Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 2

Edible Weed / Kunjungan
  • 17 Juli 2018
  • Bakudapan
Image : karya Diego Rivera berjudul "The Exploiters" diambil dari internet.

Interview #bagian 2 ini merupakan sambungan langsung dari sebelumnya. Bakudapan di wakili oleh Elia, Gloria dan Nisa, berbincang dengan Bapak Gunawan Wiradi di Sayogjo Institut, Bogor pada Juli 2017 lalu.

Nisa (N) : Balik lagi tadi pak, yang awal sekali kita ngomongin soal kelaparan di Indonesia di tahun ’77. Itu gimana ceritanya? Penyebabnya apa?

Gunawan Wiradi (GW) :  Itu saya punya tulisan, tapi dokumennya hilang. Saya nulis untuk seminar di Hawaii. Waktu tahun ’77 itu saya tidak ada di sini, saya sedang sekolah di Malaysia. Tapi waktu pulang, terus ’79 diundang ke Hawaii, atas desakan orang asing, “You nulis tentang itu” lha saya kumpulin bahan-bahan dari penelitian saya. Jadi istilahnya content analysis.

Wah tahun “77 itu dulu, di Pantura, itu kan ya gudang berasnya Jawa Barat, lha kok orang makan enceng gondok. Di Sika, di Sulawesi, di mana-mana, di Sumatra, juga. Lurah lapor ke Camat, Camatnya terlambat lapor ke pusat, lalu pusatnya datang, yang meninggal sudah sekian.

G : Tentang tulisan bapak untuk seminar Hawaii itu apalagi pak?

GW : Judulnya itu, “Welfare Institution and Natural Disaster” atau terbalik ya? (sambil mengingat). Jadi intinya ingin menunjukkan kalau dulu itu ada lembaga desa yang tugasnya mengelola kalau ada bencana, gitu lho. Lha ini ada bencana kok di mana-mana nggak jalan, kenapa? Kira-kira gitu lah. Karena waktu itu di Hawaii itu ada international workshop judulnya adalah “The First Working Group Meeting on Food Security“. Jadi soal keamanan pangan, keselamatan pangan. Nah itu maka dari situ lahir ide apa yang disebut early warning system. Juga nggak jalan sampai sekarang, tidak hanya soal pangan, soal lain-lain kita tidak pernah berpikir tentang early warning system.

Elia (E) : Terus kalau tadi pak yang soal the first working group di Hawaii itu tadi, itu siapa penyelenggaranya, pak?

GW : FAO. Itu yang saya juga heran. Waktu Prof. Sinaga, wakil ketua Bulog, Pak Sujatmoko, siapa lagi itu tokoh-tokoh, itu juga diundang, dimasukkan ke asrama mahasiswa. Saya nggak ikut di rombongan mereka. Tahu-tahu saya dimasukkan hotel kelas 1 tempatnya film-film star itu, sama tokoh-tokoh FAO. Lha kok malah saya ditaruh sini. Padahal gak punya uang. Per diem-nya dapatnya 13 dolar waktu itu, lha makan satu kali nasi goreng 15 dolar. Wah ya untuk yang lain-lain gimana ini, uang titipan dari rumah habis. Akhirnya protes saya, kok profesor-profesor masuk asrama, kok saya malah ditaruh di sini? “Lho, tuan kan setingkat dengan orang-orang FAO ini, apa tidak seneng?”  “Ya saya ingin kumpul dengan teman-teman”, alasannya. Akhirnya saya setelah 4 hari nggabung ke asrama, diketawain. Lha di situ nyuciken pakaian 1 stel itu 15 dolar, di situ 1 stalen, stalen kan 1 dolar aja nggak ada. Di asrama itu, karena pakai mesin cuci. Nah karena di hotel itu, tokoh-tokoh FAO itu diskusi. Lha saya kan merasa agak rendah diri gitu, profesor-profesor semua, tingkat dunia. Makalah saya dianggap original, gitu aja.

E : Jadi yang diundang berarti negara-negara kategori “berkembang” ya pak?

