Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Makan Siang 264: Cara Presentasi dan Mencari Data

264 / Catatan
  • 19 Agustus 2017
  • Khairunnisa

Beberapa waktu lalu Bakudapan melakukan rapat, seperti hari-hari lainnya, kami cukup sering bertemu. Pada pertemuan yang lalu kami mendiskusikan beberapa hal, termasuk kinerja kami, diantaranya adalah mengenai penulisan reportase kegiatan. Topik ini sebenarnya berkaitan dengan apa yang akan saya tuliskan saat ini, yaitu mengenai proyek 264, proyek yang kami lakukan beserta para pekerja migran Indonesia di Taipei tentang relasi kuasa dapur. Di proyek ini kami menyoroti bagaimana hubungan majikan-pekerja lewat kegiatan masak, makan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu. Proyek ini memang sudah terlalu lama ‘dibiarkan’ begitu saja tanpa ditindak lanjuti — tentu saja jika ingin menggunakan alibi, kesibukan dengan proyek lain tidak bisa di-amini. Sekembalinya saya dan Gatari dari sana, kami sering melakukan obrolan refleksi mengenai pengalaman selama di Taipei. Sayangnya, saat itu kami belum menyadari potensi dari cerita-cerita yang kami dapatkan. Setelah belakangan ini kami kembali mengingat ulang dan berdiskusi bersama teman-teman Bakudapan yang lain, kami menemukan hal-hal menarik yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi penelitian-penelitian berikutnya.

Salah satu poin pertemuan dengan Bakudapan malam itu adalah mengenai tulisan reportase setelah melakukan kegiatan-kegiatan. Dalam proyek 264 sendiri, kami menggunakan bentuk acara makan performatif sebagai acara utama disamping kegiatan pengumpulan data lain. Kami belum banyak membagikan cerita tentang pengalaman tersebut, walaupun pernah melakukan diskusinya beberapa waktu lalu tentang metode penelitian kami yang beririsan dengan metode etnografi yang dilakukan dalam rangka residensi seni.

Pencarian Data

Ditulisan sebelumnya saya menceritakan mengenai proyek yang kami lakukan di Taiwan, yaitu tentang dapur dan relasi kuasa yang tercipta antara pekerja domestik BMI dengan majikannya. Selama proyek ini berlangsung kami melakukan pengumpulan data dengan metode wawancara mendalam bersama beberapa BMI, aktivis buruh migran, dan beberapa warga lokal yang memiliki pengalaman dengan BMI. Disamping wawancara mendalam, kami juga mencoba untuk melakukan observasi partisipatif; datang ke rumah salah satu BMI — berbincang di dapur tempat dia bekerja, berjalan-jalan bersama ke pasar malam saat mereka mempunyai waktu luang, dan juga nongkrong di taman tempat mereka menghabiskan sore bersama orang yang mereka rawat.

Kami berangkat dari permasalahan yang beberapa kali kami dengar setiap melakukan pertemuan dengan para BMI, yaitu mengenai pemaksaan konsumsi daging babi oleh majikan kepada para BMI. Hal ini kemudian kami gunakan sebagai jalan masuk untuk melihat permasalahan lain yang mungkin muncul di dalam dapur. Melalui perjumpaan-perjumpaan yang kami lakukan dengan metode pengumpulan data yang kami gunakan, kami mendapatkan cerita lain mengenai BMI dan dapur. Pemasangan kamera pengawas di dapur untuk mengontrol makan seorang BMI agar tidak membuang makanannya, pengaturan cara makan yang harus berada satu meja dengan majikan agar dapat dikontrol, pelarangan konsumsi jenis makanan tertentu, sampai kerja “multitasking” para BMI[1]. Seringkali, saat ruang makan dibedakan antara majikan dengan BMI, kita akan melihatnya sebagai bentuk ketidaksetaraan dan diskriminasi. Namun, saat mereka berada dalam satu meja yang sama sebenarnya terjadi bentuk diskriminasi yang lain, yaitu kontrol. Hal ini biasa terjadi terutama karena seringnya BMI membuang daging babi yang diberikan oleh majikannya, sehingga saat mereka berada dalam satu meja yang sama maka si majikan akan lebih mudah memastikan bahwa si BMI ini akan menghabiskan semua makanannya, termasuk daging babi. Dari sini kami berfikir kira-kira apa persoalan paling mendasar dari kontrol dan pelanggaran hak atas pilihan makan ini. Apakah tidak ada lembaga yang bisa melindungi hak-hak BMI di Taipei, termasuk hak pilihan makan? Apakah hal ini tidak pernah dibicarakan secara terbuka oleh para BMI sendiri karena dianggap tidak terlalu penting dan dapat mengganggu usaha mencari nafkah mereka? Apakah tidak ada institusi yang menjembatani antara buruh migran dari setiap negara kepada para calon majikan yang bisa menjelaskan persoalan kultur, budaya termasuk kepercayaan atau agama?

