Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

Catatan / Edible Weed / Living Leftover / Lokakarya / Unpacking Embodied Knowledge
  • 9 April 2019
  • Gatari Surya Kusuma

Jika membicarakan tentang dapur dan pengetahuan tentang makanan, tidak akan terlepas dari konteks lokasi dan budaya. Misalnya saja, ada beberapa pengetahuan tentang jenis alat masak yang digunakan di Indonesia namun tidak digunakan oleh negara lain. Atau bisa juga tentang konstruksi rasa enak di satu negara akan berbeda dengan negara lainnya yang memiliki budaya dan situasi sejarah berbeda.

Alih-alih mencoba untuk mencari dan menentukan rasa yang terbaik dari sebuah makanan sebagai sebuah wujud nyata, kami, Bakudapan tertarik untuk mencari tahu bagaimana sejarah, latar belakang dan budaya dalam membangun rasa dan pengetahuan yang berputar dalam makanan dikonstruksi. Upaya itu kami coba implementasikan ke dalam beberapa bentuk kegiatan, lokakarya dan proyek Bakudapan. Antara lain; Unpacking Embodied Knowledge, Please Eat Wildly dan Living Leftover. Ketiga proyek tersebut sama-sama bertujuan untuk mempelajari dan membedah secara perlahan tentang bagaimana pengetahuan makanan diproduksi, direproduksi dan terus diturunkan melalui beragam cara–mulai dari  keluarga hingga campur tangan negara melalui kebijakan dan propagandanya, misalnya.s

Unpacking Embodied Knowldege merupakan upaya Bakudapan untuk memetakan tentang dari mana pengetahuan menggunakan alat masak yang sering dianggap sebagai pengetahuan yang diterima begitu saja terjadi, dan melalui moda apa pengetahuan ini diturunkan. Kami memulai proyek ini dengan ketertarikan kami pada alat masak yang berfungsi untuk menumbuk dan menghaluskan. Untuk itu kami mengadakan lokakarya membuat “Sambal” di Cemeti Institute For Art and Society pada 6 September 2017. Kami menyediakan beberapa jenis alat penumbuk dan penghalus untuk membuat sambal yang berbeda bentuk dan cara penggunaan. Kami menyediakan cobek dari batu, kayu dan porselen serta mesin blender. Lalu, kami mengundang para partisipan dan membaginya menjadi beberapa kelompok untuk membuat sambal dengan menggunakan salah alat tersebut pada setiap kelompok. Tentu saja, tidak ada peraturan yang mengikat tentang jenis dan cara membuatnya. Peserta bebas untuk membuat sambalnya dan menentukan rasa sambal yang enak bagi mereka secara personal.

Setelah membuat sambal, kami mengadakan diskusi berdurasi 1 jam membahas tentang bagaimana warisan pengetahuan tentang sambal sampai kepada mereka, mulai dari soal teknik dan alat yang dipakai hingga soal resep dan rasa. Upaya memanggil kembali ingatan dipilih untuk membongkar dan menelaah ulang tentang proses reproduksi pengetahuan dan sejauh apa pengetahuan itu mampu bertahan hingga saat ini. Meskipun pada sore hari itu banyak pembicaraan bernada nostalgia yang terjadi, namun hal yang kami sadari adalah bahwa sebuah aktivitas memasak tidak semata-mata berasal dari kemampuan yang terbawa sejak lahir atau terjadi secara alamiah, namun tanpa disadari pengetahuan ini terbentuk melalui aktivitas sehari-hari. Misalnya bagaimana kita tanpa menyadari sering melihat Ibu mengulek sambal sehingga ketika berhadapan langsung dengan cobek, kita tahu bagaimana cara memegang lesung  dan gestur mengulek. Atau melihat kembali perbandingan antara kita dan generasi sebelumnya soal bagaimana kita menggunakan mesin blender yang otomatis, di mana generasi sebelumnya harus membaca manual secara hati-hati, sedang kita saat ini tanpa berpikir langsung memencet tombolnya.

Selanjutnya adalah aktivitas Ngeramban dalam kerangka besar proyek kami tentang Pangan Liar yaitu Please Eat Wildly. Kata “ngeramban” dalam bahasa Jawa ini berarti aktivitas mencari tanaman liar untuk dimakan dari suatu lahan seperti semak-semak, hutan, kebun terbengkalai atau lahan-lahan yang tidak digunakan sebagai tempat produksi makanan. Bakudapan mengajak siapa saja yang tertarik untuk melakukan ngramban di beberapa titik di Yogyakarta. Sembari “ngeramban” niatnya kami melakukan pemetaan pengetahuan akan tumbuhan yang bisa dikonsumsi. Dengan mendatangi, memetik, membaui dan mencicipi secara langsung tanaman ini, pengalaman mendapat pengetahuan ini diharapkan lebih “nyata”. Setelahnya mengumpulkan tanaman, lokakarya dilanjutkan dengan memasak bersama hasil buruan yang kita dapat dengan resep-resep sederhana. Dari rangkaian aktivitas ini, selain persoalan pengetahuan tumbuhan pangan, kami juga banyak mencatat dan mempelajari tentang permasalahan lahan dan batas dalam kaitannya dengan  kepemilikan serta bagaimana kota berkembang yang sebagian besar kasusnya menjadi lebih kapitalis. Selain itu, kami juga melihat kemungkinan ini sebagai alternatif utopis (yang juga mempertanyakan dan mengkritisinya) sebagai cara menyiasati bertahan hidup di kota yang kian padat.