GW : Pada umumnya, ya. Tapi negara maju ada, sebagai pembicara, mentornya. Sebenernya macem-macem memang, dari Jepang, dari Amerika, dari Amerika Latin, dari Afrika, macem-macem.

Gloria (G) : Yang bisa didapat atau disimpulkan dari pertemuan itu selain early warning system apa pak, waktu itu?

GW : Ya di sana diperdebatkan sebabnya apa soal kurang pangan dan sebagainya. Selain bencana alam, untuk mengetahui bencana alam apa saja, kalau hujan, hujannya bagaimana, dan sebagainya. Kalau topografinya begini bagaimana, kalau begitu bagaimana, teknis. Macem-macem.

Di pertemuan FAO itu sudah membicarakan ancaman krisis pangan, untuk pertama kalinya. Dan diperkirakan tahun 2000an. Early warning system dibangun sesuai masa krisis pangan yang akan terjadi di tahun 2000an. Nah cuma pertempurannya nanti kan kekuatan antar negara dan korporat dan sebagainya. Korporat kan juga melihat, “Wah ini celah bagus sekali”. Nah ’70-’80 UNESCO itu kan rajin ngumpulin pengetahuan-pengetahuan lokal, termasuk soal pangan.

Nah kalau saya nggak salah, UNESCO sama FAO itu sudah punya statemen waktu itu, tahun ’70an akhir, pangan yang paling aman ke depan itu sagu. Justru sagu. Nah itu, dan Papua sudah disasar sebagai lumbung pangan di masa depan. Nah zaman itu peneliti sagu banyak sekali, tapi yang dari UNESCO, kerjanya hanya mendokumentasikan semua jenis sagu dan teknik-teknik di sekitar sagu. Di Maluku itu ada 49 jenis sagu, nah sekarang yang tersisa 4 kalau nggak salah. Cuma cara membaginya masing-masing, berdasarkan budidaya, varietas, ada yang dibagi berdasar fungsinya, atau juga tempat tumbuh. Nah itu total ada 49, semua ada di UNESCO sekarang sebenarnya pengetahuan ini.

Jadi mereka rutin setiap tahun sampai sekarang, mengumpulkan semua, termasuk musik, musik tradisional, pakaian tradisional, bahasa, dan soal pangan. Gerakan masyarakat adat juga di era yang sama, ’70an akhir. Yang asumsinya adalah nanti lahan kan habis, karena kekuatan ekspansif yang makin cepat. Nah jika lahan habis, tersisa hanya lahan-lahan di pedalaman, dan sudah diperkirakan sekian puluh tahun ke depan nanti kita akan berebut lahan pedalaman. Di pedalaman, semuanya resisten terhadap ekonomi uang, transaksi. Maka dibikin gerakan masyarakat adat sebagai jembatan, Pasca Perang Dunia, Perang Dingin, semua nongkrongnya memang di PBB. Nah gerakan masyarakat adat itu sekarang kan di bawah UNESCO, itu sama, dia mengumpulkan semua data teknologi di seluruh Asia-Afrika, yang sekarang ini nggak bisa kita akses. Semuanya nggak bisa, nggak tahu kapan bisa dibuka… Terus kalau ternyata ada bencana, cara penyelamatannya bagaimana, dan sebagainya.

Soal sagu tadi, awalnya kalau di Afrika bukan sagu, tapi ubi, umbi. Umbi di sana itu besar, dipotong gitu itu sekian lempengannya (sambil menunjukan dengan tangan). Jadi kalau ini dipotong… saya pikir tadinya apa, oh ubi, ketela. Hanya di sana lauk pauknya sudah meniru Eropa, ada macem-macem, ada ini-ini, tapi makan pokokonya ubi. Ubi di Afrika itu ya besar-besar. Tapi sekarang juga sudah beras sih. Ya masih ada ubi, tapi beras sudah mendominasi. Nah kita dulu tahun… jaman revolusi, kita masih perang itu, India kelaparan. Itu jaman perdana menteri Sjahrir, itu kita mbantu beras. Ada nyanyiannya, saya masih SD itu. “Beras untuk India” gitu lagunya itu, lupa saya.

