Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Bubur dengan Orek Tempe dan Acar Labu

Foodemic / Resep
  • 22 April 2020
  • Prinka Saraswati
Ilustrasi oleh Shilfina Putri

Tagar swakarantina, stay at home, ataupun karantina wilayah tidak membuat saya takut untuk memasak sendiri, karena saya memang hobi masak, (seringnya) vegan, dan tinggal di salah satu area paling mahal di Bali, area pusat Ubud. Yang saya takutkan sebagai copywriter yang bekerja lepasan cuma kalau nggak bisa makan dan bayar kos. Dari Maret lalu, saya sudah persiapan untuk mulai menghemat. Pertimbangan saya untuk memasak adalah usia bahan, karena saya tidak punya kulkas dan masa swakarantina membuat saya tidak bisa setiap hari ke pasar. Sehingga, keadaan ini mengerucutkan menu saya menjadi berbasis fermentasi dan juga hemat.

Kebetulan, saya memang suka mainan bakteri. Bagi saya proses acar dan fermentasi sangat menarik karena bisa membuka ruang bagi bakteri untuk hidup dan membantu memperpanjang usia bahan pangan. Dari segi kesehatan, katanya bakteri dalam acar dan fermentasi dapat membantu
memperlancar sistem imun dan pencernaan. Kalau saya sendiri, rasa makanan yang sudah diacar atau difermentasi memiliki karakter tersendiri. Kita bisa merasakan banyak lapis rasa dalam satu bahan, tidak hanya kecut-kecut asam.

Resep di bawah ini secara total butuh waktu minimal 3 hari. Tetapi, Orek Tempe dan Acar Labunya dapat disimpan hingga satu bulan (atau acarnya kalau mau lebih lama ya boleh). Jadi, bisa disajikan dengan mie, nasi, atau beragam sajian salad, seperti urap/lawar, pecel dan gado-gado. Untuk pemilihan karbohidrat sendiri di sini, saya sengaja pilih bubur, karena beras yang mengembang adalah pilihan tepat untuk menghemat, juga tajinnya yang gurih dengan aroma ketumbar membuat perut dan hati terasa nyaman. Asamnya Labu yang sudah terfermentasi bertemu dengan gurih lembutnya bubur memang sudah cukup unik, tetapi disandingkan dengan manisnya Orek Tempe yang semerbak dengan aroma daun jeruk dan jinten, duh… marem.

Resep Bubur (untuk 2 – 3 kali makan)

  • 100-150 gram beras
  • 500 – 600 ml air
  • Sejumput besar Ketumbar (geprek sedikit) / 1 sdt munjung bubuk ketumbar
  • 3 Siung Bawang Putih
  • 2sdm kecap asin
  • 1sdm cuka dari acar labu (resep ada di bawah)
  • Daun bawang (opsional – biar warnanya cantik waktu bersanding dengan Orek Tempe dan Acar Labu)

Cara Membuat:

  • Panaskan panci dengan api medium, sambil menunggu geprek ketumbar dan cincang bawang putih.
  • Saat mulai panas, kecilkan api, dan masukkan ketumbar beserta cincangan bawang putih. Jaga agar jangan sampai gosong.
  • Masak hingga harum, lalu masukkan beras dan air.
  • Tuang kecap asin dan juga cuka.
  • Diamkan hingga matang dalam api medium (atau kalau pakai rice cooker, tunggu saja sampai matang).
  • Sajikan dengan 1 atau 2 sdm Orek Tempe dan beberapa potong labu dari acar labu.
  • Hias dengan rajangan tipis daun bawang

