Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Catatan Atas Kegiatan Observasi Pangan Liar di Lahan Terlantar

Catatan / Edible Weed / Kunjungan
  • 22 Mei 2017
  • Monika Swastyastu

Semangat ngasak untuk mengenal pangan liar rupanya tidak terhalang oleh teriknya matahari siang itu. Berada di lahan bekas kebun Kakao di belakang Gedung Jogja Expo Center, sebuah kelompok kecil terdiri dari enam belas orang menghalau semak, dahan ranting yang menjalar untuk meraba, membaui, dan mencicipi maman ungu, sintrong, timun liar, serta tumbuhan lain yang tumbuh liar.

Adalah Bakudapan, sebuah kelompok studi makanan yang menginisiasi acara “Please Eat Wildly; Observasi Pangan Liar di Lahan Terlantar” pada hari Kamis, 11 Mei 2017 lalu. Bersama dengan Pak Baning dan Luinambi Vesiano sebagai pematik diskusi, acara ini bertujuan untuk membicarakan gagasan mengenai “liar” yang memiliki banyak definisi serta tidak terbatas pada konteks tumbuhan saja. Lahan terlantar bekas kebun kakao di belakang Gedung Jogja Expo Center menjadi pilihan untuk menjajal kemungkinan pemanfaatan tanaman liar yang tumbuh berdampingan dengan pembangunan kota.

Ngasak

Acara dimulai dengan ngasak, sebuah istilah Jawa yang artinya adalah memungut dan mengumpulkan. Istilah tersebut sangat lekat dengan petani, dimana pasca panen padi biasanya ada bulir-bulir padi yang tertinggal saat panen, kemudian dikumpulkan oleh sanak saudara atau tetangga, sebagai bentuk simbolik relasi sosial diantara mereka. Kami menggunakan istilah ngasak karena kami tertarik dengan praktek memungut dan mengumpulkan sesuatu atas kepemilikan lahan orang lain atau atas lahan yang dianggap tak bertuan. Menurut kami, bentuk ngasak perlu untuk terus di uji coba, terutama disaat kepemilikan properti pribadi dan ruang publik menjadi salah satu isu yang terus dikontestasikan.

Saat kami survey sebelumnya di lahan belakang Gedung Jogja Expo Center yang berupa tanah lapang disertai tumbuhan semak rimbun di beberapa tempat, beberapa warga mengatakan bahwa lahan tersebut dimiliki oeh manajemen Jogja Expo Center. Meskipun begitu kami melihat beberapa warga memanfaatkan lahan tersebut untuk menggembala kambing mereka dengan bebas. Selebihnya lahan-lahan tersebut dipenuhi sampah, pecahan kaca, dan hal-hal yang dianggap tak bernilai lainnya. Asumsi kami, karena tidak dianggap bernilai secara ekonomis, maka kami dan orang-rang yang memanfaatkan lahan tersebut dapat dengan mudah mengambil apa yang ada disana. Entah bagaimana jika lahan itu kemudian dibangun dipagari dan dijadikan kompleks pertokoan, misalnya.

Dipandu oleh Pak Baning dan Ves, kelompok kecil yang terdiri dari enam belas orang memasuki rimbun pepohonan yang menyerupai hutan kecil dan mulai me-ngasak. Kelompok kecil itu sesekali berhenti, ketika menemukan sebuah tumbuhan liar yang dapat dijadikan bahan pangan. Beberapa tahap untuk observasi tanaman liar dilakukan, yakni melihat, meraba, mencium dan merasakan. Bagi kami, mempelajari tumbuhan melalui pengalaman langsung yang melibatkan indera tentu berbeda dengan membaca buku atau melalui gambar. Saat kami mecicipi langsung tumbuhan-tumbuhan itu, tak jarang muncul dari mulut peserta komentar-komentar tidak percaya bahwa dandelion, putri malu, dapat diolah menjadi bahan pangan. Pak Baning tak henti menjelaskan beberapa tanaman yang mereka temui seperti : daun lamtoro muda, patikan kebo, maman ungu, randu dst.

