Pekan Membaca Bakudapan: Resistance and Household Food Consumption in Santiago de Cuba

Topik mengenai resistensi sudah sering kami diskusikan dalam Bakudapan, terutama saat kami memulai dengan kegiatan kami “Independent Food”. Misalnya, kami pernah mendiskusikan apakah pasar-pasar alternatif seperti Kamisan, adalah bentuk resistensi dari pasar-pasar yang konvensional yang memperjual belikan komoditas pangan. Lalu, saat saya memilih bacaan mengenai bentuk resistensi terhadap kebijakan pangan di Kuba, saya melihat bentuk-bentuk lain dari resistensi yang terjadi. Menariknya di Kuba, bentuk resistensi yang mereka lakukan mungkin terlihat “jinak” dibandingkan dengan bentuk seperti demontrasi atau boikot terhadap suatu produk pangan.. Kemudian melalui diskusi bacaan ini saya melihat bahwa di Indonesia sendiri juga ada bentuk-bentuk resistensi semacam ini, yang seolah tidak dianggap sebagai bentuk resistensi terhadap kebijakan pangan. Sebelum saya terlalu jauh menuliskan tentang resistensi dengan konteks Indonesia, saya akan menceritakan mengenai yang terjadi di Kuba.

Kendali Penuh Pemerintah

Kuba sebagai negara sosialis, di mana pemerintah memegang kekuasaan penuh untuk mengatur masyarakatnya, termasuk di dalamnya adalah pertanian dan distribusi pangan. Dari segi pertanian, pemerintah membuat lembaga yang bernama Unidad Basico de Produccion Cooperative (basic units of cooperative production, UBPCs), di mana salah satu peraturannya adalah memberikan hak kepemilikan tanah dengan jangka waktu tertentu yang relatif lama kepada para petani.[i] Kepemilikan akan tanah yang sepenuhnya milik petani ini kemudian memberikan tanggung jawab kepada mereka untuk memenuhi kuota hasil pertanian untuk kepentingan ekspor. Hasil pertanian yang menjadi komoditas utama ekspor, terutama ke Amerika Serikat; adalah tebu, sereal, sayuran, buah, dan umbi-umbian.

Saya sendiri saat membayangkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Kuba berfikir bahwa cara pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Kuba bisa dibilang sangat mandiri — berdasarkan kebijakan pemerintah akan kepemilikan lahan secara utuh oleh para petani dan juga dapat melakukan ekspor. Namun, kenyataannya tidak demikian. Di dalam tulisan ternyata dijelaskan bahwa Kuba sendiri ternyata masih mengimpor bahan makanan cukup banyak, hampir 84%; seperti minyak kedelai, kacang polong kering, kacang-kacangan, beras, susu bubuk, dan daging unggas. Negara yang menjadi sumber impor terbesar Kuba adalah Amerika Serikat dan juga Vietnam untuk beras. [ii]

Selain kebijakan pemerintah dari segi pertanian, demi menciptakan pembagian pangan yang merata kepada seluruh lapisan masyarakat dan tidak terjadi eksploitasi serta pengambilan kepentingan untuk pihak-pihak tertentu, maka pemerintah akan menjual secara langsung kepada masyarakat. Sistem ini pertama kali dilakukan pada tahun 1962, disebut dengan rationing/la libreta atau penjatahan. Setiap keluarga di Kuba akan mendapatkan jatah bahan pangan yang sama; seperti 10kg beras, 2kg gula merah, 250ml minyak goreng, 5 telur, satu bungkus kopi, 2kg daging (biasanya ayam) setiap per 10 hari, roti setiap harinya, sebungkus garam setiap tiga bulan, dan susu untuk perempuan hamil serta anak-anak usia dibawah tujuh tahun. Kebijakan akan penjatahan ini berlangsung sampai sekarang, setidaknya melalui penemuan artikel yang saya lakukan, sampai tahun 2015 mereka masih melakukannya, dan pada tahun itu pula mereka merayakan 50 tahun sistem penjatahan di Kuba.[iii]