Resep Orek Tempe

  • 2 papan tempe (pilih yang padat/matang – supaya tidak ambyar saat dipotong kecil-kecil).
  • 100 ml air asam jawa (rebus air dan asam 3 ruas ibu jari hingga air berubah kecoklatan).
  • 2 bongkahan bulat gula jawa.
  • Minyak Kelapa (banyak, mungkin sekitar 200 – 250ml kalau saya. Saya pakai Minyak Kelapa biasa – kalau mau ganti minyak yang lain ya boleh – asal bukan minyak gas).
  • Sejumput garam.
  • Sejumput jinten (opsional saja – kalau saya memang suka sekali rasa dan aroma jinten).
  • Bumbu ulek :
  • 5 siung bawang merah besar
  • 3 siung bawang putih
  • 5 cabe rawit
  • laos 2 ruas ibu jari
  • 2 daun jeruk

Cara Membuat:

  • Potong tempe kecil-kecil supaya cepat matang.
  • Parut gula jawa atau iris tipis-tipis.
  • Cincang seluruh bahan kecuali gula jawa dan laos, saat mencincang daun jeruk – jangan lupa buang bagian tulang daun.
  • Ulek kasar bahan bumbu yang sudah dicincang (kalau ndak ada ulekan, boleh pakai bagian bawah botol atau entong, diulek di mangkok, biar ndak muncrat).
  • Masukkan kira-kira 200ml minyak dan panaskan.
  • Masukkan potongan tempe dan goreng deep-fried (terendam seluruhnya di dalam minyak) hingga matang.
  • Saat matang, tiriskan tempe.
  • Panaskan wajan dan beri sedikit saja minyak.
  • Tumis bumbu ulek hingga harum, masukkan laos, parutan/irisan gula jawa, sejumput garam, jinten, dan 100ml / 4sdm air asam jawa.
  • Masak hingga mengental.
  • Saat mengental, matikan api, lalu masukkan tempe yang sudah digoreng sebelumnya (ingat, diproses ini, apinya mati).
  • Sembari api mati, aduk hingga bumbu merata, jika terlalu lengket, tuang 1 sdm air asam. Jangan masukkan air asam terlalu banyak – nanti jadinya tumisan.
  • Aduk terus hingga merata. Saat bumbu sudah merata, boleh dimasukkan ke wadah.
  • Orek Tempe dapat disimpan hingga 1 bulan.

Resep Acar Labu

  • Labu (Seperempat dari seluruh labu kuning)
  • Bahan larutan garam dan cuka
  • 1sdm garam
  • 2sdm madu / irisan gula jawa (kalau pakai bongkahan kecil, ya pakai 1)
  • 400ml air
  • 200ml cuka apel
  • 5 siung bawang putih (cincang tipis)
  • Alat: Toples bersih untuk fermentasi

Cara Membuat:

  • Potong labu hingga cukup kecil (seperti ukuran biasanya di Kolak Labu).
  • Masukkan garam, madu / gula jawa, cuka apel, dan air. Masak hingga madu / gula jawa larut. Dinginkan
  • Masukkan potongan labu ke dalam toples, tuang larutan garam dan cuka yang sudah dingin, dan terakhir, masukkan cincangan bawang putih.
  • Simpan dalam ruangan dan tidak terkena cahaya langsung selama paling tidak 3 hari. Acar akan siap saat gelembung – gelembung udara mulai menampakkan diri, tanda bakteri sudah hidup! Jika kurang asam, boleh diperpanjang masa fermentasinya. Jika merasa sudah cukup, bisa dimasukkan ke kulkas untuk memberhentikan laju fermentasi.
    Selamat meramu, meramut, dan menikmati!

Artikel Terkait

Related Articles

Ilustrasi oleh : Shilfina Putri
  • Proyek

Nasi Bakar Isi Ayam Suwir dan Teri

  • Foodemic
  • /Resep
14 Oktober 2020
Ilustrasi oleh Shilfina Putri
  • Proyek

Lawar Pakis dan Ikan Asin Istimewa

  • Foodemic
  • /Resep
25 Juni 2020
Ilustrasi oleh Shilfina Putri
  • Proyek

Rujak Mie Pengurai Kepenatan

  • Foodemic
  • /Resep
24 Juni 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.