Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Cerita Dari Selatan Stadion Maguwoharjo

Catatan / Edible Weed / Kunjungan
  • 28 Mei 2016
  • Bagoes Anggoro

Pagi itu hari Kamis sekitar jam 10 saya terbangun dengan perasaan sumuk yang luar biasa. Saya terbangun karena mendengar suara panggilan dari handphone saya dan juga beberapa kali mendengar suara gedoran dari pintu depan Kunci Cultural Studies Center, tempat saya menginap (tepatnya numpang tidur karena malas pulang) di malam sebelumnya. Sedikit tergesa saya menuju ke pintu depan dan mendapati Elia Nurvista sudah berada disana. Ya, hari itu memang saya dan Elia berencana mengunjungi Pasar Kamisan, sebagai salah satu tempat tujuan yang ingin kami kunjungi dalam rangka mencari tahu tentang apa dan bagaimana para penggiat pangan independen di Jogja bekerja. Kami menyebut pangan independen, karena menurut pengamatan kami, salah satu hal yang paling ditekankan dari pasar-pasar sejenis ini adalah bahwa kegiatannya tidak mengikuti sistem mekanisme pasar yang umum dimana terdapat mata rantai dalam jalur distribusinya. Mereka secara swadaya membuat platform-nya sendiri untuk mempertemukan produsen dan konsumen secara langsung.

Sekitar 30 menit kemudian kami sudah bersiap berangkat menuju Pasar Kamisan. Menggunakan Yamaha Mio 125 J milik saya, kami berdua berboncengan menuju ke sana. Pasar Kamisan sendiri merupakan bagian dari “Pasar Organik Jogja (POJOG)”, sebuah komunitas produsen/pedagang produk pangan lokal dan organik. Pasar Kamisan buka setiap hari Kamis dari jam 8 pagi hingga jam 1 siang (08.00-13.00 WIB). Lokasinya berada di Dusun Jenengan, sebelah selatan kompleks Stadion Maguwoharjo, tepatnya di halaman parkir rumah mbak Janti Wignjopranoto. Mbak Janti memang merupakan salah satu pencetus awal diadakannya Pasar Kamisan ini. Perjalanan kami memakan waktu sekitar 45 menit. Ya, cukup lama karena saya dan Elia memang tinggal di area selatan Kota Jogja tepatnya di bilangan Mantrijeron, sedangkan Pasar Kamisan berada di Maguwoharjo yang sudah masuk ke wilayah Sleman dan berada di wilayah utara. Kebetulan jua, jam saat kami berangkat merupakan jam dimana aktivitas kota sedang tinggi-tingginya, sehingga cukup membutuhkan kesabaran dalam melakukan perjalanan motor Mantrijeron – Maguwoharjo. “Awakke dewe ki wes koyo bis yo. Antar Kota Dalam Propinsi”, celetuk saya dalam perjalanan.

Perjalanan kunjungan ke Pasar Kamisan ini merupakan bagian dari proses penelitian untuk proyek kedua yang diusung Bakudapan. Melihat fenomena tentang pangan sehat, lokal dan organik, banyak pertanyaan dan kecurigaan dalam benak kami, bahwa hal itu lebih didasari sebagai gaya hidup semata. Untuk mencari tahu lebih dalam, kami mengunjungi beberapa aktivitas mereka, melakukan dialog dan interview santai dengan para pelaku dan merekam situasi dengan catatan-catatan lapangan serta dokumentasi. Metode ini sebagai langkah awal dalam penelitian ini, yang akan diperdalam dengan metode lain yang sedang kami pikirkan dan uji coba.

Setelah sempat kebablasan dari tempat yang kami berdua tuju, akhirnya kami pun menemukan lokasi yang dimaksud. Saat kami tiba, kondisi dan suasana di sana menurut saya cukup nyaman. Ada beberapa pengunjung, namun tidak terlalu ramai berjubel seperti orang antri Raskin ataupun berebut foto dengan idola kesayangan. Menempati area parkir dari Durga Tattoo, Pasar Kamisan berukuran sekitar 15 meter x 15 meter. Di sebelah Barat ada bagian yang dibangun menyerupai los-los pasar, untuk berjualan bagi para partisipator. Di bagian Selatan ada area lesehan bagi para pengunjung yang ingin beristirahat sambil menikmati makanan yang dijual di sana, dan di bagian tengah juga ada area untuk berteduh dan duduk-duduk sambil menikmati suasana ataupun ngobrol dengan para pengunjung ataupun pedagang yang ada di sana.

