Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #1

Catatan / Diskusi / Living Leftover
  • 3 Juli 2017
  • Elia Nurvista

Bakudapan sedang menjalankan proyek yang kami beri judul Living Leftover. Dalam proyek ini, kami ingin mengumpulkan kosakata, terma, serta cara melihat atau gagasan dalam memaknai apa yang disebut sisa. Meskipun kami memulainya dari sebentuk ide akan sisa-sisa makanan, tapi kami tidak ingin melihat dan membahasnya terbatas dalam bentuk tersebut. Ataupun hanya untuk mengkampanyekan supaya tidak membuang-buang makanan karena masih banyak orang yang kekurangan. Kami ingin lebih jauh memahami mengapa kategori sisa dan yang bukan sisa terbentuk dan mengapa pula sisa seringnya berasosiasi dengan nilai yang lebih rendah. Menurut kami, lewat sisa makanan kita bisa melacak dan memaknai banyak hal dalam kehidupan ini.

Karena proyek ini pertama dipresentasikan dalam bentuk instalasi obyek-obyek berupa bahan pangan sisa di lobi hotel Greenhost, Yogyakarta selama 2 bulan, kami juga kemudian memikirkan untuk membuat rangkaian yang sesuai dengan konteks tempat instalasi tersebut dipamerkan. Dalam instalasi tersebut kami memajang berbagai jenis makanan sisa; mulai dari makanan kaleng yang sudah kadaluarsa dan kemasannya berkarat, sayur dan buah yang membusuk, sisa tulang sapi sehabis makan tengkleng, roti yang berjamur di salah satu sisinya, sisa biskuit yang lupa dimakan, ampas kelapa parut yang telah diambil sarinya untuk santan, sisa nasi yang kemudian dijemur supaya lebih lama mencapai masa basi, sisa minyak sayur setelah dipakai menggoreng 3 kali, serta sisa ampas kopi yang kopinya habis diminum. Selain artefak-artefak tersebut kami juga menyertakan nukilan-nukilan yang kami anggap puitis dalam menceritakan benda-benda sisa tersebut, yang kami ambil dari novel, tulisan teman, lirik lagu serta dari internet yang baik kami tahu maupun tidak kami tahu milik siapa.

Kemudian kami terpikir mengundang orang-orang lain untuk semacam merenungkan perihal sisa ini, sembari makan siang yang berupa olahan sisa makanan sarapan di Greenhost. Dalam industri hotel, terutama dengan kelas bintang 3 keatas, pastinya fasilitas makan pagi secara prasmanan tidak asing lagi. Dan tentunya dari aktifitas tersebut menyisakan makanan-makanan yang tak lagi menggugah selera jika dimakan di siang hari. Kami kemudian meminta ijin kepada pihak manajemen hotel untuk memberikannya pada kami, untuk kami olah kembali menjadi makanan “baru” dan kami sajikan pada tamu kami yang tertarik mengikuti acara ini. Syaratnya : mendaftar, datang tepat waktu dan terlibat aktif dalam perbicangan soal memaknai sisa ini. Acara ini kami adakan selama 3 hari dalam seminggu sebelum menginjak bulan Ramadhan, karena pastinya sulit membuat acara makan siang disaat mayoritas orang menjalankan puasa. Selain soal menu yang sisa, kami juga mengumpulakan piring-piring yang ada di rumah kami. Beberapa ada yang dulunya dibeli dari toko sisa ekspor, ada yang sisa pindahan milik teman, dan ada yang pecah dan bagian yang tersisa lebih dari separuh sehingga masih dapat untuk menyajikan makanan. Kemudian di atas piring-piring tersebut kami menuliskan kembali nukilan-nukilan tentang sisa yang konteksnya lebih luas lagi, bukan hanya soal makanan, tapi misalnya soal sisa perang dunia, sisa kebudayaan hingga sisa sistem kapitalis. Tujuannya sebenarnya supaya bisa memantik pembicaraan jika dalam makan siang nanti kami mentok dengan obrolan sisa ini.