Meskipun terlihat mudah seakan-akan semua tanaman liar dapat dimakan, namun Ves mengatakan bahwa diperlukan pengetahuan sebelum mencoba pangan liar. Tidak semua tumbuhan liar bisa dikonsumsi secara langsung. Ada yang membutuhkan proses sebelumnya. Seperti jelatang yang harus direbus lebih dahulu sebelum diolah, agar tidak menimbulkan gatal-gatal. Pengetahuan tentang pangan liar dapat membantu untuk memilah tumbuhan yang bisa dikonsumsi dan yang tidak.

Yang liar dan yang tidak

Di antara semak-semak yang tumbuh menjulang, nampak beberapa pohon pepaya tumbuh menggerombol. Melihat pepaya yang tumbuh liar dengan sendirinya, muncul pertanyaan apakah pepaya tersebut termasuk pangan liar. Diskusi kemudian mengarah kepada kategorisasi pangan liar. Menurut Pak Baning, sebuah tumbuhan disebut sebagai pangan liar ketika tanaman itu tidak masuk ke dalam wilayah domestikasi. Sehingga meskipun pepaya tersebut tumbuh liar, namun dalam konteks kebudayaan pangan kita pepaya bukanlah tumbuhan yang dianggap liar. Pepaya termasuk tumbuhan yang dibudidaya dan membutuhkan campur tangan manusia. Tentunya klasifikasi tentang yang liar dan yang tidak bukanlah sesuatu yang saklek, tapi lebih bersifat cair. Ketika tumbuhan moringga/kelor—yang kini telah menjadi trend sebagai salah satu obat herbal—dibudidaya maka bisa pula ia tidak lagi menjadi pangan liar.

Meskipun terdengar seperti mengikuti trend pangan organik, pangan liar bukanlah sesuatu hal yang baru. Masyarakat telah mengenal pangan liar sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan, terutama saat menghadapi paceklik. Pak Baning bercerita bahwa masyarakat kita sebenarnya menghadapi siklus tahunan paceklik. Seperti di Kulon Progo 3 tahun sekali, di Gunung Kidul 2 tahun sekali, dan di Sleman 10 tahun sekali. Dulu, pangan liar menjadi tumpuan di masa masa sulit ketika padi, jagung atau tanaman lain sulit untuk tumbuh. Kebutuhan pangan mereka seperti karbohidrat, serat dan protein dapat terpenuhi lewat konsumsi pangan liar.

“Semakin sebuah daerah terpinggirkan dari akses sumber daya yang memadai maka pengetahuan mereka tentang pangan liar biasanya lebih beragam” ujar Pak Baning. Sebagai contoh lanjutan, Pak Baning menjelaskan bahwa Kulon progo dan Gunung Kidul lebih kaya akan jenis umbi-umbian serta cara pengolahannya dari pada Sleman. Hal tersebut dikarenakan karena masyarakat di Kulon Progo dan Gunung Kidul harus bersiap-siap ketika menghadapai paceklik. Mereka harus mencari alternatif pangan yang tersedia sepanjang tahun. Sehingga mereka memanfaatkan pangan liar semaksimal mungkin. Disisi lain, Sleman memiliki akses sumber daya alam seperti air yang melimpah, tanah yang subur, sehingga mereka telah tercukupi kebutuhan pangannya, bahkan lebih berlimpah.

Ketika kemudian pangan berlimpah dan menjadi surplus, muncul istilah ‘snack’ yang menurut Pak Baning merupakan sebuah strategi pangan untuk mengolah sisa. Di daerah Sleman, snack yang paling banyak dikenal ialah yang berbahan ketan, dan lebih jarang umbi-umbian. Sedangkan di Kulon Progo dan Gunung Kidul lebih familiar dengan olahan snack dari umbi-umbian seperti geplak, gethuk, tiwul, dan gatot. “Artinya, apa yang hadir di meja makan itu selalu terhubung dengan apa yang mereka tanam, atau apa yang tersedia” ujar Pak Baning. Mirisnya, kini masyarakat tidak lagi merasakan paceklik, karena pasar selalu menyediakan segala kebutuhuan. Sehingga secara tidak langsung apa yang kita konsumsi hari ini tergantung pada bahan pangan yang disediakan oleh pasar. Dapat dibayangkan, dari ratusan jenis bahan pangan yang hadir di meja makan, dalam setiap tahunnya dapat menipis menjadi beberapa jenis saja.

