka, mengingatkan akan suasana hiruk pikuk 65. Ada bulgur yang merupakan sejenis gandum sumbangan dari Amerika karena kurangnya pasokan beras. Ada sintrong yang saat ini sudah jarang dimakan dan dijual di pasar. Ada bluntas yang nasibnya sama seperti sintrong, dst.

Berangkat dari pengalaman tersebut, kami kemudian ingin meneruskan untuk mencari tahu situasi seperti apa yang terjadi pada kisaran tahun tersebut dan yang ada hubungannya dengan politik pangan. Kemudian kami ikut terlibat dalam program residensi dan festival OK. Video yang memiliki tema besar pangan dan rezim. Kami bersama beberapa kolaborator ingin meneruskan riset kami yang fokus pada politik pangan dan 65. Kami pun mulai membaca artikel, buku serta menemui orang-orang yang bisa memberi gambaran serta pengalaman atas situasi kurun waktu tersebut.

Salah satu yang kita temui adalah Ibu Ita Fatia yang kebetulan ibu dari anggota Bakudapan, Nisa. Beliau adalah feminis dan telah banyak bekerja sebagai aktivis pembela HAM terutama untuk kasus-kasus pelanggaran HAM perempuan, seperti korban ‘65 serta ‘98. Saat berbincang dengan bu Ita, kami mulai masuk melalui perspektif para eks Tapol perempuan dan juga bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan pangan selama di dalam penjara. Bu Ita sempat mengingatkan agar kami tak mengeksotisasi perihal tapol dan mampu melihat situasi paceklik pangan dengan perpektif yang lebih luas dan mendasar. Berikut apa yang bisa kita tangkap dari acara Ngeramban sore itu.

Latar belakang sejarah suasana politik dunia di kisaran tahun 1955-1965

Di tahun 1955 Soekarno, dan beberapa tokoh di seluruh negara Asia-Afrika menggagas gerakan New Emerging Force. Sederhananya, implikasi dari gerakan tersebut salah satunya dipraktekkan lewat menolak sistem impor pangan dan memaksimalkan produksi pangan hanya dari bumi Indonesia. Ia bercita-cita menyingkirkan semua bantuan ekonomi luar negeri, dan memaksimalkan dari hasil bumi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Maka, bertumbuhlah industri-industri rumah tangga (industri terkecil) yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan scoope lokal dari masing-masing daerah.

Kenapa menolak impor? Jelas karena menolak sistem kolonialisme gaya baru lewat perusahaan multinasional yang berwatak kapitalis. Soekarno ingin Indonesia memiliki pilar ekonomi dan pilar politik yang mandiri. Disini bu Ita membahas soal idealisme nasionalis ini juga melalui peran perempuan. Mengapa perempuan? Mengapa Dapur yang menjadi perhatian kita menelusuri lagi sejarah ekonomi dan politik negara dalam kaitannya dengan sejarah pangan era itu? Dalam skala terkecil, dalam rumah tangga tentunya memiliki dapur sebagai pusat konsumsi sehari-hari keluarga. Saat itu Soekarno mencanangkan apa yang disebut : ‘Strategi politik Ekonomi Dapur’. Lewat strategi ini, Soekarno mengajak para perempuan yang dianggap sebagai subyek yang sehari-hari memproduksi makanan untuk keluarga karena latar belakang kultur kerja domestik, untuk menaruh perhatian lebih pada barang-barang yang dikonsumsi. Para Ibu mencatat apa saja yang biasa mereka konsumsi dan dari mana asalnya. Seperti beras, bawang, kecap, garam, gula, minyak, hingga sabun dan shampoo dicatat agar bisa ditelusuri, apakah merupakan produk lokal atau impor. Jika impor maka ditekankan untuk mencari sumber yang diproduksi oleh daerah lain di Indonesia.

“Iya, misalnya dalam satu kampung itu juga dicatat, kayak bapak atau ibu A itu produksi kecap. Terus di selatannya ada yang produksi tempe atau tahu, semuanya itu dicatatat. Jadi dalam satu kampung pasti ada yang memproduksi sendiri bahan pangan mereka” (Ibu Ita)

Langkah ini tentu sejalan dengan apa yang dicita-citakan Soekarno, agar tidak lagi bergantung pada produk asing. Hal yang dilakukan ibu-ibu ini adalah gerakan kecil yang berdampak, sebab produk konsumsi pertama yang paling mudah menubuh pada keseharian masyarakat adalah produk dapur dan rumah tangga.