Selagi dalam proses mencari tahu hal-hal tersebut, kami mencoba membayangkan dengan cara apa pertanyaan-pertanyaan ini bisa didiskusikan, yang dipancing dengan temuan-temuan sementara kami akan isu ini. Kami kemudian memikirkan untuk membuat acara makan siang, tetapi dengan menciptakan skenario atau alur cerita selama acara berlangsung. Skenario yang kami ciptakan berdasarkan data sementara yang telah dikumpulkan — mengenai isu-isu yang sudah sedikit saya jabarkan diatas. Acara makan siang bertujuan menampilkan data sementara yang kami miliki dan juga mempertemukan orang-orang yang mungkin bisa membicarakan isu ini dengan lebih terbuka. Orang-orang ini kami undang berdasarkan latar belakang mereka masing-masing; BMI, aktivis pekerja migran, dan pekerja seni yang jarang bersentuhan dengan isu pekerja migran. Antara aktivis pekerja migran dengan BMI memang sering bertemu, terlebih karena apa yang mereka kerjakan saling berkaitan. Sedangkan pilihan mengundang pekerja seni lebih karena kami merasa seni bisa melihat persoalan dari sudut pandang yang berbeda dibanding gerakan sosial lainnya. Mereka semua kami pilih dan kami pertemukan dalam acara makan siang ini, yang kemudian harapan kami nantinya dapat menciptakan diskusi dan komentar yang beragam saat acara berlangsung. Kami berharap semua diskusi dan komentar yang muncul selama acara berlangsung dapat kami gunakan sebagai data baru yang penting untuk dicatat.

Merancang Makan Siang

Saya masih ingat proses merancang acara makan siang performatif yang kami adakan di Taiwan tahun lalu. Kami merasa bingung dengan menu apa yang harus disajikan saat acara berlangsung, terutama karena kami ingin memperesentasikan hal-hal yang kami anggap menarik yang ditransformasi menjadi bentuk makanan. Selain makanan, kami juga terpikir untuk memikirkan situasi seperti apa yang ingin diciptakan. Acara makan siang ini kami adakan di tempat kami tinggal, yaitu di Bamboo Curtain Studio. Bayangan kami saat tamu-tamu undangan kami datang dan hanya disajikan makanan-makanan yang sudah kami rancang, akan terasa hanya seperti acara makan biasa dan tidak menyasar isu utama, terutama untuk memahami persoalan relasi kuasa dapur ini. Selain itu lokasi acara di Bamboo Curtain Studio, sebagai tempat residensi seni yang juga lokasinya cukup jauh dari pusat kota, akan terasa asing bagi tamu undangan kami, terlebih karena lingkup kegiatannya jarang bersentuhan dengan para BMI. Sehingga kami memutuskan untuk membuatnya dengan narasi tertentu dan mengandung unsur teatrikal atau bermain peran. Alasan ini kami rasa menjadi penting untuk membangun komunikasi diantara para tamu undangan, terlebih lagi kami tidak hadir selama acara berlangsung. Kami memilih tidak hadir dalam acara makan agar komunikasi yang tercipta dapat berjalan dengan alami tanpa ada intervensi dari penyelenggara acara.

Kemudian kami menciptakan sebuah skenario cerita mengenai lokasi yang kami gunakan dan juga tentang orang-orang yang ada di dalamnya. Kami membuat jalan cerita yang masih terkait dengan proyek residensi kami, yaitu mengenai dapur dan relasi kuasa. Cerita-cerita pengalaman BMI selama bekerja di Taiwan dan juga intrik yang dialami, kami kembangkan melalui jalan cerita yang kami buat bertentangan dengan situasi pada umumnya yang terjadi di Taiwan tentang buruh migran. Untuk menciptakan suasana yang lebih nyata, kami bekerjasama dengan seorang aktor dari Sun Son Theatre, yaitu Wei Loy.