E : Tapi tadi gerakan makan beras yang mendunia itu kan sebenarnya waktu Revolusi Hijau, nah itu Soeharto dibantu FAO dan Bank Dunia ya, pak? Yang memodal. Dana untuk percepatan, beli pupuk, alat-alat, teknologi. Mungkin itu juga terjadi di semua negara-negara berkembang? Jadi itu kepentingan FAO mungkin untuk membiasakan kita makan beras?

GW :Mungkin, tapi itu kan begini… tahun ’61 apa ya, kok lupa saya. Itu di Meksiko, sana kan makanan pokoknya jagung. Itu Amerika ya… Meksiko Amerika. Nah Rockefeller mendorong lembaga di Meksiko itu melakukan penelitian mengenai gandum. Maka muncul jenis gandum dan jagung yang baru, yang produksinya berlipat ganda. Nah jadi atas dasar itu, FAO punya ide… bukan FAO mungkin… tapi Rockefeller Foundation dan menggunakan nama FAO. “Kalau begitu, lembaga seperti itu bagus juga untuk beras, untuk Asia, karena Asia umumnya beras”. Maka Rockefeller Foundation datang di sini, bilang sama Bung Karno, kalau mau mendirikan International Rice Research Institute. Supaya didirikan di Indonesia, di Bogor. Mula-mula Bung Karno setuju, tapi kemudian syaratnya lembaganya ini mobilnya harus dari Ford, mesin ketiknya Ford, apa-apanya itu Ford, Ford, Ford. Lah Bung Karno didikte gitu nggak mau, trus nolak. Maka lalu pindah ke Filipina. Bung Karno kalau didikte nggak mau.

E : Jadi tadinya IRRI itu akan ada di sini ya? Kenapa Indonesia?

GW : Kenapa dipilih Indonesia? Karena sebelum itu, ilmuwan kita sendiri sudah melahirkan bibit unggul baru, karena itu disebut PON, Padi Oenggoel Nasional. Jenisnya adalah Bengawan, Sinta, Dara, Sigadis, Remaja. 5 jenis itu, ini padi unggul nasional. Yang menemukan ini kalau nggak salah Pak Siregar, karena itu dapet donor dari IPB dulu. Siregar siapa lupa, orang Indonesia.

Jadi Richard Frank, orang Amerika, istrinya Belanda, bikin penelitian di Pemalang untuk gelar doktor. Setelah lulus dia nulis Revolusi Hijau itu tidak lahir di Meksiko, tapi di Indonesia, sebenarnya. Karena waktu itu persepsi orang yang disebut Revolusi Hijau itu ditemukannya bibit unggul yang berlipat ganda, tapi kemudian ilmuwan-ilmuwan di dunia pada tahun ’87 di Canberra meninjau ulang tentang Revolusi Hijau. Akhirnya dirumuskan yang disebut Revolusi Hijau bukan sekedar ditemukannya bibit unggul, tapi diadopsinya inovasi itu dalam tempo yang singkat, meliputi luasan area yang luas. Sehingga Revolusi Hijau untuk padi itu dilakukan hanya kurang dari 2 tahun. Tahun ’66 ditemukan, dan pada tahun ’67-’68 sudah 24 juta hektar di Asia ditanami bibit unggul dari IRRI. Peristiwa itulah yang disebut revolusi. Karena kalau istilah revolusi dalam artian pertanian itu, dalam sejarah dunia baru 4x.

G : Empat kali itu apa saja pak?

GW : Neolithic revolution, yaitu tahap akhir dari jaman batu, mulainya orang hidup menetap walaupun masih pakai batu tapi sudah mulai menciptakan alat-alat, nyangkul ini dari batu, seterusnya. Yang kedua, Belgo-English Revolution itu ditemukannya rotasi tanaman di Belgia sama Inggris waktu itu. Terus yang ketiga, revolusi pemasaran hasil pertanian, di Amerika. Itu tahun berapa lupa… tapi sekitar 20-an, belum lama. Nah yang keempat, Green Revolution.

