Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Seri Foto Mendira

Catatan / Edible Weed / Residensi
  • 20 Januari 2017
  • Gatari Surya Kusuma

Mendira adalah salah satu desa di ujung Kota Jombang. Untuk mencapai Mendira diperlukan waktu kurang lebih 1 jam menggunakan motor dari akses umum Jalan Raya Magetan-Jombang. Tidak ada angkutan umum yang mampu mengakses desa tersebut, bukan hanya jauh, melainkan mereka tidak memiliki akses jalan yang baik. Hanya beberapa ojek motor saja yang “berani” untuk mengantar penumpang kesana.

Perjalanan ke Mendira ini dilakukan oleh Gloria dan Gatari. Kami merencanakan perjalanan menginap 3 hari 2 malam untuk menghadiri sebuah acara ‘Disko Tanah’. Pertama kali kami sampai, kami disambut oleh rencana kunjungan ke air terjun di dalam hutan. Sembari melakukan perjalanan, kami dipandu oleh Mbak Hayu mengenal beberapa tanaman liar di dalam hutan.

Perjalanan 3 hari 2 malam di Mendira saat itu adalah awal mula Bakudapan mengenal tanaman-tanaman liar. Pengenalan tanaman liar melalui kegiatan masuk ke hutan atau sekedar menemuinya di halaman-halaman rumah warga. Pengalaman langsung melihat dan membuktikan olahan tanaman adalah salah satu metode kami untuk bisa mengenal dengan baik beberapa tanaman sebagai modal awal pengetahuan terhadap tanaman liar.

Perjalanan menuju air terjun si Golo-Golo. Sebenarnya, air terjun ini sudah masuk dalam daftar pariwisata kabupaten Jombang. Akses yang tidak mudah, membuat para wisatawan perlu berifkir 2x untuk bisa mengakses air terjun ini.
Buah sawo kecik. Buah ini tidak cukup familiar di daerah perkotaan. Penampakan dari luar tampak seperti buah sawo pada umumnya, melainkan ketika dibuka daging buahnya tak selembut sawo pada umumnya.
Air terjun si Golo-Golo. Masyarakat Mendira sering mengakses air terjun ini sekedar mencari pemandangan berbeda. Beberapa ibu-ibu sering mengadakan acara piknik dan masak bersama di area air terjun ini. Teknik memasak yang mereka lakukan adalah menggunakan bong/bambu lalu dibakar.
Mbak Hayu sebagai guide kami dalam perjalanan masuk ke hutan menuju air terjun menunjukkan beberapa tanaman liar yang bisa dimakan. Salah satunya adalah tanaman liar ini yang memiliki buah sangat kecil dan rasanya masam seperti belimbing wuluh. Masyarakat Mendira menggunakan buah ini untuk penambah energi ketika mereka naik turun bukti mencari sumber pangan dan pakan ternak.
Selain memiliki tanaman sayur dan buah. Hutan di area air terjun si Golo-Golo memiliki areal perkebunan kopi. Tanaman-tanaman kopi ini tumbuh liar dengan sendirinya. Tampak di foto, tanaman kopi tumbuh berdampingan dengan tanaman lain bahkan rumput. Jenis kopi dari tanaman ini adalah eselsa, buka arabica dan juga bukan robusta. Rasanya cenderung pahit, sehingga beberapa warga mengolahnya dengan jagung dan gula yang cukup banyak untuk meredam rasa pahit tersebut.
Tanaman kopi di areal hutan air terjun si Golo-Golo selain tumbuh liar, tanaman tersebut juga tidak dipelihara secara khusus seperti pemberian pupuk atau pengusir hama. Mereka memercayai bahwa tanaman kopi ini akan terus ada walaupun orang terus memanennya.
Tanaman ini disebut sintrong. Saya menemuinya pertama kali di Mendira. Beberapa orang yang tidak memahami jenis tanaman ini akan menganggap bahwa tanaman ini adalah rumpun rumput liar. Untuk mengolahnya beberapa orang menjadikannya urap-urap dengan bumbu kelapa atau mencampurnya menjadi snack gorengan.
Cabai. Saya tidak mengingatnya dengan jelas untuk jenis cabai ini. Cabai ini tumbuh liar di area hutan. Namun, sebagian orang tidak mengonsumsinya dikarenakan rasa pedasnya yang cukup ekstrem dibanding cabai lainnya.
Dapur komunitas. Tujuan utama Bakudapan datang ke Mendira selain melakukan program residensi adalah untuk membangun dapur komunitas ini. Dapur ini diinisiasi oleh Holopis dan diperuntukkan untuk ibu-ibu di Mendira. Dapur ini memiliki program masak bersama dari hasil hutan dimana hasil masakannya dapat dijual ke kota dan menjadi pemasukan bagi mereka.
Untuk mendukung dapur komunitas, ibu-ibu Mendira dengan holopis juga membangun kebun yang mereka rancang untuk menanam tanaman-tanaman pokok sehari-hari. Salah satu contohnya adalah sorgum. Kebun ini juga menjadi tambahan referensi akan bahan pangan bagi ibu-ibu Mendira.
Umbi ini disebut ganyong. Ganyong memiliki nama lain yaitu Garut. Umbi ini memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga bisa menjadi makanan pengganti selain beras dan banyak ditemui di sekitar Mendira.
Di malam pertama kedatangan kami, diadakan acara penyambutan oleh ketua RT dan beberap warga. Ibu-ibu memasak dari bahan-bahan yang mudah ditemui di sekitar. Termasuk ayam kampung yang mereka sengaja sembelih untuk hidangan malam itu. Rasanya sangat enak, mengingat 70% bahan pangannya ditemukan secara liar di hutan atau halaman rumah.
Teh basil. Rasanya cukup asing di lidah saya yang terbiasa dengan teh-teh kemasan dijual di pasaran. Teh ini diracik khusus dari beberapa tanaman dan menjadi minuman khas yang sering disajikan jika berkunjung ke Mendira. Minuman ini juga dipercaya mampu menurunkan gula darah dan kolesterol.
Rebung asap, bandeng goreng dan tahu tempe goreng. Makanan ini selama tiga hati kami temui di rumah yang menjadi rumah singgah kami. Rebung asap menjadi makanan andalan karena selain rebung mudah dijumpai, rebung asap juga mampu bertahan dalam jangka waktu lama. Proses pemasakan rebung asap ini cukup lama memakan waktu kurang lebih 4 jam.
Acara makan-makan selepas gotong royong membangun dapur komunitas.
Adalah bentuk penampakan rumah di Mendira. Beberapa rumah masih memertahankan lantai tanahnya dan memiliki halaman yang luas. Namun ada beberapa rumah yang sudah menggunakan lantai keramik. Lantai keramik menjadi salah satu indikator kelas menengah di wilayah Mendira.
Sebagian besar halaman rumah di Mendira ditumbuhi bunga-bunga ini. Bunga-bunga ini berfungsi sebagai pemanggil lebah yang mana bisa membantu penyerbukan tanaman lain.
Ibu-ibu anggota KPSKA (Komunitas Perempuan Sumber Karunia Alam). Komunitas ini adalah sekelompok ibu-ibu yang aktif berkegiatan memasak bersama atau memikirkan bagaimana membudidaya tanaman-tanaman.

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.