Wei Loy kami buat perannya sebagai seorang bos kaya raya, bernama Zhu Tai Ding, pemilik wilayah Bamboo Curtain Studio yang akan ia jadikan sebuah hotel. Fakta dari cerita-cerita BMI yang kami putar balik dalam jalan cerita makan siang performatif ada beberapa hal; jika orang Taiwan banyak mempekerjakan pekerja migran, Zhu Tai Ding mempekerjakan pekerja asli Taiwan. Hal ini dikarenakan gaji pekerja rumah tangga asli Taiwan lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja migran, dan sebagai orang kaya raya Zhu Tai Ding mampu membayarnya. Selain itu Zhu Tai Ding seseorang yang menyangangi babi, sehingga ia melarang pekerjanya memakan daging babi, tetapi di lain sisi ia memaksa pekerjanya mengonsumsi daging sapi. Cerita pemaksaan makan babi sering ditemui, tetapi kami menggantinya dengan konsumsi daging sapi karena pekerja Zhu Tai Ding berasal dari pelosok desa Taiwan, di mana mereka mempercayai bahwa sapi tidak boleh dikonsumsi, karena sapi merupakan tenaga yang membantu mereka bekerja di pertanian. Disini yang kami tekankan adalah perbedaan budaya dan perspektif sebagai cara masuk membicarakan konflik. Hal ini terjadi karena ternyata banyak orang Taiwan yang tidak menganggap serius persoalan bahwa babi merupakan makanan haram bagi banyak BMI yang mayoritas muslim. Padahal sesungguhnya pilihan makan merupakan hak paling dasar manusia.

Selain ketidak hadiran kami selama acara makan siang ini sampai selesai, dalam undangan kami hanya menyebutkan acara makan siang tanpa memberi tahu dengan jelas detil acaranya. Saat para tamu datang, mereka akan langsung disambut oleh Zhu Tai Ding dan pekerjanya, yang diperankan oleh Sherry, staf serta beberapa pekerja magang dari Bamboo Curtain Studio. Setelah sambutan, para tamu kemudian diajak berkeliling lokasi Bamboo Curtain Studio yang dalam skenario akan dijadikan hotel dan selama tur disisipkan skenario pembicaraan mengenai fakta-fakta tentang BMI. Acara tur rumah ini penting untuk membangun atmosfer dan agar peserta terbawa kedalam cerita yang puncaknya akan ada di acara makan siang. Tujuannya supaya peserta bisa berbicara dan berkomentar lebih banyak tanpa takut dan ragu sedang berada dalam sebuah forum yang membahas tentang BMI yang merupakan bagian dari identitas dirinya. Untuk itu acara ini juga menggunakan bahasa Mandarin dimana tamu undangan biasa berkomunikasi dengan bahasa tersebut.

Makanan Tematik

Di awal saya sebenarnya belum menjelaskan sebenarnya apa itu makanan tematik. Di sini yang saya anggap makanan tematik adalah makanan yang kami ciptakan, baik dari bahan, resep, hingga tampilannya sesuai dengan konsep tertentu, sesuai dengan kebutuhan kami. Peran makanan dalam hal ini kami gunakan sebagai medium untuk menyampaikan data temuan di lapangan. Jadi makanan tematik kurang lebih adalah proses mentransformasi data temuan menjadi sebuah resep masakan. Fungsi dari membuat makanan tematik ini agar narasi kami bisa disampaikan lewat indra pengecap yang akan memancing diskusi lebih dalam. Dalam acara makan siang ini kami menyajikan tiga makanan, yang terdiri dari pembuka, utama, dan penutup. Ketiga makanan ini kami sajikan ditambahkan dengan narasi yang disisipkan untuk memancing diskusi selama makan.