Kalau cuma ditemukannya bibit unggul, ternyata itu bukan revolusi. Buktinya apa? Tahun ’70an ditemukan bibit unggul udang, lalu orang asing yang menemukan mengklaim inilah Revolusi Bio, tapi nggak bergema kan? Karena tidak menyangkut luas dan tidak cepat. Jadi bukan soal penemuannya saja. Kalau secara ilmu-ilmu sosial, yang disebut revolusi dalam pertanian itu diadopsinya suatu inovasi secara cepat, relatif, dalam wilayah yang luas. Dan itu baru 4 macam itu.

Nah kalau revolusi pemasaran itu contohnya di Amerika dulu. Dulu sebelum tahun ’20, di Amerika itu isinya desa-desa, dan hanya di kota besar ada yang disebut supermarket. Pengertian supermarket tidak seperti yang sekarang ini, kaya supermarket mall-mall itu kan. Waktu itu supermarket itu pasar tempat semua hasil tanam didikumpulkan, bukan untuk dijual. Ini petani naik kereta api, ada yang naik gerobak, dari mana-mana. Ini petani dari sini, dari sini, dari sini. Kentang dari Malabar, sagu dari Halmahera. Nah di sini ada panitianya, tugasnya inspeksi, sidang. Yang paling bagus kualitasnya mana? Oh yang dari Malabar. Oh kalau gitu grade-nya berapa? Kalau begitu, ini harganya berapa? Nah keputusan ini dibawa petani tadi pulang, jadi harga di tempat asalnya mungkin beda dengan yang sudah ditentukan di sini. Nah yang dimaksud revolusi pemasaran terjadi itu dengan ditemukannya mesin mobil di Eropa, maka kereta api diganti dengan mobil. Nah akhirnya truk-truk di Amerika untuk menuju supermarket, dia bisa masuk desa kan, jadi orang desa nggak usah repot naik kereta api. Langsung aja, itu satu. Ditemukannya radio, itu belum lama kan? Jadi akhirnya diumumkan dari radio, “Harga kentang di Malabar sekian, harga di Cibinong sekian”, sudah seragam. Maka terjadilah peta pemasaran. Itu yang disebut Revolution of Agricultural Marketing, tahun 1920-an.

E : Itu, yang bertemu ditengah itu untuk membuat harga?

GW : Membentuk harga dan membuat grading. Price determination, grading first, sesuidah itu price determination. Waktu sudah ada radio, terus dia yang cek langsung ke kantor.

E : yang ada di Chicago itu bukan?

GW : Ini salah satunya di Chicago, Illinois. Ini disebut supermarket. Jadi ada rantai dari sini, sini kota kecil yang menampung dari petani dari gerobak tadi naik kereta api ke sana. Nah peta perjalanan ini berubah dengan adanya mesin mobil. Akhirnya si supermarket pun, tempat orang menjual ini itu… nah sekarang kan pengertiannya begitu toh. Kalau dulu nggak, di sini nggak ada orang jualan… 

E : Kayak pasar saham gitu kan ya Pak?

GW : Iya

E : Apa itu sama kaya itu pak, yang di Amerika itu kan ada Chicago Mercantile Exchange, yang untuk komoditas-komoditas pangan dan segala macam?

GW : Iya. Nah saya nggak tahu apa sekarang masih berfungsi seperti itu atau gimana, nggak tahu saya. Tapi ini pola… akhirnya terjadilah apa yang disebut dispersi pasar, jadi pasarnya menjadi di mana-mana

G : Kalau rotasi tanaman tadi bagaimana pak? Belgo-English Revolution? Revolusi agrikultur yang nomor 2, itu kan yang Belgo-English Revolution, itu apa?

GW : Itu rotasi, jadi dulu kan tanam gandum saja, nah ini terus mulai ada sistem rotasi. Habis gandum apa, oh musimnya begini yang lebih baik ini, tapi rinciannya saya lupa… anggur, dan sebagainya. Ada rotasinya. Nah, kok bagus ya gini, akhirnya menyebar. Tapi semula adalah dari Belgia dan Inggris. Letaknya mereka kan dekat, maka disebut Belgo-English Revolution.