Permasalahan dengan Penjatahan

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai berbagai bentuk resistensi, saya tertarik untuk membahas sedikit mengenai kebijakan penjatahan di Kuba. Seperti yang sudah saya sebutkan sedikit sebelumnya bahwa penjatahan, berdasar temuan saya masih berlangsung sampai tahun 2015. Saya tidak menyangka sistem seperti ini akan bertahan lama, sebab terdapat beberapa kekurangan yang cukup krusial yang ditimbulkan oleh kebijakan ini. Pertama adalah mengenai kecukupan, bahwa penjatahan ini tidak benar-benar mencukupi kebutuhan keluarga-keluarga di Kuba. Setiap bulannya mereka akan mengalami kekurangan bahan pangan. Bahan pangan yang dibagikan melalui penjatahan rata-rata akan bertahan kurang lebih hanya 10 hari,[iv] sehingga sebelum waktu penjatahan berikutnya, mereka sudah kehabisan bahan pangan.

Pencarian kebutuhan pangan secara mandiri dapat dikatakan sulit, terutama dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Akses masyarakat terhadap kebutuhan pangan terbatas dan hanya tersedia di la libreta. Saat masyarakat Kuba ingin membeli kebutuhan pangan yag lain mereka akan pergi ke “pasar gelap” atau pasar yang tidak dikelola atau tidak memiliki ijin dari pemerintah. Karena pasar ini bekerja tanpa campur tangan pemerintah ditengah situasi terbatas, menjadikan pelaku pasar bekerja dengan mekanisme mereka yang mencari untung sebesar-besarnya sehingga menjadikan harga barang-barang cukup tinggi. Misalnya untuk susu bubuk, akan dihargai 500 peso/$21 — biaya ini setara dengan 1/3 dari gaji setiap bulan rata-rata para pekerja ($12-$14/per bulan). Permasalahan mengenai harga ini ditambah lagi dengan perbedaan mata uang yang digunakan oleh para turis (CUP – Cuban Peso) dengan yang biasa digunakan oleh masyarakat Kuba untuk membeli kebutuhan pangan di la libreta, yaitu CUC (Cuban Convertible Peso). Saat mereka membutuhkan pangan tambahan mereka harus menggunakan mata uang yang digunakan turis, yaitu CUP, yang bisa mereka dapatkan dengan melakukan kerja tambahan sebagai supir taksi atau pegawai hotel — pekerjaan di mana mereka akan sering berinteraksi dengan para turis.[v]

Isu kedua yang muncul terkait penjatahan adalah mengenai tindakan kriminal. Seperti yang sudah saya sebutkan mengenai pasar gelap, konsekuensi dari kegiatan ini yang diterapkan pemerintah kuba adalah hukuman penjara. Salah satu kasus yang terjadi misalnya saat seseorang menyelundupkan telur ke pasar gelap, ia dikenakan sanksi penjara selama 15 tahun. Tidak hanya itu, penjatahan yang dilakukan pemerintah untuk daging yang hanya berupa unggasa dan babi, menyebabkan terjadi tindakan pemotongan sapi secara ilegal, yaitu sapi-sapi yang dimiliki oleh peternakanan individu. Pemotongan sapi secara ilegal tentu bermasalah mulai dari tidak terjaminnya kesehatan sapi, higienitas penyembelihan yang tidak memiliki standar, dan harga yang tidak terkendali.

Munculnya Resistensi

Pilihan akan pangan masyarakat Kuba sangat terbatas dengan adanya sistem penjatahan, walaupun mereka juga bisa pergi ke restoran (paladares), tetapi harga makanan disana tergolong mahal — hanya turis yang biasa datang serta menjadi pelanggan di restoran. Situasi seperti ini kemudian memunculkan adanya tindakan-tindakan perlawanan, yang dalam tulisan Garth, disebutnya sebagai bentuk resistensi. Garth membagi penjelasannya mengenai resistensi yang dilakukan masyarakat Kuba dalam tiga tipe; komplain, rumor, dan penolakan mengonsumsi.