Acara makan siang pertama dihadiri oleh 9 tamu serta 3 orang dari Bakudapan yang bertugas sebagai pemandu yaitu saya dan Tyas, serta Ayas sebagai pencatat percakapan. Selain itu 2 orang lainnya dari kami menentukan menu serta eksperimen bahan masakannya, yaitu Nisa dan Gloria. Percakapan pertama dimulai setelah kami menerangkan tentang niat kami dalam makan siang tersebut, serta sedikit menjelaskan tentang kami sebagai kelompok studi pangan dan ketertarikan kami. Karena kami menjelaskan soal makanan sisa sarapan yang akan kami sajikan, kemudian salah satu partisipan benama Cella mengeluarkan beberapa buah jeruk dari dalam tasnya dan menceritakan bahwa jeruk-jeruk tersebut juga merupakan sisa-sisa yang ditemukan dalam kulkasnya. Entah kebetulan atau memang disengaja Cella membawa jeruk tersebut ke acara ini, tetapi hal tersebut cukup berhasil memantik pembicaraan pertama kami tentang tentang sisa lewat teknologi kulkas.

“Kulkas jadi penemuan yang membuat orang banyak membuang makanan, karena membuat kita belanja banyak bahan makanan dan menyimpannya. Padahal niatnya untuk memperpanjang durasi ketahanannya…”

Ungkapan Cella yang kemudian disambung peserta lain yang juga merasa kulkas membuat orang lebih konsumtif karena seakan memiliki pembenaran untuk belanja lebih banyak. Padahal kenyataannya setiap minggu hampir dari kita akhirnya membuang makanan tersebut.

Setelah pembicaraan tentang kulkas, Nisa dan Gloria kemudian datang membawa masakan pertama. Masakan pertama muncul berupa pangsit goreng yang didalamnya berisi nasi goreng sisa tadi pagi. Lalu dihias dengan tumis sayuran dan serpihan bihun goreng yang tampil seperti kremesan memenuhi piring peserta. Kemudian percakapan dilanjutkan kembali soal barang-barang sisa yang kemudian kita pakai lagi. Tyas dari Bakudapan memantik lewat ceritanya tentang baju yang ia pakai berasal dari toko impor atau yang biasa disebut dengan awul-awul. Kemudian disambung dengan peserta Vera yang juga bercerita tentang jam tangannya,

“Jam yang saya pakai punya Bapak tapi rusak strapnya, padahal masih bisa dipakai karena water resistant, lalu aku minta tolong teman untuk membuatkan custom strap nya. Alasan aku tetap memakai jam ini karena ngeman, dan memori karena punya Bapak.”

Kemudian kami tertarik dengan istilah ngeman serta soal memori dalam melihat barang sisa. Kata ngeman yang berasa dari bahasa Jawa eman-eman memiliki arti ‘sayang jika’ atau ‘sebaiknya tidak’, misalnya sayang kalau dibuang atau sebaiknya benda tersebut tidak terbuang. Biasanya benda yang di-eman adalah sesuatu yang memang tidak diprioritaskan untuk tetap dimiliki, atau secara nilai guna serta nilai ekonomis tidak lagi pada keadaan terbaiknya. Alasan benda tersebut di-eman juga seringnya karena ada nilai memori didalamnya, seperti kata Mechtilda, salah satu peserta yang bilang :

“Kalau ke pasar klithikan bawaannya sedih karena rasanya di sana isinya barang curian semua, sisa-sisa kenangan orang yang dipaksa berpisah dari pemiliknya”.

Pembicaraan kami kemudian bergerak pada pasar klithikan, atau pasar barang bekas tempat dikumpulkannya barang-barang yang masuk ke dalam kategori sisa. Mulai dari sisa onderdil motor tua, sisa baju yang sudah tidak trendy lagi, kaset-kaset dan piringan hitam musik yang rusak, pajangan-pajangan dan dekorasi rumah jaman dulu, hingga mesin-mesin yang tampak menyedihkan dengan teknologi yang ketinggalan jaman.