G : Berarti itu pola konsumsinya berdasar musim, atau ada… cara konsumsi yang sesuai dengan yang ditanam?

GW : Bukan konsumsinya, pergiliran tanamannya itu yang berubah. Jadi yang tadinya monoton, monokultur, sekarang ada rotasi.

Revolusi Hijau di Indonesia juga sudah banyak mengubah irama hidup. Karena apa? Bibit IRRI, bibit IR-5, IR-8 apa itu umurnya kan hanya 105 hari. Nah karena 105 hari kan 3 bulan, 3 bulan panen, 2 minggu kemudian tanam lagi. Nah jadi irama hidup berubah, kalau mau musim begini enaknya gimana, wah ini nggak diisi. Sehingga di tempat-tempat yang subur, 2 tahun bisa 5x panen. Nah padahal kalau dulu kan di Jawa ini ada setahun hanya sekali panen, waktu musim kering nggak ditanami, lalu ada yang paling-paling itu 2x. Lah ini setiap 3 bulan, lalu ini merubah irama hidup orang. Kalau dulu 6 bulan kan yang musim rendengan itu, umur padi habis panen menunggu mau tanam untuk musim kemarau, pergi ke kota yang laki-laki, nggak ada kerjaan lagi. Nanti panen, sekolah di desa libur, anak-anak ikut panen. Sekarang dengan gini, berubah semua irama hidupnya. Banyak dampaknya itu. Belum lagi pakai sistem tebasan, beda dengan sistem rangkapan. Kalau tebasan sudah lama ada, tidak semua daerah punya adat seperti itu. Jadi kalau di Banyumas misalnya, yang pantai utara ada tebasan, pantai selatan nggak ada. Tabu katanya.

N : Kenapa tabu?

GW : Ya kepercayaan kan, Dewi Sri… padi itu harus dibawa ke rumah dulu, kalau belum sempat bawa ke rumah, tumpuk di sawah terus nanti di bawa ke rumah, baru boleh dijual. Kepercayaannya begitu, kalau nggak Dewi Sri marah. Tapi di pantai utara karena dekat pantai utara Pulau Jawa, kan pelabuhan, banyak bergaul dengan orang asing. Lain.

G : Kalau tentang sejarah bibit sayur yang sekarang kita konsumsi sehari-hari, itu kan pilihannya dibentuk pasar. Sawi yang ini, kangkung yang ini, bayam yang ini. Nah, kalau dulu bagaimana tentang sejarah bibit sayur? Kan tadi beras, kemudian bagaimana dengan yang sayur?

GW : Kalau harga ya ditentukan pasar bebas saja, nggak ditentukan seperti padi. Padi kan dianggap pokok, lah kalo sayur itu kan lauk namanya. Nggak ada lembaga yang menentukan, saya nggak tahu sekarang soal hortikultura itu kebijakannya seperti apa.

Karena ya… apalagi sekarang ini, sejak Orde Baru lahir sampai sekarang itu perubahan besar-besaran. Di Bogor sendiri ini berubah sama sekali. Kampung Rambutan memang dulu di situ daerah buah-buahan terutama rambutan, di Parung, durian, salak di Cisalak, itu daerah buah-buahan. Dulu tahun ’50an saya masuk jadi mahasiswa di sini itu kalau sore itu mendung, bukan mendung mega, bukan, tapi kelelawar dari Kebun Raya ini ke Jakarta. Cari buah. Nanti pagi-pagi, pagi jam 6 itu kembali, mendung lagi. Kita nembak ngawur aja pasti kena. Sekarang, seekor pun nggak ada. Rusak lingkungan itu. Habis Parung jadi kota, Depok jadi kota. Kelelawar 1-2 saja. Dulu itu Kebun Raya kalau siang ini kita bisa lihat, banyak itu, jutaan.

