Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Diskusi Donat Paling Sehat

Diskusi / Fast & Foodrious
  • 30 Agustus 2015
  • Gloria Mario

Mengetahui Lebih Dalam Donat Mana yang Layak, yang Sehat dan Higienis

Tulisan ini merupakan laporan hasil diskusi yang kami BAKUDAPAN lakukan sebagai sebuah kelompok studi makanan buat dengan tema besar Fast Food. Diskusi bersama yang mengundang mahasiswa lulusan ilmu gizi dari salah satu universitas di Yogyakarta yang bernama Adin ini diadakan sebagai bentuk rangkaian dari pameran yang kami lakukan di Cemeti Art House. Bermula dari penemuan berbagai informasi di media sosial seperti blog dan berita-berita online mengenai isu kesehatan donat merek terkenal dari Amerika dan Indonesia, membuat kami penasaran untuk melakukan pengamatan sendiri. Di beberapa situs blog yang menulis tentang percobaan pengamatan donat merek Amerika yakni Dunkin Donuts dan merek Indonesia yaitu J.Co, mereka menemukan bahwa donat yang mereka simpan selama 3 bulan dalam suhu ruang tidak rusak sama sekali, bahkan tidak berjamur atau diserang semut. Tulisan tersebut menggerakkan kami untuk melakukan hal yang sama, namun bedanya kami menyimpan donat dengan empat merek berbeda. Dimulai dari Dunkin Donut sebagai merek Amerika, J.Co merek Indonesia dengan sistem frainchise, Kuki Donut yang adalah donat local dengan bentuk bakery, serta yang terakhir adalah donat kentang yang kami beli di gerobak pinggir jalan. Selama 20 hari pengamatan, kami mencatat beberapa hal yang terjadi pada empat donat tersebut, yang mana hasilnya pun cukup mencengangkan kami sebagai pengamat maupun pengunjung pameran dan peserta diskusi.

Seminggu kami melakukan pameran dengan display empat donat yang ditutup plastik transparan melibatkan respon pengunjung. Kami mengajak mereka memberikan stiker pada donat mana yang menurut mereka akan membusuk lebih cepat. Jika dilihat dari jumlah stiker selama satu minggu, donat kentang gerobak mendapat stiker lebih banyak, disusul dengan donat lokal Kuki Donut, lalu untuk J.co dan Dunkin Donuts jumlah stiker seimbang. Dua puluh hari berlalu, kami menemukan beberapa peristiwa yang cukup mencengangkan kami. Sejak hari pertama di display, kami dan pengunjung pameran dapat melihat dengan jelas begitu banyak semut-semut yang berkumpul disekitar donat dan mencoba menembus celah-celah antara tutup donat dan alasnya. Pencatatan pertama kami hari itu fokus pada aktivitas semut di sekitar donat, dan dari catatan tersebut kami menemukan bahwa untuk ketiga donat yakni Dunkin Donut, J.Co dan Kuki Donat lah yang mendapat perhatian lebih dari semut-semut. Sementara berbeda dengan donat kentang, tidak ada catatan mengenai aktivitas semut disekitar donat. Beberapa hal juga terjadi setelah pengamatan kami dalam seminggu pertama kira-kira di hari ke 5 dan 6 ada dua merek donat yang menunjukkan pertumbuhan jamur di permukaan donat yani dari merek Dunkin Donut dan J.Co. Pembuktian kami mengenai isi blog yang kami temukan mengarah ke prasangka negatif terhadap merek Amerika kemudian berubah seiring berganti hari kami melakukan pencatatan terhadap perubahan donat-donat yang kami display.