Barang-barang tersebut berkumpul dan membawa sejarah mereka sendiri-sendiri. Mungkin dulunya ia adalah mesin ding-dong paling mutakhir yang untuk memainkannya saja anak-anak harus antri lama, atau celana jeans dengan potongan paling hits pada 10 tahun lalu. Tetapi sekarang mereka seongok barang sisa masa lalu yang nilainya turun drastis dan tidak lagi diinginkan orang-orang kebanyakan. Memang tidak pernah ada nilai yang inheren atau tetap dalam setiap benda-benda, seperti yang penah kami bahas saat sesi membaca buku Arjun Appadurai “The Social Life of Things”. Salah satu peserta, Renan, kemudian menambahkan

“Jika kita bicara soal sisa atau leftover, selalu berasosiasi dengan sesuatu yang lemah. Seolah dalam kamus benda-benda ataupun manusia, ada kategori yang tercipta antara yang lemah dan yang kuat, yang unggul dan yang cacat”

 Kami lalu membicarakan siapa otoritas atau subyek yang kemudian memberi, melabeli, menambahkan nilai-nilai tersebut dan atas tujuan apa. Sejauh ini kecurigaan kami adalah rezim kapitalis yang berorientasi pada nilai ekonomi-lah yang memiliki peranan paling banyak dalam hal ini, walaupun dalam percakapan singkat ini, kami menyederhanakan banyak hal atas nilai-nilai dalam benda-benda serta manusia tersebut.

Seperti halnya dalam kasus benda sisa masa lalu, tidak menutup kemungkinan untuk nilai barang ini “bangkit” lagi. Kami kemudian membicarakan potensi barang sisa ini yang oleh “pasar” kemudian di beri embel-embel vintage serta dibubuhkan nilai memori padanya. Bagaimana anak-anak muda kemudian memburu piringan hitam lawas, atau celana model baggy yang in kembali, atau pajangan-pajangan dekorasi dengan gambar ala tahun 70-an kebelakang yang banyak dipasang di kafe-kafe. Mekanisme pasar-lah yang kemudian membangkitkan kembali nilai ekonomi dibalik benda-benda ini dengan imbuhan nilai kultural di dalamnya. Malahan kemudian pasar menciptakan benda-benda baru dengan orientasi pada bentuk lama ini, untuk kita, sebagai konsumen berlomba-lomba lagi memilikinya dan sering kita sebut tren. Hal ini juga terjadi pada makanan dengan munculnya tren paleo-diet, atau gaya hidup makan sesuai dengan apa yang dimakan nenek moyang jaman dahulu dimana pilihan bahan makan dan cara mengolahnya tidak sebanyak dan sekompleks sekarang. Karena alasan kesehatan untuk menghindari makanan yang diproses terlalu banyak seperti yang umum terjadi di jaman sekarang, orang ingin kembali lagi mengkonsumsi sealami mungkin bahan pangan mereka. Tentu saat menjadi trend, hal ini terjadi karena dipicu berbagai media, buku, figur pelakunya serta propaganda lainnya.

Menyambung soal makanan, kami lalu membicarakan makanan yang sedang kami santap, yang hampir semuanya menggunakan metode deep fried untuk “menyelamatkan” rasa dari makanan sisa ini. Mungkin karena kita selalu berfikir, apapun yang digoreng garing itu renyah dan gurih, seperti kata Erby, peserta makan siang itu,

“Menggoreng dengan tepung adalah salah satu cara menyelamatkan rasa makanan sisa.”

Tapi kemudian Wulang, peserta lain menimpali :

“Makanan ‘kan sesuatu yang akan masuk ke dalam tubuh. Jika sudah digoreng dan kemudian digoreng lagi, bagaimana dampaknya terhadap kesehatan tubuh?”

Renan juga menambahkan:

“Iya memang menggoreng adalah metode yang paling umum untuk menyelamatkan makanan, tapi kita harus berfikir ulang dengan metode ini, karena selain kesehatan juga misalnya dengan isu perkebunan sawit yang tidak ekologis…”

Tentu saja kritik-kritik dan saran tersebut kemudian harus kita pikirkan kembali saat memasak makanan sisa yang sudah melalui proses masak. Erby kemudian melanjutakan ceritanya tentang makanan sisa:

“Aku pernah denger soal Sustainable Living Lab di Singapore, dan mereka punya project makanan sisa juga. Mereka biasanya ke Circle K atau restoran-restoran yang punya makanan sisa, lalu mereka mendistribusikannya ke panti jompo atau para homeless. Dan itu sampainya hanya ke ‘orang-orang sisa’ yang hanya mau makanan sisa, karena bagi mereka yang penting makan. Tapi sepertinya agak susah kalau di Indonesia, karena jarang ngasih makanan yang hampir expired secara gratis, biasanya didiskon aja.”