Lalu, sesuai dengan namanya Living Leftover, kami banyak berkutat dengan sisa atau leftover. Awalnya proyek ini kami inisiasi ketika Bakudapan mendapatkan undangan berpameran di salah satu hotel bintang 4 di Yogyakarta bernama Greenhost, yang ironisnya dibangun di lahan yang berubah menjadi sangat “turistik” dan banyak meninggalkan sisa cerita sejarah serta menyingkirkan beberapa warga seolah menjadi “sisa” digerus industri wisata yang makin kapitalis. Selain itu kami juga mendapati beberapa fakta tentang sisa makanan hotel yang beberapa dibuang begitu saja ketika menu sarapan tidak habis. Dalam proyek ini selain membuat instalasi makanan sisa, kami merancang 3 kali even makan siang lalu kami mengolah makan sisa sarapan hotel menjadi menu baru, dan menyantapnya sembari membicarakan tentang sisa dalam berbagai aspek kehidupan.

Selain itu kami juga menginisiasi sebuah tur yang kami namakan “Living Leftover”, dimana kami mengundang partisipan secara umum untuk berjalan kaki menelusuri daerah Prawirotaman, lokus utama dimana proyek ini dijalankan. Selama berjalan kaki kami membuka percakapan dengan beberapa warga lokal yang sudah kami rancang untuk menceritakan tentang sejarah area ini dari perspektif pariwisata.

Proyek ini kemudian berlanjut, ketika kolega kami, Margarida Mendez, salah satu kurator dari Istanbul Design Biennale “A School of School” pada September 2018 mengundang kami untuk membawa ketiga ide tersebut ke Istanbul dalam kerangka desain, yang mana lebih menawarkan jalan keluar dari sebuah permasalahan. Kami melakukan rangkaian workshop Living Leftover dan Ngramban. Selain itu, kami juga memajang terbitan kami yang membahas tentang Unpacking Embodied Knowledge.

Cuaca yang mulai memasuki musim dingin disertai beberapa hari rintik hujan, sempat menyiutkan semangat kami. Kami takut tidak ada yang tertarik untuk datang melakukan Ngramban di sekitar lokasi pameran. Untuk memberi gambaran, lokasi pameran tersebar di beberapa titik berdasarkan pengelompokan karyanya. Ada yang di museum, galeri atau di studio sebuah kolektif. Kami adalah salah satu yang mendapat lokasi di studio kolektif bernama Studio-X dengan fokus tema “Digestion School” yang membahas tentang pangan secara garis besar.

Selain keterbatasan pengetahuan kami, perbedaan latar belakang budaya, geografi dan sejarah membuat beberapa jenis tanaman terdengar dan terlihat sangat asing bagi kami selaku inisiator lokakarya. Bahkan, ada beberapa jenis tanaman yang pertama kami jumpai dan tidak tahu bagaimana cara mengolah dan mengonsumsi atau menyiasati rasanya yang tidak familiar. Alih-alih mencari tahu semua pengetahuan tentang tanaman dan makanan yang ada di Istanbul, kami justru memikirkan metode paling tepat yang bisa mengakomidir seluruh pengetahuan pangan yang dimiliki oleh peserta lalu mendistribusikannya kepada seluruh peserta lokakarya. Metode membagi otonomi ke dalam kelompok kecil dan bekerja secara kelompok adalah metode yang kami pilih saat itu.

Bisa dikatakan kedua lokakarya berjalan dengan lancar. Semua partisipan bergerak aktif untuk saling bertanya dan memberi ide atau informasi tentang tanaman dan makanan. Di akhir lokakarya selalu kami tutup dengan acara makan bersama dari hasil masakan bersama sembari membagi pengalaman dan pengetahuan antar kelompok dan peserta. Selain itu kami juga berusaha memetakan

Melalui lokakarya ini kami berusaha untuk memetakan persoalan urban seperti lahan tanam produktif yang kian menyempit, terkapitalsisasinya ruang-ruang publik, pembangunan yang meninggalkan residu, logika berfikir terhadap sisa sebagai sesuatu yang tak bernilai yang terus di reproduksi hingga keberlanjutan pengetahuan terhadap makanan. Kami menyadari bahwa upaya yang kami lakukan tidak bisa ditakar keberhasilannya dengan pertanyaan “lalu apa solusi atas semua persoalan tersebut?”–   tetapi lebih pada membangun imajinasi siasat hidup menghadapi permasalahan-permasalahan urban tersebut. Seperti halnya yang ditulis oleh arsitek Rem Koolhas tentang pemaknaan Junkspace; ruang yang akan terus menerus ter-reproduksi tanpa sadar karena adanya rutinitas kehancuran dan kemunculan di lingkungan hidup kita[1]. Maka dari itu, bisa dilihat upaya latihan yang dilakukan Bakudapan mencoba untuk menelisik lebih dalam tentang bagaimana memanfaatkan Junkspace sebagai bagian dari kehidupan manusia.


[1] Jean Giesking, dkk., The People, Place and Space Reader, (New York: Routledge, 2014), halaman: 4.

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Bakudapan Berpartisipasi dalam Istanbul Design Biennale
  • Kabar

Bakudapan Berpartisipasi dalam Istanbul Design Biennale

  • Lokakarya
18 September 2018
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.