Turun dari motor, Elia langsung ngeloyor berpetualang memasuki area los para pedagang, sedangkan saya masih diam sejenak mengamati. Setelah sejenak mengamati situasi yang notabene “baru” bagi saya, saya baru menyadari juga bahwa perut saya keroncongan sepanjang jalan sebelumnya karena belum sarapan. “Baiklah, momen yang tepat ini!”, gumam saya dalam hati sambil berjalan menuju area para pedagang. Pandangan saya langsung tertuju pada salah satu lapak yang menyediakan berbagai olahan kue organik. Sosok yang tampak seperti Apple Pie yang terpampang di bagian atas meja seketika langsung membuat saya berbelok menghampiri.

“Mas, ini kue apa? Apple Pie bukan?”, tanya saya pada sang penjual.

“Iya mas, itu Apple Pie. Itu saya buat di dapur rumah sendiri bareng istri saya mas. Tepungnya pakai tepung organik low fat yang tidak ada campuran gula, Mas. Apelnya yang untuk topping pakai Apel Malang, sedang untuk selainya kita pakai campuran Apel Malang dan Apel Dieng, Mas. Soalnya buat nyari campuran rasa manis dan asem. Biar seger, Mas.”

“Oohhh…, full Apel dong Mas?” (jawabku sambil berpikir nih orang kilat juga cara promosinya…)

“Iya Mas. Mau coba Mas?”

“Boleh Mas. Sepotongnya berapa?”

“Sembilan ribu, Mas.”

“Oh, kirain gratis. Hahahahaha…, ya udah, minta dua potong Mas!” (niat beli dua potong adalah satu untuk saya dan satu untuk dicoba teman-teman Bakudapan yang lain nantinya, walaupun akhirnya yang sepotong lagi dihabiskan oleh teman saya yang bernama Gatari.)

Enak! Itu kesan pertama saya saat mencicipinya, dan keterusan untuk menghabiskannya (mohon maaf, karena rasa lapar maka naluri memotret makanan saya sempat hilang saat itu). Kemudian saya melanjutkan untuk berkeliling dan mencoba jajanan yang lainnya. Ketan, Timus, hingga es Dawet Ayu pun tak luput dari cicipan saya. Untuk jajanan yang dijual di sini, harganya bisa dibilang cukup terjangkau dan rasanya lezat. Para penjualnya pun entah kenapa semuanya ramah dan santun. Mereka dengan sabar melayani para pembeli dan bahkan menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh pembeli dan pengunjung.

Setelah berkeliling beberapa saat dan ngobrol dengan beberapa penggiat ataupun pengunjung di sana, ada hal-hal yang saya soroti dan saya anggap menarik di Pasar Kamisan ini. Yang pertama adalah live performance. Ada salah satu gerai Sushi vegan yang menurut saya menarik karena di gerai tersebut si bapak penjual menyuguhkan ‘atraksi’ pembuatan sushi dari kedainya di hadapan para pengunjung. Beliau bahkan senantiasa dengan sabar dan ramah menjawab pertanyaan dari setiap pengunjung yang menontonnya, dan bahkan di interupsi oleh keisengan saya untuk memotret produknya pun juga tidak masalah. Malah beliau mengajak kami berdua untuk mampir di restoran milik beliau yang ada di daerah Prawirotaman. Berbeda dengan kedai sushi khas Jepang yang para chefnya terkesan arogan dan membuat jarak dengan konsumen serta terlihat tidak ingin diajak ngobrol.