Untuk memudahkan pengorganisasian serta menjalin jejaring antar komunitas keluarga yang satu dengan yang lain, maka terbentuklah organisasi Gerwis : Gerakan Wanita Sejahtera. Menurut sejarah, Gerwis kemudian pecah menjadi Gerwani dan Perwari. Gerwani atau Gerakan Rakyat Perempuan ada di kaki sendiri masih melangsungkan gerakan-gerakan mandiri yang selaras dengan Soekarno. Selain urusan dapur, mereka juga melakukan berbagai kegiatan diantaranya mengajar baca-tulis untuk kaum perempuan yang buta huruf hingga pada politik praktis seperti mendorong Undang-Undang Perkawinan yang tidak diskriminatif terhadap perempuan. Saat itu Gerwani bukanlah bagian dari partai atau golongan komunis. Karena ideologinya yang kiri, mereka kerap diafiliasi dengan partai komunis.

Berturutan dengan hal itu, karena gerakan New Emerging Force cukup mengancam eksistensi kepentingan negara-negara yang ingin menginvestasikan (mengekslpoitasi) kekayaan bumi Indonesia, penggulingan Soekarno serta pemimpin-pemimpin kiri di Asia Afrika kemudian menjadi target yang direncanakan. Di Indonesia lewat Gerakan 30 S, ideologi kiri diberangus sampai ke semua lini kegiatannya, termasuk Gerwani yang selalu dinilai berasosiasi dengan PKI.

Bagaimana hal ini bisa kita kaitkan dengan persoalan politik pangan? Setelah turunnya Soekarno yang kemudian digantikan oleh rezim Soeharto di tahun 1966, ada banyak kebijakan politik yang berubah, diantaranya adalah kebijakan agraria, kebijakan modal asing serta kebijakan ekspor-impor yang pastinya berhubungan dengan bahan pangan. Belum lagi dengan doktrin dan propaganda revolusi hijau.

Peran perempuan pada era Soeharto juga masih memiliki posisi penting sebagai ‘ibu’ yang juga kemudian lebih didomestifikasi lewat budaya patriarki. Lewat Panca Dharma Wanita peran dan tubuh perempuan diatur dan dibatasi. Panca Dharma Wanita sendiri berisi: 1) wanita sebagai pendamping setia suami, 2) wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa, 3) wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak, 4) wanita sebagai pengatur rumah tangga, 5) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna.

Disini terlihat jelas meskipun negara menyediakan sarana untuk perempuan bergerak dan berorganisasi, tetapi gerakan mereka dibatasi, didomestifikasi dan didepolitisasi hanya dengan urusan mengurus suami, anak dan rumah tangga. Seperti pepatah yang bilang bahwa urusan perempuan hanyalah kasur, sumur dan dapur. Pada persoalan dapur, utamanya tugas ibu/ perempuan adalah menyediakan makanan yang baik untuk keluarga. Apa yang dimaksud dengan kategori baik pun sangat diatur oleh negara, misalnya dengan doktrin ‘4 Sehat 5 Sempurna’ yang mengatur bahwa seolah-olah karbohidrat hanya dapat terpenuhi oleh nasi, kewajiban untuk mengkonsumsi susu yang belum tentu cocok untuk semua orang, dsb. Propaganda dan ‘anjuran’ ini disusupi dengan sangat efektif melalui kegiatan arisan, PKK, Posyandu, dan sekolah-sekolah, sehingga kita menerimanya begitu saja tanpa ditantang untuk berpikir kritis akan budaya makan kita.


Tentang Ita Fatia Nadia

Ita Fatia Nadia adalah peneliti sekaligus aktivis perempuan. Pendiri Kalynamitra, LSM yang fokus pada perempuan korban kekerasan. Saat ini aktif mendirikan Sekolah Budaya mBrosot Yogyakarta.

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Image : karya Diego Rivera berjudul "The Exploiters" diambil dari internet.
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 2

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Image karya dari Vicente Alvarez Dizon (seniman Filipina) berjudul : "After the Day's Toil"
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 1

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.