Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Ekspektasi yang Menguras Kantong

Kunjungan / Tasting Others
  • 31 Januari 2017
  • Ayash Laras

Minggu ini kami sempat melakukan pemetaan ulang di area Prawirotaman I. Pemetaan pertama telah dilakukan sejak beberapa bulan lalu dengan berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan Prawirotaman I dan mencatat semua kegiatan ekonomi disana, mulai dari industri makanan, penginapan, toko antik, hingga laundry. Kami lalu memutuskan untuk melakukan pemetaan ulang yang lebih berfokus pada menu dan jenis makanan di tiap restorannya. Kebetulan sebagian besar restoran disana memasang daftar menunya di halaman depan restoran, karena cukup banyak turis yang berjalan kaki untuk sekedar mencari agen perjalanan ataupun variasi santapan diluar menu yang disediakan oleh hotel mereka yang tidak jauh dari situ. Dengan begitu kami pun dapat lebih mudah mencari tahu dan mendokumentasikan menu-menu yang mereka punya, tanpa harus masuk dan memesan. Sampailah kami pada penghujung jalan Prawirotaman I, bertepatan dengan mulai turunnya rintik-rintik air hujan, membuat kami semakin bergegas mendokumentasikan menu di restoran terakhir yang kami temui.

Dari pemetaan ulang tersebut kami menemukan satu restoran baru yang cukup mencolok dari segi eksterior jika dilihat dari luar, yaitu dominasi cat warna merah terang, atap yang terbuat dari nipah serta lampu yang cukup temaram. Karena hanya sekilas melihat dari luar, asumsi saya secara visual terhadap asosiasi “warna merah” dengan “lampu temaram” pada suatu restoran adalah bisa jadi itu restoran yang menyajikan masakan Arab, India, atau bahkan Oriental? Namun ketika kami mengecek daftar menu yang mereka sajikan, membuat kami terkecoh. Ternyata menu utama mereka adalah masakan Spanyol, bahkan sebagai pelengkap mereka juga menyediakan menu makanan ekstrim berupa ular Kobra dan Piton. Hmm… hal ini menggugah niat kami untuk kembali ke restoran ini dan mencicipi menunya.

Beberapa hari kemudian tibalah rencana kami untuk mengunjungi restoran tersebut. Dalam melakukan proyek ini, kami memang berniat untuk sekaligus melakukan “tur makan” di restoran-restoran sekitar Prawirotaman I secara periodik nantinya. Prioritas kami pada waktu itu sebenarnya adalah mengunjungi warung makan Tante Lies yang sedari kemarin selalu tutup, dan ternyata kali ini warung makan itu juga masih belum buka. Langsung saja kami berputar haluan menuju restoran baru tersebut yang bernama “Mi Casa Es Tu Casa” sebagai tujuan pertama.

Kami memarkirkan kendaraan tepat didepan pagar rendah berkayu, salah satu bagian dari eksterior restoran itu. Bangunannya cukup menjorok ke depan jalan dan tanpa halaman, sehingga kami merasa kendaraan yang kami parkir akan berpotensi mengganggu akses jalan jika tidak diparkir dengan benar. Beberapa langkah setelah memasuki restoran tersebut terlihat beberapa karyawannya berdiri dari kursi kasir menyapa kami dengan semangat, karena pada saat itu hanya kami pula satu-satunya pengunjung yang datang. Salah satu dari mereka mempersilahkan duduk, dan kami memilih meja di pojok, dekat dengan pagar kayu yang menghadap ke jalan. Setelah kami duduk, kami sempat berpikir agak lama untuk memutuskan menu apa yang akan kami pesan. Sebenarnya menu daging ular cukup terdengar unik untuk dicoba, namun sayangnya tidak ada salah satupun dari kami yang berani dan tertantang untuk memesannya. Awalnya kami tergoda akan beberapa varian Paella, nasi rempah yang biasanya dihidangkan menggunakan periuk dan lauk berupa seafood. Karena nama hidangannya berbahasa Spanyol pula maka kami sempat memastikan gambaran makanannya melalui Google, dan memang benar visualnya cukup menarik karena porsinya yang besar bahkan seafood yang melimpah. Tetapi karena pertimbangan harga yang sangat mahal dan keraguan kami akan kesegaran makanan laut yang mereka hidangkan, akhirnya kami memilih Mushroom Risotto dan Tortilla de Patatas (Potato Omelette), sebagai perwakilan untuk mencicipi masakan Spanyol yang telah mereka nobatkan sebagai menu spesialis restoran mereka.