Sesuai dengan pengamatan kami hingga hari ke-duapuluh, kami baru menemukan beberapa jamur yang terlihat di sekitar permukaan donat kentang. Sementara pada donat-donat lain sudah terlihat dengan jelas seluruh permukaan terselubung rambut-rambut jamur. Berdasarkan fakta yang kami temukan, kami kemudian mengundang salah seorang teman kami lulusan D3 Ilmu Gizi dari salah satu akademi kesehatan di Yogyakarta, yang bernama Adin. Kami mengundangnya untuk berdiskusi membedah mana donat yang sebenarnya layak untuk dikonsumsi jika dilihat dari pengamatan yang dilakukan di ruang pameran selama kurang lebih 20 hari. Sekitar 15 orang berkumpul di Cemeti Art House pada Rabu 24 Juni 2015 pukul 16.00, untuk mendiskusikan bersama hasil dari pengamatan yang telah dilakukan terhadap empat donat yang sering kami konsumsi. Dalam diskusi yang berlangsung selama kurang lebih satu setengah ja tersebut kami mencatat beberapa point penting dari narasumber kami, Adin. Sebelumnya kita perlu melihat lagi satu persatu dari donat yang dipamerkan.

Donat pertama yakni yang berasal dari merek franchise Amerika, Dunkin Donat. Dalam proses pembuatannya, donat ini tentu menggunakan berbagai mesin canggih yang dirancang untuk mempersingkat proses pembuatan, dan juga untuk kepentingan mengurangi biaya produksi yang dikeluarkan untuk membayar tenaga manusia. Dari informasi tersebut kita paham bahwa semakin adonan donat jauh dari kontak langsung dengan tangan manusia, dan menggunakan mesin-mesin yang diatur dalam kondisi steril sangan memungkinkan donat untuk menghasilkan donat yang menjadi lebih awet, yang mampu bertahan jika disimpan di suuhu ruang hingga 5-6 hari. Jika donat yang umum diproduksi dalam rumah tangga, mungkin hanya bisa bertahan selama dua hari di suhu ruang, donat dari Dunkin Donut sangat mungkin bertahan hingga 5 hari. Hal ini terbukti ketika kami menyimpannya di ruang pameran, Donat dari merek terkenal franchise Amerika ini berjamur di hari ke-enam.

Pada donat merek J.Co kami juga punya asumsi yang sama mengenai mengapa donat J.Co berjamur sekitar hari ke-enam bersamaan dengan Dunkin Donut. Menurut kami, proses pembuatan donat Dunkin dan J.Co yang relatif sama karena menggunakan teknologi tinggi maka hal ini jugapersajian ada yang berbeda. Ukuran donat Dunkin jauh lebih besar dan tebal ketimbang ukuran donat J.Co. Perbedaan juga terdapat dari segi harga persatuan, yakni Dunkin ada pada harga 9000 sementara J.co ada di harga 7.500 untuk satu donat gula tanpa topping. Dari segi gizi, kalori lebih besar terdapat pada donat Dunkin dari segi ukuran persajian, ketimbang ketiga donat merek lainnya. Adin juga memberikan informasi mengenai pilihan donat yang diberi gula atau dilapisi cairan gula (glaze) adalah salah satu teknik pengawetan yang digunakan produsen agar donat tetap kering sehingga memperlambat pertumbuhan jamur.

Donat-donat merek lokal juga kini marak berkembang di kota-kota besar. Meskipun kami tidak bisa melacak dengan pasti teknologi seperti apakah yang digunakan dalam proses produksinya, namun pada donat merek ketiga juga menimbulkan tanda tanya baru bagi kami, kaena donat tersebut baru berjamur setelah dua minggu. Tentu saja para konsumen donat yang anti mengkonsumsi makanan dengan merek dari Amerika, kehadiran gerai-gerai donat lokal menjadi pilihan mereka untuk tetap menikmati donat dengan harga yang murah, tanpa harus menjadi bagian dari Amerika. Antara donat merek franchise Amerika dan donat lokal memang saling menunjukkan berbagai sisi perbedaan baik dari segi rasa, harga, juga fasilitas yang ditawarkan kepada konsumen. Ketiga merek donat tersebut memang bisa dibandingkan satu dan yang lain, sementara berbeda dengan donat kentang yang akan dibahas selanjutnya.