Mistifikasi : Tantangan Pangan Liar

Membicarakan pangan liar tidak bisa lepas dari sejarah pangan dunia. Diskusi kemudian membahas kemunculan pertanian industri pada tahun 1970, yang digadang-gadang dapat menyelesaikan persoalan kelaparan lebih dari satu milyar orang. Munculah kemudian revolusi hijau yang disebut dapat menjadi solusi. Namun hingga hampir 5 dekade kemudian pada tahun 2010 presentase kelaparan tidak mengalami penurunan. Artinya pertanian industrial telah gagal menjadi solusi. Pertanian organik kemudian muncul seakan-akan menjadi penyelamat bagi lingkungan dan permasalahan pangan.

Persoalan kemudian, ketika pertanian organik menjadi komoditas—dengan embel-embel organiknya seakan-akan mengamini harga bahan pangan menjadi mahal—akses menjadi terbatas. Ekslusifitas terbentuk. Tidak semua orang kemudian bisa mengakses makanan organik. Pangan organik kemudian seakan-akan hanya menjadi konsumsi kelas menengah keatas. Sehingga jelas, ketika pangan organik menjadi trend dan komoditas, maka dia menjadi bisnis semata dan kehilangan tujuannya sebagai penyelamat persoalan pangan.

Sebagai counter culture, atau katakanlah sebagai alternatif, muncul (kembali) gagasan mengenai pangan liar. Menurut Pak Baning, gagasan awalnya adalah keterbukaan akses terhadap pangan, sehingga dapat diakses oleh siapa saja dengan harga yang lebih murah. “Karena pada dasarnya pangan liar memenuhi 3 aspek dalam ketahanan/ keamanan pangan yakni ketersediaan, keterbukaan akses dan memiliki nutrisi yang memadai” ujar pak Baning. Sehingga setiap lapisan masyarakat dan komunitas dapat mengakses pangan liar tanpa terbentur pada ekslusifitas kelas-kelas tertentu.

Pangan liar tentunya tidak terlepas dari tantangan tersendiri. Pak Baning memaparkan salah satu tantangan dari pangan liar ialah mistifikasi. Ketidakcermatan dalam mengkampanyekan pangan liar dapat berujung kepada mistifikasi. Misalnya saja dengan yang terjadi pada tanaman moringa/ kelor saat ini. Kelor dikampanyekan dapat menjadi obat herbal yang sangat ampuh dalam menyembuhkan penyakit. Orang kemudian berbondong-bondong, termasuk produsen dan konsumen, meng-trendkan kelor sebagai obat herbal yang dibalut dengan narasi mistifikasi. Namun apakah kemudian konsumen benar-benar merasakan kasiatnya atau itu adalah sugesti dari narasi. Jika demikian, tanaman-tananaman lain dapat pula termajinalkan karena tidak memiliki mitologi yang menjual meskipun memiliki kasiat yang sama. “Cara yang baik menurut saya, bagaimana melihat pangan liar sebagai bahan pangan pada umumnya, yang bisa diakses dengan saiapa saja dengan mudah dan menjadi keseharian. Kegagalan teman-teman LSM dan negara ini menurut saya terlalu menghasilkan banyak ritus, tapi gagal menjadi habitus” ujar Pak Baning.

Diskusi siang itu ditutup dengan makan siang bersama diatas daun pisang. Berlaukkan tanaman-tanaman hasil me-ngasak bersama yang diolah dengan bumbu plecing, dan fuyunghai. Ditemani dengan nasi jagung manis, tak lupa pula dengan roti jala kelor sebagai pencuci mulut. Tentunya, sebagai sebuah wacana yang muncul kembali dari pegetahuan masyarakat, pangan liar memiliki banyak celah yang belum ditelisik. Meskipun demikian kecermatan diperlukan sehingga para pelaku tidak terjebak pada eksotisasi dan mistifikasi yang dapat menjebak dalam komodifikasi dan trend pangan yang selalu timbul tenggelam tiada henti. Semoga ritus pangan liar ini dapat menjadi habitus bersama.


Catatan:
Tulisan ini dibuat berdasarkan diskusi bersama “Please Eat Wildly : Observasi Pangan Liar di lahan Terlantar”. Sampai jumpa di diskusi Please Eat Wildly selanjutnya.

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.