Kami lalu tertarik dengan istilah “orang-orang sisa” dan bagaimana antara sisa yang satu dengan yang lain kemudian berhubungan dan membentuk jalurnya. Makanan sisa untuk para orang-orang sisa. Orang-orang sisa bisa dikategorikan sebagai pengangguran yang mungkin dianggap tidak memliki kemampuan produktif dalam menciptakan barang dan jasa dari kacamata ekonomi, homeless, gelandangan, serta orang jompo yang sudah tidak punya sanak saudara serta tidak mampu menghidupi dirinya sendiri karena terlalu renta. Dalam kehidupan sosial, kategori orang-orang sisa berada dalam hierarki terbawah. Mungkin lebih bawah daripada sekedar kaum miskin. Kemudian Tyas menggaris bawahi :

“Yang menarik meskipun dia sudah menjadi sisa, didalam sisa masih ada struktur dan kelas, contohnya baju di awul-awul. Meskipun diantara sisa, kita masih memilih sisa yang paling bagus, yang biasanya diletakkan di gantungan dengan hanger yang dijual lebih mahal, bukannya yang ditumpuk-tumpuk dalam satu keranjang itu. Ternyata bisa ada hierarki juga pada sisa. Mungkin kita juga menganggap pengangguran usia produktif masih lebih baik dan punya harapan daripada pengangguran jompo. Orang jompo masih lebih baik daripada gelandangan, dan seterusnya”

Setelah kurang lebih kami berbincang selama 1 jam, sebagian besar partisipan termasuk saya sendiri terlihat masih menyisakan makanan dalam piring kami masing-masing. Hanya ada 1 peserta yang tampak telah menghabiskan makanannya. Karena kami ingin beranjak pada menu kedua, yaitu pencuci mulut yang dibuat dari nasi putih sisa, kemudian kami beri gula dan dibentuk bola-bola dengan keju dan coklat didalamnya, saya segera melontarkan pertanyaan apakah semua sudah selesai dengan makanannya.

Beberapa dari kami, termasuk saya kemudian mengaku tidak mampu menghabiskan seluruh makanan di piring kami. Ada banyak alasan: sudah kenyang, tidak berselera, maupun terlalu banyak minyak. Karena kami sendiri baru saja membicarakan persoalan sisa-sisa, terganggu dan tidak etis rasanya kalau kami kemudian tetap menyisakan makanan ini, walaupun saya sebagai host mengajukan usulan untuk membuang sisa makanan dalam piring kami. Banyak keraguan tampak dalam wajah partisipan. Saya semakin tertantang untuk menguji diri kami akan persoalan sisa ini, walaupun mungkin dalam kehidupan sehari-hari kami tidak akan merasa se-terganggu ini saat menyisakan makanan. Tapi sungguh dilematis dalam forum makan siang yang berbicara sisa tapi juga mereperoduksi kembali apa yang dianggap sisa. Saya kemudian menawarkan kesepakatan sekali lagi, apakah kita semua setuju untuk membuang dan segera melupakan makanan sisa ini dan melanjutkan acara bahkan melanjutkan hidup kita masing-masing? Hanya ada satu orang yang setuju, yaitu Wulang. Saya memberi alasan mengapa kita membuangnya, adalah supaya kita membebaskannya dari kategori sisa makanan dan membiarkannya untuk melanjutkan jalur hidupnya yang baru. Tapi kemudian seseorang bilang dia akan masuk menjadi kategori sampah yang malahan lebih buruk dari sisa. Saya lalu menawarkan siapa yang punya usulan atau solusi lebih baik.

Mechtilda memberi solusi untuk membuatnya menjadi kompos dan pupuk tanaman, tapi kemudian Cella ragu, karena terlalu banyak kandungan minyak dalam makanan ini, tidak baik untuk tumbuhan dan tanah. Erby kemudian berkata ingin membungkusnya dan memakannya kembali jika ia lapar. Vera menambahkan ingin membungkusnya dan memberikan pada ayam-ayam di rumahnya. Kemudian ada satu pernyataan Renan yang menarik :