Donat kentang tentu sangat berbeda dibandingkan dengan donat yang lain. Mulai dari rasa, yang “katanya” menggunakan kentang dan campuran terigu, harga, serta tempat penjualan yang berbeda tentu saja. Logika pertama kali dan tentu saja bagi para pengunjung yang menempelkan stiker tentu saja donat yang diolah dengan menggunakan tenaga manusia, bahan material donat yang kontak langsung dengan tangan manusia semestinya membuat donat lebih cepat basi, berjamur, dan tidak bisa dikonsumsi lagi setelah hari ketiga. Pada kenyataannya, setelah lebih dari 10 hari donat kentang yang kami pajang dengan asumsi akan basi lebih cepat malah membutuhkan waktu yang lebih panjang ketimbang donat merek lain. Menurut Adin, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan donat kentang gerobak menjadi lebih lama awet. Dimulai dari bahan pengawet kimia dengan takaran yang “asal”, dan juga pemanis buatan seperti sakarin dan siklamat yang sama sekali tidak mengandung nilai gizi, serta juga penggunaan minyak goreng dengan kualitas rendah dan pemakaian berulang juga menjadi point negatif dari donat tradisional.

Diskusi yang terjadi pada sore mengupas soal bagaimana perspektif kita terhadap donat-donat andalan kami setelah Adin memberikan beberapa informasi gizi dari masing-masing merek donat. Dimulai dari Dunkin Donat yang memiliki tempat atau kafe yang bersih, dan terkesan higienis karena berasal dari Amerika, namun cenderung mengandung begitu banyak gula yakni siklamat. Fakta yang kami ketahui sore itu adalah penggunaan siklamat mampu mengurangi biaya penggunaan gula tebu biasa. Gula siklamat atau pemanis hasil rekayasa kimia ini tiga puluh kali lebih manis dari penggunaan gula biasa. Adin mengatakan bahwa siklamat biasa digunakan untuk mereka yang menderita penyakit diabetes, sementara bagi kita yang normal dan mengkonsumsi siklamat dengan rutin sangat berpotensi untuk terkena kanker. Penggunaan bahan-bahan produksi donat dengan kualitas rendah dan mengancam kesehatan ini digunakan pedagang untuk “mengakali” biaya produksi yang akan dikeluarkan. Regulasi pemerintah yang sudah ada untuk mengatasi maraknya pedagang “nakal”, dirasa tidak begitu memberi efek jera kepada para produsen pangan tradisional kerena biasanya para pedagang ini sudah memiliki kontak langsung dengan pengada bahan pengawet dari toko-toko bahan kimia. Adin berpendapat, kita sulit mengontrol kualitas bahan karena antar pedagang dan penjual sudah “tahu-sama tahu”.

Hasil diskusi berhasil menyuguhkan beberapa kelebihan dan kekurangan dari tiap-tiap donat, namun pada akhirnya kita bertemu pada dialektika donat mana yang lebih baik. Misalnya pada donat Dunkin atau J.Co lebih baik jika tidak dikonsumsi terlalu sering. Perlu uga untuk konsumen memperhatikan minuman pendampingnya, misalnya jika donatnya sudah mengandung banyak gula, lebih baik jika tidak memilih lagi minuman milkshake atau soda dengan gula yang terlalu banyak. Pun pada donat kentang, jangan sampai karena beridealis ingin memajukan produk lokal, malah kita justru dirugikan dengan pedagang nakal. Sebagai konsumen kita yang harus lebih selektif misalnya dengan melihat minyak yang dipakai untuk menggoreng apakah masih layak pakai, atau misalnya dengan memilih jalan yang aman yakni membeli donat di produsen yang kita kenal. Atau dengan jalan paling aman terakhir, yakni dengan membuat sendiri donat yang akan kita konsumsi, sehingga nilai gizi dari kualitas bahan yang kita seleksi menjadi lebih layak untuk dikonsumsi.

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Makan Siang Sisa #3
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #3

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
7 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #2
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #2

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #1
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #1

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Juli 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.