Kedua adalah hal tentang informasi. Kami berdua sempat ngobrol dengan seorang pedagang keju bernama Mas Jimmy yang kebetulan berniat untuk membuka toko di Rotowijayan, dan bagaimana dia menyebut dirinya artisan. Kami menganggap bahwa kata artisan itu bukan sekedar sebagai produsen atau pembuat, tapi lebih ditekankan pada pembuat yang memiliki passion dan pengetahuan yang mumpuni akan produknya. Lebih lanjut pun Mas Jimmy juga menjelaskan panjang lebar tentang keju pada kami (yang sayang sekali lagi kami tidak merekamnya). Sebenarnya untuk lebih lanjut hal ini menarik untuk dibahas bagaimana mereka melihat dan menamakan diri mereka yang tidak mau asal disebut sebagai penjual. Seperti terlihat pada saat kami berdua bertanya tentang bagaimana keju yang vegan, vegetarian dan yang biasa. Mas Jimmy dengan penuh semangat menjelaskan dan terlihat ingin mengedukasi para konsumennya. Proses edukasi konsumen juga ditekankan dalam gerakan ini, mungkin agar antara produsen dan konsumen sama-sama memiliki pengetahuan akan nilai dari produk yang dianggap baik, sehingga tidak ada lagi keluhan tentang harga, kuantitas, dan sebagainya. Mas Jimmy sendiri sudah menempuh pelajaran tentang perkejuan hingga jauh ke Kanada.

Ketiga adalah tentang edukasi untuk komoditas. Selain edukasi kepada konsumen, gerakan ini juga mengedukasi produsen-produsen yang dilihat memiliki potensi sebagai penggerak. Artinya mereka kemudian membentuk jaringan dengan petani-petani lain yang mau diajak bertanam dengan cara, organik misalnya. Seperti pada Jogja Organik di bawah asuhan Mas Dana, sebagai salah satu lapak di Pasar Kamisan yang menjual sayuran. Metode beliau adalah membina petani-petani di kawasan Muntilan, Merapi, untuk bertanam organik. Kami berdua pun berpikir bahwa pada akhirnya muncul penekanan sayur organik sebagai komoditas, yang menurut Elia, harganya lebih mahal daripada harga di pasar tradisional biasa. Sebagai contoh, Elia membeli 3 buah wortel ukuran sedang, 2 bonggol daun pagoda (seperti sawi sendok) dengan harga 17.300 rupiah. Tetapi dengan alih-alih sehat dan tanpa pestisida, membuat orang merasa harganya wajar.

Pengunjung yang hadir di Pasar Kamisan ini pun juga beragam. Mulai dari mbak-mbak berjilbab yang tampak sholehah dan mas-mas yang tampak alim yang ternyata mereka berdua sedang penelitian, ada juga ibu-ibu dengan setelan sosialita dan tampak mapan yang berasal dari Jakarta; jauh-jauh datang ke berbagai tempat termasuk Pasar Kamisan hanya untuk membeli produk-produk vegan, hingga ada juga yang datang hanya karena penasaran dan ingin tahu seperti saya dan Elia. Sepengamatan saya, sebagian besar yang datang di acara Pasar Kamisan dari luar tampak seperti kalangan ekonomi kelas menengah ke atas. New middle class movement? Well, I dunno.

Kurang lebih seperti itu gambaran apa yang kami temukan di Pasar Kamisan. Saya sebagai salah satu penggiat record store dalam skena musik Jogja, menemukan satu kesamaan diantara para penggiat lapak rilisan dalam skena musik dengan para penggiat pasar organik di Pasar Kamisan Jogja. Praktik lapak yang selalu hadir langsung dengan bentuk transaksi tradisional secara langsung, serta bertatap muka langsung dengan para konsumen dapat dibaca sebagai sebuah penekanan ke dalam bentuk interaksi langsung. Interaksi langsung ini dihadirkan sebagai usaha agar jarak kelas antara pelapak dengan para konsumen mampu dihilangkan, dan tak lagi dibatasi oleh hal-hal semacam toko dan meja kasir. Pada akhirnya lapak dalam Pasar Kamisan menjelma menjadi salah satu sudut interaksi dengan segala obrolan dan informasi yang ada di dalamnya.

Kehadiran lapak secara langsung mampu menghadirkan interaksi yang sebelumnya dibatasi oleh hal-hal yang disebutkan di paragraf sebelumnya. Bentuk berjualan secara langsung dan tradisional membuka ruang antara pelapak dengan konsumen. Dalam konteks ini, lapak dalam Pasar Kamisan dan figur pelapaknya bisa menjadi jembatan informasi dalam dunia komunitas organik itu sendiri. Informasi yang dimaksud adalah cerita dan gosip di seputaran dunia organik, dan dialirkan langsung dari balik sebuah meja lapak.

