Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Dialog Fast Food Lintas Negara

Catatan / Diskusi / Fast & Foodrious
  • 18 Agustus 2015
  • Khairunnisa

Cuaca yang panas menyerang Yogyakarta pada bulan Juni, menandai dimulainya kegiatan Bakudapan yang cukup ambiusius, tetapi tetap menyenangkan, di Rumah Seni Cemeti, tetap dalam tema proyek pertama kami, “Fast and Foodrious”. Dalam proyek pertama ini, setiap orang memiliki ketertarikan dan pendekatan masing masing untuk melakukan peneltian. Saya sendiri tertarik untuk melihat memori apa saja yang dimiliki orang-orang mengenai makanan cepat saji, semua ini terinspirasi dari pengalaman masa kecil saya sendiri. Makanan cepat saji telah menjadi seperti “hadiah” yang akan saya dapatkan setiap akhir bulan, di mana saat ibu saya mendapatkan gajinya. Momen tersebut selalu menjadi memori yang menyenangkan bagi saya.[1]

Saat berbicara mengenai makanan cepat saji dan memori masa kecil saya, saya membayangkan apakah orang-orang di negara lain mempunyai memori yang serupa dengan saya? Mungkinkah secara tidak sadar kita membagi memori yang sama? Berawal dari pertanyaan ini, saya membuat sesi Skype bersama dengan lima partisipan, dari Indonesia (saya sendiri), Australia (Win), Jerman (Sara), Filipina (Mary), Amerika (Ave), Vietnam (Hanna), and Thailand ( Jill). Saya kemudian membayangkan ada sedikit kesamaan yang akan muncul pada pengalaman setiap orang. Diikuti dengan semangat dan kepercayaan diri yang cukup, sesi Skype pun dimulai.

Koneksi internet jarang sekali bisa diandalkan untuk dapat bekerja dengan lancar, keberadaan internet nyata, tetapi kita tidak pernah tahu kondisinya dari waktu ke waktu. Sehingga hal pertama yang dilakukan sebelum sesi Skype dimulai, kami mencoba koneksi masing-masing partisipan. Kita tidak bisa mempercayai internet sepenuhnya, begitu pula dengan koneksinya, dan melalui permasalahan ini kami kehilangan salah satu partisipan yang berasal dari Vietnam, Hanna. Akhirnya, dengan enam partisipan yang tersisa, sesi Skype pun dimulai.

Obrolan dimulai saat masing-masing dari partisipan bercerita tentang memori masa kecil mereka dengan fast food. Melalui topik pertama ini, sudah terlihat cukup jelas bahwa memori masing-masing partisipan berbeda. Bagi saya, datang ke restoran cepat saji adalah sebuah hadiah, seusatu yang saya telah nantikan selama berhari-hari, tetapi untuk Win dan Ave, hal ini lebih seperti satu-satunya pilihan untuk mereka pada saat itu. Bagi Win dan Ave, pergi restoran cepat saji merupakan pilihan mereka satu-satunya saat mereka dalam perjalanan darat jarak jauh, sebab hanya restoran cepat saji yang sudah pasti memiliki jaminan kebersihan untuk toilet, makanan, dan semua fasilitasnya. Namun, terlihat sedikit kesamaan antara memori saya dan memori Win, saat makanan cepat saji menjadi imbalan, setelah ia melakukan sesuatu yang baik sebelumnya, maksud dari baik disini adalah saat Win dan teman-temannya latihan berenang, setelah latihan mereka akan makan bersama di McDonald’s. Menurut cerita Win, teman-teman lelakinya akan memesan hamburger dengan jumlah yang sangatlah banyak sebagai imbalan setelah berjam-jam berlatih renang.