“Kita ini makhluk yang sangat antroposentris, semua selalu tentang kita dan bukannya makhluk lain. Kalau kita memberi makan sisa pada binatang peliharaan kita sama saja kita menganggapnya lebih rendah. Jika mereka bisa bicara, mungkin mereka juga menolak untuk diberi makanan sisa”

Hasil dari pembicaraan ini, kemudian saya menanyakan lagi, siapa yang setuju untuk dibungkus dan dibawa pulang untuk dimakan sendiri, bukannya diberi pada hewan peliharaan dan sebagainya. Hampir semua setuju, kecuali seorang peserta bernama Dio. Dio tetap bersikar menghabiskannya karena jika dibungkus (yang kebetulan kami menyediakan plastik untuk membungkus) akan menyisakan kembali sampah plastik yang sulit diurai. Dio meminta waktu tambahan untuk menghabiskan makanannya. Saya kemudian kembali bertanya pada peserta, siapa yang ingin diberi waktu tambahan untuk menghabiskan makanannya. Ternyata hanya Dio. Kemudian Tyas mengusulkan kembali pada ide membungkus, tetapi tidak dengan plastik melainkan dengan kertas dan tisu. Hampir semua setuju dengan ide itu.

Renan kemudian menambahkan usul, sebelum dibungkus dengan kertas dan tisu, sebaiknya kita masing-masing berfoto dengan sisa makanan kita, sebagai pengingat akan sisa yang kita hasilkan siang ini. Lalu kami masing-masing berfoto di depan instalasi karya Living Leftover dengan membawa piring kami.

Setelah membungkus makanan kami, kami kemudian menemukan nuilan-nukilan yang tertulis di dasar piring kami masing-masing . Kami membahasnya sembari makan hidangan pencuci mulut nasi sisa yang dibuat manis. Salah satu yang nukilan yang tertera pada piring Cella bertuliskan

“We’re still eating the leftovers of World War II.”

Cella kemudian mengintepretasikannya lewat Monsanto, perusahaan benih dengan paten dan GMO. Menurut Cella, sejarahnya dulu Monsanto adalah perusahaan bahan kimia, termasuk untuk mensuplai senjata perang seperti bom. Kemudian dengan berbagai percobaannya, saat ini Monsanto lebih dikenal dengan pemasok bibit dan benih pangan, mulai dari beras, jagung, hingga kapas.

Saya lalu juga menambahkan intepretasi atas nukilan tersebut. Menurut saya perang dunia ke 2 juga kemudian yang membentuk konstelasi politik dan ekonomi negara-negara super power dan negara dunia ketiga. Hal ini juga berimplikasi pada apa yang kita makan, contohnya hasil-hasil bumi terbaik negara-negara dunia ketiga ini, mulai dari sayur, buah, ikan hingga tambang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan negara-negara kaya tersebut, sementara kita, produsennya hanya mendapat sisanya. Kemudian Renan menyambung dengan :

“There’s an asymmetrical power in develop country. Di negaraku juga memproduksi pisang, tapi diekspor yang bagus-bagus aja jadi yang tersisa untuk kita tinggal yang jelek-jelek.”

Kemudian Dio mendapat nukilan :

“Leftovers in their less visible form are called memories. Stored in the refrigerator of the mind and the cupboard of the heart.”

 Menurutnya tidak semua sisa itu tidak bernilai, misalnya kenangan atau sisa kebudayaan yang lebih berharga. Terma sisa itu juga masih abu-abu menurutnya. Tyas kemudian menyambung :

“Menurutku, sejarah juga bagian dari sisa. Kalau diromantisir itu seperti mengingat memori akan hal-hal yang kadang terlupakan. Tapi juga kemudian sejarah dikuasai oleh orang-orang tertentu, dan kita jadi objek sejarah. Jadi kita diatur untuk mengingat memori mana yang patut diingat dan mana yang harus dilupakan. We never have our own history, we are the rest.”

Kira-kira begitulah percakapan-percakapan dan intepretasi yang terjadi saat kita membicarakan sisa. Selengkapnya akan kami unggah versi audionya lewat akun soundcloud kami. Setelah kurang lebih 30 menit berlalu dengan cara kami mengintepretasi nukilan-nukilan tersebut, acara makan siang ini akhirnya selesai. Sebagian besar peserta pulang dengan membawa sisa makan siang, yang jika ini sebuah perjalanan, entah mereka akan menuju kemana.

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.