Dalam tulisan Garth, penyebab komplain lebih ditekankan soal kebijakan pemerintah yang menentukan bahan pangan yang disediakan, yang ternyata tidak sesuai dengan diet masyarakat Kuba. Demi menekan biaya dari segi konsumsi susu, maka banyak produk yang menggunakan susu digantikan dengan kedelai. Sedangkan kedelai, menurut keterangan yang dituliskan Garth, tidak cocok dengan suhu di Kuba yang panas, sebab akan membuat tubuh mereka menjadi semakin panas. Selain itu sering terjadi complain dalam hal rasa, sebab rasa yang dimiliki terlalu asing bagi banyak orang, terutama anak-anak.[vi] Padahal akses pangan untuk suatu masyarakat, bukan hanya tentang ketersediaan bahan, tapi juga menyangkut sisi budaya dimana kebiasaan, pelarangan/ tidaknya, rasa dan kegemaran menjadi unsur-unsur yang perlu diperhatikan. Komplain lain yang muncul adalah mengenai variasi jenis buah dan sayuran — di mana jumlahnya semakin berkurang di toko untuk penjatahan. Seringkali komplain yang dilakukan masyarakat Kuba dimulai dari keluarga dan lingkaran tetangga yang kemudian akan meluas. Salah satu momen untuk penyebaran informasi adalah saat mereka mengantri di toko penjatahan.

Bentuk resistensi berikutnya adalah melalui rumor, yang seringkali dilakukan secara terselubung. Rumor yang disebutkan Garth pada tulisannya, yang pertama adalah mengenai ketidakpercayaan akan daging yang disediakan pemerintah. Isu ini dikembangkan dengan membuat rumor bahwa daging yang disediakan oleh pemerintah merupakan daging tikus. Rumor ini kemudian semakin dikembangkan dan menghubungkannya dengan restoran/paladares yang dimiliki pemerintah. Selain permasalahan daging, toko roti milik pemerintah juga dijadikan sasaran rumor . Pada toko roti ini, rumor yang disebarkan adalah ditemukannya kotoran tikus, kecoak, dan hama. Selain pada toko rotinya, rumor yang berkembang bahwa kotoran tikus, kecoak, dan hama, juga ditemukan bahwa tepung yang dijual untuk penjatahan.[vii] Dalam penyebaran rumor ini tidak penting mengenai data yang ditampilkan benar atau tidak, yang penting adalah bagaimana ini bisa tersebar dan menunjukan ketidakpuasan mereka terhadap sistem pangan pemerintah.

Resistensi terakhir yang cukup verbal adalah penolakan untuk mengonsumsi produk-produk tertentu, khususnya yang diproduksi oleh pemerintah. Penolakan untuk mengonsumsi suatu produk dapat dilakukan karena masyarakat Kuba merasa memiki kuasa atas daya beli, walaupun dalam hal akses untuk kebutuhan pangan terbatas. Misalnya dalam konsumsi bir, mereka memilih untuk tidak minum sama sekali atau meminjam uang untuk membeli bir yang lebih mahal, dibanding membeli dengan harga murah yang diproduksi pemerintah yang menurut mereka rasanya tidak enak. Selain itu penolakan juga terjadi di institusi pemerintah seperti kantin di kantor-kantor dan rumah sakit. Penolakan yang mereka lakukan dengan menunjukan secara terbuka bahwa makanan pemerintah sangat tidak berselera dan mereka membawa sendiri makanan dari rumah.[viii]