Dulu tahun-tahun ’50an memang pandangan masyarakat itu kan masih sisa-sisa feudal. Dan sisa-sisa pandangan dunia juga saya kira, dimana masih merendahkan wanita kan. Masih merendahkan pekerjaan pertanian, sehingga saya masuk sini, mahasiswa Fakultas Pertanian itu ceweknya cuma 4. Mulai banyak perempuan masuk itu setelah Bung Karno pidato di mana-mana, “Masuklah Fakultas Pertanian, kita negara agraris” baru tahun ’55 itu mulai banyak mahasiswa perempuan. Tadinya nggak ada. Saya datang ke sini, mahasiswa pertanian hanya 60, ceweknya 4. Itu yang angkatan saya, yang sebelumnya itu… 4 atau 5 yang sudah senior, salah satunya Bu Pujiwati. Dia banyak meneliti tentang perempuan di pertanian, dia lebih spesifik ke sana.

G : Pak, kalau cerita tentang konsumsi yang kita peroleh dari pekarangan, seperti tanaman-tanaman yang bisa kita makan di rumah, dari rumah, bapak punya pengalaman atau cerita?

GW : Nah ini juga, perubahan. Saya nggak tahu, banyak jenis-jenis tanaman yang hilang. Saya dulu waktu kecil di paman saya itu di Solo, itu ada pohon yang bahasa Jawa namanya Bekul, sekarang nggak ada, nggak ada orang punya tanaman Bekul. Tanaman buah. Sawo juga, jenis sawo kan macam-macam, ada sawo manila, ada sawo ini, sawo ini, sawo lanang, sawo ini, sudah hilang. Jadi nggak tahu bagian hortikultura di IPB seperti apa saya nggak tahu, tanaman-tanaman buah-buahan yang ada. Mangga kan juga macam-macam.

G : Tapi kalau tentang bunga atau gulma, atau semak-semak rumput yang bisa dimakan, itu bapak pernah meneliti itu?

GW : Oh, nggak pernah. Dari kebetulan aja, dari pengalaman. Nah kalau Irian, walaupun saya baru sekali ke sana itu, saya masih mahasiswa tingkat akhir, oleh pemerintah diminta nulis untuk jadikan buku. Nggak tahu di sini kopinya ada apa nggak, tapi di toko buku sudah nggak ada, tahun ’62. Di belakangnya ada tanaman macam-macam di Irian itu, mana yang boleh dimakan mana yang tidak, mana yang beracun dan sebagainya, nama lokalnya ini nama latinnya, ada. Saya dari literatur aja dulu nulisnya, sekarang sudah lupa.

G : Bapak gambar tanamannya?

GW : Ada. Ada gambar tanamannya. Judulnya “Irian Barat Sebagian Tanah Air Kita” yang mengeluarkan Komando Operasi Tertinggi Militer. Nah buku itu waktu pembebasan Irian dimasukkan kantongnya tentara itu, didrop kan, jadi kalau dia tersesat di hutan, bisa bertahan makan tumbuhan yang ditemui. Waktu itu tidak hanya saya, saya satu tim pertanian, peternakan, dan kehutanan. Lalu ada tim ITB tentang geologi, tentang iklim, tentang ini itu. Ada tim lain. Pokoknya… jadi tentara yang didrop itu bawa buku ini.

G : seperti buku saku atau kamus gitu ya pak?

GW : Iya, ceritanya memang… ada teman yang 3 tahun di bawah saya tapi dia tentara, jadi ketemu dia waktu sudah pulang dari Irian. Waktu didrop itu seminggu nggak ketemu orang kan, untung nggak ketemu binatang buas. Jadi makannya apa? Ada tikus ya kita bunuh, makan tikus. Ada ular ya kita bunuh ular. Di hutan kan, tentara harus berani begitu kan. Dan tahun itu kan belum ada handphone, paling alat… walkie talkie namanya tentara, ada tapi tidak secanggih ini (menunjuk handphone)

G : Llumayan tebal pak ya bukunya?

