Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Diary Berkebun (pt.1)

Catatan / Edible Weed
  • 14 Maret 2017
  • Monika Swastyastu
Sound of Music (1965) Julie Andrews Credit: 20th Century Fox/Courtesy Neal Peters Collection

Berikut ini adalah tulisan yang diolah dari Emotional Diary berkebun milik Monika Swastyastu (Tyas). Dalam proyek “Please eat Wildly”, salah satu aktivitas utama yang kami jalankan adalah membuat kebun sendiri di halaman belakang kantor KUNCI Cultural Studies Center. Dalam menjalankan aktivitas berkebun kami menggunakan Emotional Diary  untuk mencatat pengalaman dan perasaan kami, yang nantinya kami gunakan sebagai cara untuk refleksi dan evaluasi program.

Njajal Berkebun

“Berkebun” , satu kata yang membuat saya sedikit mengernyitkan dahi ketika mendengarnya. Bayangan tentang tanah, cacing, gatal, bau pupuk dan panas terik matahari tiba-tiba langsung menyeruak. Tapi jangan kira kernyitan itu karena takut kotor, atau benci keringat seperti putri manja. Saya ini calon antropolog. Bukan putri manja. Calon antropolog yang diajarkan dan diharapkan untuk blusukan ke tempat-tempat yang seperti dalam reality show tv itu, ketika orang kaya manja njajal hidup di desa, yang semacam itu lho. Jadi jelas bukan karena saya takut kotor. Ya meski saya akui, saya geli dengan hewan yang menggeliat, berbuku yang muncul seenaknya dari perut bumi.

Kernyitan itu sebenarnya untuk ingatan-ingatan yang lalu. Pengalaman njajal berkebun sebelum ini. Ketika panasnya tangan saya, membuat bibit-bibit segan memunculkan tunasnya. Sangat berbeda dengan ibu saya. Beliau bisa saja lo menyebar benih apa saja di pekarangan kecil kami dan tiba-tiba tumbuh beberapa hari berikutnya. Kalau kata orang tangan beliau itu tangan dingin, bahkan ibaratnya tongkat kayu bisa jadi tanaman. Sedangkan tangan saya? Panasnya minta ampun. Belum pernah saya menanam sampai tanaman itu tumbuh dengan bahagia. Paling, mati ditengah-tengah atau tidak tumbuh sama sekali. Tidak ada sama sekali cerita sukses menanam dalam kenangan

Jadi bolehlah saya berkenyit untuk serbuan keraguan yang muncul dalam ide berkebun ini. Tapi melihat semangat yang ada dalam komunitas kecil kami, saya menampik keraguan itu. Walaupun baru kemudian saya tau, belum pernah juga di antara kami ada yang berpengalaman menggarap kebun sebelumnya. Mantap bukan? Kami, sekelompok orang nekat yang tidak menggunakan ilmu-ilmu eksata yang jadi tren berkebun kini, serta tidak peduli dengan hitungan rumit waktu tanam, design kebun, atau prosedur tetek bengek lainnya. Tapi kami nggak ngawur lo. Ini learning by doing dan kami sengaja lakukan itu. Kami juga punya ideologi, biar nggak kalah sama kelompok kebun yang lain. Ideologi sederhana untuk mencari tau, menjajal, kenapa sih orang urban pada ngebun? Ada apa dibalik berkebun? Bagaimana caranya berkebun? Kenapa banyak resto yang mulai menanam sendiri bahan masakannya? Kenapa jika diberi label ‘ditanam sendiri’ di kebun belakang, makanan jadi ‘organik’ dan mahal? Apa dengan berkebun kami sudah jadi aktivis pangan? Apakah berkebun itu upaya untuk melepaskan diri dari jeratan politik pangan global?

Jadi bagaimana? Anda yang berkenyit sekarang? Saya bahkan, belum mulai bercerita.

Tentang Bedeng

Awam. Ya, kami orang-orang awam. Orang-orang embuh yang maha tidak tau. Tidak ada di antara kami yang lulusan teknik pangan, pertanian, perkebunan, atau biologi. Hanya kumpulan orang- orang embuh yang berkutat dengan makanan dan sok menganalisis keadaan sosial lewat makanan. Saking embuhnya, kami putuskan untuk menjajal berkebun.