Sembari menunggu pesanan datang, kami mengamati interior restoran dan kembali terkecoh. Dari yang kami pikir restoran Arab, India, Oriental, tapi ternyata restoran Spanyol, dan sekarang pemilihan interiornya juga diluar dugaan kami. Dominasi warna merah tadi dikombinasi dengan atap anyaman bambu, lampion, taplak meja bermotif batik, dan mural bergambar kupu-kupu. Bahkan terdapat gitar besar serta pajangan mirip taksidermi kadal yang menggantung di samping meja kami. Beberapa saat kemudian, pelayan datang mengantarkan makanan dan memecah gumam kecil kami.

Kesan pertama setelah makanan datang di meja kami, lagi-lagi mengecoh ekspektasi kami. Tortilla de Patatas hadir dalam bentuk telur dadar berbentuk lingkaran dan berisi kentang. Sedangkan untuk Risotto masih tidak jauh dari bayangan kami, yaitu berupa nasi kaldu yang creamy. Lalu kami membolak-balik makanan dengan garpu untuk mencari dimana letak Tortilla nya seperti yang tertulis pada daftar menu. Pada akhirnya, kegelisahan kami berujung pada mengkonfirmasi keaslian menunya melalui pencarian di internet. Kemudian kami cukup terkejut lagi dengan penjelasan Wikipedia mengenai Tortilla de Patatas ala Spanyol. Kata “Tortilla” sendiri pada awalnya berarti “kue” atau “tar kecil”, dan tidak terkait akan Tortilla gandum ala Meksiko yang berbentuk seperti roti tipis, namun memang benar berupa Omelette berisi kentang (patatas). Tapi tetap saja, kami menyayangkan uang yang kami keluarkan karena harganya tidak sesuai dengan kualitas makanan yang kami dapatkan. Kami berekspektasi untuk mendapatkan rasa baru yang berbeda, tapi pada kenyataannya kami masih mendapatkan rasa yang cukup familiar, bahkan kami merasa tahu bahwa biaya masak yang mereka keluarkan tidak terlalu banyak jika dilihat dari bahan-bahan yang digunakan. Baik dari segi rasa maupun tampilan makanannya, sejauh ini terlalu apa adanya dan terlihat hanya seperti atraksi kuliner yang cukup dicoba sekali. Selain dari harganya yang terbilang cukup mahal untuk sepotong telur dadar yang dicampur dengan kentang, rasanya pun tidak istimewa sehingga meskipun tidak sesuai ekspektasi kami akan tampilan visual, tetapi secara rasa bisa kami anggap enak atau istimewa. Ternyata tidak, omelet ini jauh dari istimewa.

Dari sini kami kemudian menyadari bahwa ternyata tidak semua yang kita tahu tentang suatu makanan dan asalnya itu selalu benar meskipun sudah familiar disekitar kita, misalnya salah paham antara Tortilla dan Omelette tadi. Terkadang popularitas suatu materi budaya menjadikan kita menutup mata terhadap hal-hal yang sifatnya lebih mendasar, menjadikan kita urung untuk mempelajari lebih dalam karena merasa semua sudah dipaparkan oleh berbagai media, padahal sebagian besar hanyalah bersifat permukaan. Terutama yang berkaitan untuk tujuan menciptakan tren yang ujung-ujungnya jualan.

Berbicara tentang permukaan, atau bisa juga disebut sebagai hybrid, saya juga merasakannya lewat suasana yang mereka (para pemilik atau pengelola restoran) tawarkan, lewat interior, dekorasi, maupun pilihan playlist musik mereka. Meskipun obyek-obyek suatu budaya dapat direproduksi dan berkembang secara global, tetapi cara penyajiannya terkadang masih sangat spesifik terhadap budayanya masing-masing. Contohnya, ketika kita makan di suatu restoran Italia di Indonesia, bukan tidak mungkin jika mereka malah memilih musik ber-genre Pop Melayu sebagai pengiring makan, bukannya musik bergaya Neapolitan misalnya, tergantung selera karyawan atau pemiliknya. Bahkan kami masih melihat adanya upaya-upaya untuk memasukkan identitas kelokalan dari masing-masing restoran, entah cocok ataupun tidak, seperti memilih taplak meja bermotif batik, atap yang terbuat dari nipah, pagar bambu, dan masih banyak lagi. Hal ini juga menandakan bahwa produk yang kita konsumsi bisa saja bercita rasa global namun pengalamannya tetaplah lokal, tergantung di mana ia disajikan.

Artikel Terkait

Related Articles

Image : karya Diego Rivera berjudul "The Exploiters" diambil dari internet.
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 2

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Image karya dari Vicente Alvarez Dizon (seniman Filipina) berjudul : "After the Day's Toil"
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 1

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Catatan Atas Kegiatan Observasi Pangan Liar di Lahan Terlantar
  • Proyek

Catatan Atas Kegiatan Observasi Pangan Liar di Lahan Terlantar

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Kunjungan
22 Mei 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.