Bagi Garth, memang bentuk resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Kuba bukanlah hal yang spesial dan bukan tidak pernah terjadi sebelumnya, tetapi yang ditekankan adalah kondisi Kuba di mana protes secara langsung merupakan tindakan terlarang. Melihat kondisi penjatahan bahan pangan yang dilakukan pemerintah, saya sendiri merasa sangat wajar muncul perlawanan dari masyarakat dengan berbagai bentuk. Perlawanan yang digambarkan diatas memang terlihat penting tidak penting dan terlihat remeh temeh, tetapi yang menjadi persoalan mungkin karena yang mereka lawan pemerintah. Dengan melakukan sembunyi-sembunyi seperti pasar gelap saja akan dihukum penjara, apalagi secara terang-terangan. Hal menariknya adalah melihat strategi dan tarik ulur warga yang terjadi lewat aksi-aksi yang jauh dari kesan heroik. Kekurangannya, dalam tulisan ini tidak jelaskan oleh Garth sejauh mana strategi-strategi ini berhasil mengubah kebijakan pangan di Kuba.

Sedangkan jika melihat dengan konteks Indonesia, meskipun kebijakan pangan diatur pemerintah, tetapi akses terhadapnya dipegang oleh banyak sektor. Jika membandingkan dengan bentuk resisten yang terjadi di Kuba, mungkin hal senada yang terjadi di sini adalah ketika para ibu protes saat kenaikan harga cabai. Bentuk protesnya pun bisa bermacam-macam, mulai dari menjual harga gorengan sama mahalnya dengan cabai rawit pendamping makan gorengan, hingga demonstrasi terbuka terhadap pemerintah. Selain itu contoh lain bentuk protes juga terlihat pada warga miskin penerima program Raskin. Selain mereka protes secara kolektif atas kualitas beras yang buruk, mereka juga membuat mekanisme membagi rata beras jatah terhadap warga lain yang tidak menerima jatah. Hal ini dilakukan sebagian besar demi alasan solidaritas serta meminimalisir konflik antar mereka.

Satu hal yang dapat kita pelajari dari bentuk-bentuk resistensi ini adalah selalu dilakukan oleh warga dengan kondisi ekonomi pas-pasan atau kelas menengah kebawah. Atau biasa disebut dengan strategi akar rumput alias wong cilik. Strategi yang dilakukan oleh orang-orang yang dinilai tidak berdaya dalam mengubah situasi. Baik tidak berdaya mengahdapi pemerintah maupun sistem pangan global yang berpihak pada korporat maupun tengkulak. Menariknya, selain berupa komplain dan nggerutu, ada banyak hal pengetahuan yang sesungguhnya bisa kita pelajari dari bentuk resistensi ini. Mulai dari pengorganisiran mandiri, bagaimana mengolah beras raskin yang buruk kualitasnya dengan menggunakan jeruk nipis saat mencuci, atau menukarnya dipasar dengan kualitas baik walaupun terjadi penyusutan, (di mana beras kualitas buruk ini akan diolah menjadi lempeng, sejenis krupuk beras). Saya rasa masih banyak bentuk siasat lain yang belum banyak kita ketahui, karena mungkin tidak dianggap sebagai pengetahuan akan mengolah pangan, di mana merupakan bentuk “ketahanan pangan” sesungguhnya. Seperti beberapa waktu lalu saat bawang putih harganya melunjak, dan seorang menteri menghimbau untuk mengurangi konsumsi bawang putih. Apakah semudah itu? Mendengar hal ini memang membuat gemas, tetapi memiliki siasat yang baik untuk mengakali dalam hal konsumsi memang penting dan juga terus marah-marah serta komplain merupakan siasat yang patut diteruskan sebagai bentuk perlawanan.

Catatan Kaki:

[i] Garth, Hannah. Resistance and Household Food Consumption in Santiago de Cuba, Food Activism: Agency, Democracy, and Economy. London: Bloomsbury. Halaman 62.

[ii] ibid, halaman 62.

[iii] https://www.theguardian.com/world/2015/apr/24/cubans-food-struggle-rations-consuming-obsession

[iv] http://www.miamiherald.com/news/nation-world/world/americas/article1953193.html

[v] https://www.theguardian.com/world/2015/apr/24/cubans-food-struggle-rations-consuming-obsession

[vi] Garth, Hannah, op-cit, halaman 64

[vii] ibid, halaman 65

[viii] ibid, halaman 66

Khairunnisa, 2017