GW : Tebal. Karena ini pertanian, tanah kan bagian saya. Lalu ada teman buat yang mengenai peternakan tapi orangnya sudah meninggal juga. Yang nulis ini berdua juga yang satu dah meninggal, ini yang nulis kehutanan juga sudah meninggal. Tim dari Jakarta, Bandung, Bogor ini ketuanya orang dari Bandung, Ir. Subagyo. Nah gara-gara nulis itu, saya dapat bintang Satya Lencana, tapi karena ada peristiwa ’65 jadi tertahan. “Beresin dulu kamu, nanti ini saya bawa”, tapi belum sampai sebulan, karena beliau insinyur ITB, latihan penelitian bikin hujan naik pesawat, kecelakaan dan meninggal. Ya Satya Lencana saya ikut meninggal. Kalau piagamnya ada, piagam terus waktu itu dapat hadiah transistor, macam-macam dulu. Tapi Satya Lencananya yang bintangnya itu dibawa dia, Ir. Subagyo itu.

E : Balik lagi ke soal pangan, pak. Tahun segitu itu situasinya kaya apa to pak, kalau ngomongin soal pangan, gitu. Tahun sekitar ’60 ke ’65 itu situasinya kaya apa, karena waktu itu termasuk ada katanya Bung Karno itu bikin mau anti impor, terus apa-apa produksi dalam negeri ?

GW : Iya memang, karena itu tadi kan tadi saya bilang, Bung Karno pernah nyanyi itu tadi, itu karena sebetulnya kelaparan dalam arti seperti tahun ’77 itu nggak ada, yang katanya antri beras itu dibikin. Huru-hara mau nggulingkan Bung Karno itu justru dibikin. Saya nggak mengalami antri beras apa itu, yang cerita mengenai antri beras juga sebelumnya nggak pernah ada. Adanya ya hari-hari itu.

N : Kalau cerita soal kekurangan pangan dalam kamp seperti di pulau Buru atau di Palntungan, gimana Pak?

GW : Kalau kondisi pangan waktu ditahan, ya itu saya kira gejala umum, di mana-mana di dunia ini kalau namanya ditahan itu makanannya nggak beres. Bukan saja memang sengaja gitu, tapi juga ada korupsi penyuplai, pengelolanya itu. Kan kalau menurut aturan seperti di Pulau Buru misalnya, sehari dapat ini-ini, dalam prakteknya nggak. Karena itu ada yang menulis, saya lupa itu, perlakuan Orde Baru terhadap tahanan politik itu melebihi kejamnya daripada pemerintah kolonial. Kan dilarang apa-apa lah, tahanan-tahanan tapol jaman Orde Baru itu. Kalau jaman politik kolonial kan, Sjahrir ditahan misalnya, boleh baca surat kabar, boleh ini, boleh itu. Ini nggak.

N : Kalau soal kehidupan di luar penjara pak?

Memang ini banyak kaitannya ya. Irama hidup, di desa dulu jaman sebelum Revolusi Hijau itu umumnya orang desa, petani, sehari itu makan hanya 2x, pagi itu nggak pernah ada sarapan, pagi itu minum kopi, kue, langsung ke sawah, nyangkul. Pulang jam 11, antara 11-12 pulang, mandi, makan. Ini bukan makan siang atau makan pagi, pokoknya pulang dari sawah, makan. Nanti jam 1 kembali ke sawah, sore jam 4-5 pulang, mandi, makan, malam tidur atau kawin, kan gitu. Jadi cuma 2x, sehingga dulu pertama kali jaman saya tahun ’57-’56, saya dulu kaget dilatih untuk meneliti di desa itu, saya dengan teman orang Batak itu, “Kok nggak sarapan-sarapan, waduh gimana ini” mau cari warung jauh di desa pelosok. Tahu-tahu jam 11 lurahnya datang sudah bawa, oh baru makan pagi. Dikiranya makan pagi, kita wawancara sini-sini. Jam 2 pulang, kirain makan siang kan? Lah kok nggak, nunggu sampai jam 5 sore baru makan, malamnya nggak ada. Baru tahu, oh di desa itu gitu.