Pengalaman yang berbeda dialami oleh Ave, saat ia dlaam perjalan darat jarak jauh, ia dan keluarganya tidak akan memilih McDonald’s sebagai tempat berhenti, mereka akan memilih Wendy’s, di mana menurut mereka lebih baik. Ave juga mengatakan hal yang menarik, ini berkaitan dengan bagaimana ia tidak suka saat McDonald’s diasosiasikan dengan Amerika, sebab McDonald’s bagi Ave rasanya tidak enak, dan ada banyak pilihan lain untuk mendapatkan makanan serupa dengan rasa yang lebih enak. Komentar yang dilontarkan Ave membuat saya kemudian berpikir, di Amerika mereka mempunyai banyak pilihan lain dengan rasa yang lebih enak untuk pilihan makanan seperti hamburger, kentang goreng, ayam goreng tepung, dan lainnya, Kemudian, bagaimana dengan kita di Indonesia? Dahulu kita tidak memiliki banyak opsi diabndingkan dengan sekarang, mungkin itu yang membuat kita berpikir bahwa McDonald’s enak.

Cerita berikutnya disampaikan oleh Mary memberi perspektif baru mengenai makanan cepat saji, terutama mengenai pilihan. Bagi Mary, ini bukanlah pilihan lain, tetapi pilihan utamanya saat makan makanan cepat saji, yaitu Jolibee. Jolibee sudah menjadi restoran cepat saji terfavorit di Filipina dan mereka telah mempunyai pelanggan yang setia kepadanya. Jolibee merupakan restoran makanan cepat saji pertama di Filipana dan setelah itu barulah McDonald’s menyusul. Saat membahas mengenai Jolibee, setiap partisipan memberi komentar mereka mengenai alasan Jolibe menjadi favorit – sebagian mengatakan rasanya sesuai dengan orang Filipina, lainnya mengatakan loyalitas konsumen terhadap produk lokal, dan lainnya. Kisah Jolibee di Filipina ini membuat saya menjadi penasaran, mengapa mereka bisa begitu terkenal, lebih terkenal dari McDonald’s, terutama dengan konteks di Indonesia di mnaa McDonald’s masih menjadi pilihan utama saat memilih makanan cepat saji.

Obrolan melalui Skype berlangsung selama dua jam, tetapi jika saya dapat merangkumnya, terdapat dua hal yang menarik bagi saya, yaitu permasalahan kesehatan dan perasaan menjadi orang lain. Menyinggung mengenai perasaan menjadi orang lain, semua bermula dari pengalaman saya saat pergi ke McDonald’s dahulu.Saya merasa setiap makan di McDonald’s saya bisa merasakan mnejadi orang Amerika seketika itu juga. Bagaimanapun, hal ini tidak berlaku bagi partisipan lainnya, tidak begitu persis. Bagi Jill, menjadi Amerika atau perasaan menajdi orang lain berlaku saat ia ke restoran cepat saji dan memesannya melalui drive thru. Berbeda dengan Win, di Australia mereka terbagi dua, mereka yang ingin menjadi orang Inggris, dan mereka yang ingin menjadi Amerika. Partisipan lainnya, Mary, Sara, dan Ave, tidak merasakan demikian, perasaan menjadi orang lain saat makan di restoran cepat saji.

Selanjutnya permasalahan kesehatan pun tidak bisa dikesampingkan, kita akan selalu membahasnya saat berkaitan dengan makanan cepat saji. Kenyataan bahwa makanan cepat saji itu tidak sehat sudahlah menajdi rahasia umum, kurangnya penggunaan sayuran, makanan yang digoreng, kejelasan asal bahan-bahan yang digunakan, dan persiapan untuk penyajian yang tertutup dari konsumen. Saat sesi Skype berlangsung, kami juga membahas isu organik yang sedang populer dan bagaimana gerai makanan cepat saji bereaksi dengan topik ini.

Kedua isu terakhir tersebut membuat saya kembali mempertanyakan beberapa hal. Makanan cepat saji memang tidak enak, tetapi rasa makanan mereka juga tidak begitu buruk, walaupun ada banyak pilihan lain yang lebih enak. Namun, setelah kita menikmati satu set menu makanan cepat saji, rasa bersalah kemudian muncul. Jika rasa penasaran saya dapat dirangkum, bagaimana sebenarnya memori dan pengalaman masa kini berpengaruh menciptakan selera makan seseorang – dalam hal ini dalam konteks makanan cepat saji. Apa yang membuat kita merasa bersalah saat makanan itu terasa enak?


[1] Lebih lanjut baca tulisan pengantar untuk sesi Skype: The Chronicles of McDonald’s Night

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.