Makanan pembuka kami menyajikan tahu busuk, jajanan khas Taiwan — yang memiliki bau bawang yang sangat tajam, rasanya pun sangat kuat, tetapi kemudian kami menambahkan potongan petai mentah didalam tahu. Bagi orang Taiwan, mereka masih asing asing dengan petai, terutama dengan bau yang dihasilkan setelah mengonsumsi petai. Kami ingin menggambarkan perbedaan budaya dan masa sulit adaptasi awal para BMI saat pertama datang ke Taiwan. Bukan hanya adaptasi mengenai rasa yang harus mereka hadapi, tetapi juga bahasa dan budaya.

Berikutnya, makanan yang kami sajikan untuk membahas masalah utama di dapur yang seringkali dialami adalah mengenai pemaksaaan mengonsumsi daging babi. Kami membuat kerangka kepala babi menggunakan adonan pastri. Ceritanya ini adalah kepala dari babi kesayangan Zhu Tai Ding, karena sudah tua dan hampir mati, ia ingin mengonsumsi dagingnya untuk mengenang babi kesayangannya. Memang terdengar aneh, tetapi sengaja kami buat dramatis. Semua teman BMI yang hadir beragama Islam dan mereka tidak mengonsumsi daging babi. Sehingga saat makanan ini dihadirkan terjadi diskusi, sebab Zhu Tai Ding memaksa semua orang harus makan. Namun, sebenarnya didalam kerangka kepala babi, kami menyajikan nasi ayam hainam, sehingga semua bisa mengonsumsinya. Menariknya, diskusi tercipta tidak hanya mengenai daging babi, tetapi juga mengenai kesepakatan menggunakan alat makan, sebab salah seorang tamu ingin makan dengan tangan langsung, karena menunya adalah ayam. Sebagai seorang bos Zhu Tai Ding menginginkan keseragaman, semua orang harus melakukan hal yang sama. Sehingga Zhu Tai Ding dan seluruh tamu membuat kesepakatan bersama harus makan dengan tangan langsung atau tidak. Kesepakatan ini sendiri menjadi salah satu poin penting dalam skenario yang dibuat untuk acara makan siang. Sebab kami ingin memperkuat karakter Zhu Tai Ding sebagai seorang bos yang suka mengatur dan keras kepala — sehingga semua permintaannya harus dituruti. Hal ini juga cerminan dari cerita-cerita para BMI mengenai karakter majikan mereka. Tetapi dengan kesepakatan bersama, kami juga menekankan soal negosiasi yang mungkin terjadi yang juga merupakan salah satu strategi para BMI di sana.

Terakhir, sebagai penutup kami menyajikan lumpia ala Vietnam, tetapi isinya diganti dengan bahan-bahan yang merepresentasikan jumlah tenaga kerja migran yang berada di Taiwan. Jumlah pekerja migran dari Asia Tenggara cukup banyak ditemui di Taiwan, tidak hanya dari Indonesia. Dalam isi lumpianya, Indonesia digambarkan oleh buah durian, Filipina digambarkan oleh manisan mangga, Vietnam digambarkan dengan kulit lumpia dari tepung beras, dan Thailand digambarkan dengan daun ketumbar.

Setelah semua makanan tersaji, acara makan pun ditutup oleh Zhu Tai Ding dan saya serta Gatari akhirnya keluar untuk bertemu seluruh tamu undangan. Kami menjelaskan tujuan dari acara ini dan alasan mengapa makanan yang mereka makan berbentuk aneh atau terasa aneh. Beberapa dari mereka benar mempercayai situasi yang terjadi pada saat itu; Zhu Tai Ding adalah orang kaya raya, pekerjanya adalah orang Taiwan, dan Bamboo Curtain Studio adalah hotel. Bahkan sempat terjadi protes yang dilakukan salah seorang tamu — di mana dia adalah seorang aktivis buruh migran, ia mempertanyakan mengapa semua orang harus melakukan hal yang sama, mengapa tidak boleh memiliki kebebasan? Kurang lebih inilah gambaran kegiatan makan siang performatif yang kami adakan di Taiwan tahun lalu. Sebagai gambaran singkatnya secara visual, kami membuat video dokumentasi singkat mengenai acara makan siang ini.

Catatan :

[1] Banyak BMI yang bekerja di area domestik secara kontrak sebagai perawat lansia, tetapi karena mereka tinggal dengan keluarga tempat mereka bekerja, mereka juga harus merawat anggota keluarga yang lain; memasak, mencuci, bahkan sampai menjemput serta mengantar anak ke sekolah.

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.