Beberapa pedagang ada yang telah memiliki kios tetap, namun banyak yang memilih untuk tetap datang ke pasar organik semacam Pasar Kamisan dengan alasan untuk memperkuat jejaring antara sesama produsen serta konsumennya. Dalam ruang pertemuan ini, mereka saling silaturahmi untuk berbagi informasi dan mungkin juga kegelisahan akan apa yang mereka geluti. Selain itu mereka juga menggunakan lapaknya sebagai display untuk bertemu konsumen baru yang berpotensi untuk terus menjadi konsumen tetapnya, mengingat produksi barang-barang ini terbatas dengan konsumen yang terus bertambah.

Dari yang saya amati dalam Pasar Kamisan, para pedagang bisa hadir dari berbagai kalangan baik secara personal maupun institusional. Para pedagang ini secara tidak langsung dituntut untuk memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang barang-barang yang dijualnya serta pengetahuan dan informasi tentang dunia organik itu sendiri. Tidak ada pendidikan khusus untuk hal ini sehingga pedagang dituntut untuk mau mengedukasi dirinya sendiri dalam rangka membangun informasi yang edukatif dan komprehensif tentang dunia organik untuk dibagikan kepada para konsumen; dan secara tidak langsung mengedukasi konsumen dengan berbagi pengetahuan itu.

Komoditas selalu direpresentasikan sebagai hasil proses produksi yang dikuasai oleh hukum permintaan dan penawaran. Komoditas akan dikatakan memiliki sejarah latar belakang. Sejarah akan komoditas itu juga tergantung akan kebudayaan di mana barang itu berada. Penafsiran ini bisa berbeda bagi masing-masing individu hingga sampai pada poin tertentu, setiap barang memiliki kehidupan sosial tertentu yang bisa memunculkan praktik kebudayaan tersendiri.

Kelompok yang memahami komoditas ini pun juga akan mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat atau komunitas. Mereka memiliki kuasa untuk mengatur produksi barang dan siapa saja yang berhak mengkonsumsinya. Mereka memiliki sistem dan aturan tersendiri di dalamnya. Mereka akan mencari area yang memberikan keleluasaan untuk bergerak dan memunculkan nilai-nilai di dalamnya. Sebagai konsekuensi akan hal ini, barang yang bersangkutan juga hanya bisa bergerak terbatas dalam proses produksinya. Siapa yang mengkonsumsinya pun juga tidak sembarangan. Perlu ada syarat sosial tertentu guna memasuki area konsumsi barang ini. Keterbatasan ini akibat dari kekuatan aturan sosial yang dibangun oleh masyarakat atau komunitas itu sendiri.

Keberadaan barang dalam Pasar Kamisan sebagai bagian dari dunia organik di Jogja masih saya lihat sebagai sebuah komoditas, yang akan mampu memunculkan satu kehidupan sosial tersendiri yang mampu menciptakan nilai, ruang, hingga interaksi di dalamnya. Tenaga kehidupan dari sebuah komoditas ini saya lihat muncul dari para pelaku yang secara langsung terlibat. Mereka senantiasa hadir untuk menjaga kehidupan sosial serta arus perputaran nilai dalam dunia organik di Jogja. Pasar-pasar organik yang ada dalam kota Jogja seperti Pasar Kamisan bisa dianalogikan sebagai salah satu wujud “panggung” nya.Lebih lanjut? Masih membutuhkan langkah dan proses pengamatan serta analisa lebih mendalam lagi. Apa yang saya paparkan di sini semata hanyalah sekilas penangkapan saya dari kunjungan ke Pasar Kamisan bersama Elia sebagai bagian proses eksperimen kelompok kami. Yang jelas kami mengakhiri kunjungan di Pasar Kamisan hari itu dengan membeli beberapa sayuran dari pertanian organik yang cukup mahal kemudian kami masak. Ternyata rasanya memang lebih enak, entah karena lapar, tersugesti atau memang enak. Cheers!

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.