Tiada tahu menahu kami, apa yang harus dilakukan pertama kali. Yang pasti kami ingin menanam. Dari mana asal tanaman itu? Dari bibit. Ingat pelajaran sederhana sekolah dasar tentang pertumbuhan kacang kedelai? Hari demi hari harus mengukur pertumbuhan akar, batang dan daun dari biji kacang kedelai yang diletakkan di atas kapas basah. Diri kecil saya, tidak sabaran menunggu hari berganti. Kedua mata ini, menyaksikan betapa eloknya batang semampai dengan sepasang daun kecil yang terlihat rapuh. Namun hanya dua minggu kedelai itu jadi primadona. Setelahnya, kedelai tidak menarik lagi untuk guru saya. Ia kembali menyuruh menghapal dan menghapal. Sayapun tidak peduli lagi dengan si kedelai yang menguning kering. Mending saya menghapal. Supaya dapat 100, meski tak tau kalau kedelai kecil nantinya bisa jadi tempe atau kecap. Padahal saya suka tempe.

Karena bibit adalah cikal bakal yang penting, kami kemudian memburu bibit. Menghubungi teman-teman yang sudah berkutik dengan kebun sebelumnya. Untung mereka dermawan, membantu orang-orang embuh dengan bibit gratis serta berbagi tips. Karena saya nggumunan melihat betapa baiknya mereka di era yang serba jahat, teman saya lalu berkata “ini namanya kekuatan kolektif”. Tak disangka, bibit- bibit yang kami dapatkan lumayan nyentrik . Ada bibit bunga telang yang sedang tren, bibit kacang-kacangan dari India, labu, sintrong, bayam merah, sawi pak coy dan banyak yang lain. Dengan modal bertanya, mencatat mengangguk-anggukan kepala, dan ber-oooo ria, kami belajar menyemai bibit.

Saat itu giliran bayam merah. Katanya, si bayam ini mudah tumbuh. Jadi kami dengan bersemangat menanamnya tanpa melalui proses penyemaian. ‘Ya kan katanya mudah tumbuh jadi nggak usah disemai deh’, begitu pikir kami. Dengan modal cangkul, tangan siap kotor, dan api-api semangat kami mulai mengeruk tanah dan menimbunnya seperti kuburan kecil untuk kucing atau anjing, tapi ukurannya lebih panjang, berderet empat sampai lima baris. Setelah itu kami membuat lubang-lubang kecil untuk para bibit bayam, kemudian menyiramnya. Tak lupa juga kami berfoto dengan rasa bangga seakan sudah menjadi power ranger lingkungan.

Hari berganti, syukurlah musim hujan. Alam membantu kami, paling tidak kami tidak perlu menyiram si merah secara rutin. Tapi jangan kira semua berjalan bebas hambatan. Kebun kami kerap diserang oleh hewan berkaki empat. Membuat kami berteriak-teriak “Anjing! Jangan diinjak woy njing”. Melihat tunas-tunas bayam sepertinya terancam, kami kemudian memutuskan untuk membuat pagar tali dari rafia. Harapannya supaya anjing itu paham area itu dilarang untuk mereka. Tapi ya, anjing kan tetap anjing.

Hari terus berganti. Kami orang-orang embuh sangat bahagia melihat tunas-tunas bayam merah yang menggerombol dengan manisnya. Bahkan beberapa dari kami sudah membayangkan untuk membuat jangan, salad , gudangan, dan banyak menu yang lain dari si bayam merah.

Sampai suatu ketika, hujan turun terus menerus sepanjang hari. Puncaknya malam itu hujan turun dengan deras. Pagi-pagi, harapan kami kandas. Kebahagian itu hilang. Salah seorang dari kami memposting gambar si merah di whatsapp grup dengan emoticon bertubi-tubi T T . Sepetak bayam kami berubah menjadi kubangan air. Tanah-tanahnya amblas. Tunas-tunas kami hilang terendam dan terseret oleh air hujan. Kami gagal panen. Atau mungkin, gagal tunas? kegeloan ini baru untuk awam seperti kami namun akrab di kalangan petani ketika padinya diserang wereng, cabenya rusak karena hujan atau kolnya dimakan ulat. Bahkan saya rasa, emoticon TT  tidak bisa mewakili gelo nya para petani saat gagal panen. Kalau untuk kelompok kami yang baru saja ‘kemarin sore’ njajal berkebun, saya rasa masih bisa.

Beberapa hari setelah itu. Duka kami mulai pulih, kami mulai membayangkan untuk mulai menanam lagi. Bermula dari penjelajahan internet untuk melihat kebun-kebun organik. Kami mulai menyadari perbedaan petak bayam merah kami dengan petak tanaman organik di internet. Kami orang-orang embuh tiba-tiba mendapat jawaban kenapa petak bayam kami bisa hilang disapu air hujan. Kami yang awam ini merasa mendapatkan pencerahan. Ternyata yang kami perlukan adalah BEDENG untuk menanam, bukan hanya sekedar gundukan tanah.

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.