Nah kalau sekarang mungkin di seluruh desa sudah 3x, barangkali ya, nggak tahu saya. Mungkin perlu dicek juga.

G : Mungkin iya, setelah Revolusi Hijau yang tadi, kerja lebih giat, makan juga jadi lebih banyak.

GW : Jadi pola konsumsinya, pola makannya, maksud saya. Walaupun berkaitan, tapi menurut saya jangan sampai terjerumus kita hanya fokus pada teknik-teknik kuliner, itu akhirnya kan ke sana larinya.

G : Teknik-teknik kuliner itu gimana pak, maksudnya?

GW : Lha supaya terjual kan, bukan begitu. Harusnya yang penting memang gizinya. Kuliner. Kalau ‘kulina’ itu artinya ‘petani’, kalau ‘kuli’ artinya ‘buruh’. Beda-beda jangan sampai terkecoh. Sehingga di desa terutama Jawa Tengah bagian tengah, selatan, itu ada istilah ‘kuli’ itu ‘elit’, itu dari bahasa Sansekerta ‘kulina’, ‘pemilik tanah’. Nah, kalau ‘quli’ pakai q bahasa Hindi, itu artinya ‘buruh’, orang rendah orang kasar, kuli.

E : Pak, kalau misalnya dengan situasi yang sekarang ini, ini masih layak disebut negara agraris bukan sih, pak?

GW : Kalau menurut saya masih.

E : Karena apa, pak? Padahal petani sudah banyak yang digusur dan banyak kebijakan tidak pro petani.

GW : Karena bagaimanapun juga sebagai keseluruhan kan negaranya duitnya dari pertanian. Walaupun itu modal asing, pajaknya itu. Sawit dan sebagainya. Tahun ’50an itu kita masih eksportir besar karet, waktu itu ada Perang Korea. Makmur kita, ekspor karet.

Kalau jaman Orde Baru, boomnya minyak. Nah sekarang minyaknya sudah dikuras oleh investor asing, gimana? Habis sumber minyak kita. Sedangkan kalau dulu, investor asing hanya boleh offshore, bukan minyak sumur utama, tapi sumur yang pinggiran, yang boleh. Dan itupun joint venture, itu maksimum modal asing hanya boleh menarik 49%, 51% kita. Itu offshore, apalagi yang main sumurnya. Lha kok sekarang… nggak akan terjadi seperti Lapindo apa itu, kalau jaman dulu nggak seperti itu, rusak.

G : Kalau soal sawit sendiri gimana, pak?

GW : Sawit itu kan produknya kan sangat vital untuk berbagai kebutuhan, terutama minyaknya, sehingga di mana-mana sawit. Apalagi sekarang ini malah Malaysia giat menanam sawit. Asal-usulnya ya itu, pokoknya entah tadinya mungkin tidak bermaksud begitu jauh, maksudnya kompromi, jaman Pak Harto “Ini kita butuh duit yang paling mudah dijual apa?” Sidang, kesimpulannya, yang paling mudah dijual, hutan. Akhirnya hutan rebutan, modal asing, Kalimantan itu jadi bancakan bukan main.

Mungkin kalau mau konsentrasinya pangan tapi nampaknya mau dihubungkan dengan kondisi-kondisi jaman politik, kira-kira gitu ya? Kalau gitu saran saya mungkin merekrut di mana juga, di Jogja kah, di Jakarta, melakukan penelitian, dan penelitian itu harus terfokus. Jangan terlalu ini. Tahun ini topik ini, tahun ini topik ini, gitu, sehingga nanti keluar publikasi itu bermakna.

E : Wah, terima kasih sekali atas masukan saran dan ilmunya pak. Berhubung sudah 3 jam kami sudahi dulu ngobrolnya.

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Image karya dari Vicente Alvarez Dizon (seniman Filipina) berjudul : "After the Day's Toil"
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 1

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Resep Biskuit Bulgur Jengger Ayam
  • Proyek

Resep Biskuit Bulgur Jengger Ayam

  • Edible Weed
  • /Resep
10 Juli 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.