Pekan Membaca Bakudapan : Memahami Konteks Kapitalisme di Balik Rantai Pangan Global

Eliesta Handitya

Konteks pangan tidak dapat dilepaskan dari kapitalisme. Sebab, sistem pangan  merupakan bagian dari kapitalisme itu sendiri. Begitulah kira-kira argumentasi mula yang ditawarkan oleh Eric Holt-Gimenez pada awal pembahasan mengenai sistem pangan dunia, kelindannya dengan kapitalisme. Buku yang ia juduli “A foodie’s Guide to Capitalism: Understanding the Political Economy of What We Eat”, berusaha mengajak kita mengkritisi apa yang kita konsumsi, terutama makanan sebagai pemenuhan kebutuhan fundamental manusia. Lebih spesifik lagi, Holt-Gimenez mengajak kita memahami bagaimana konteks ekonomi politik mempengaruhi rantai pangan global. Judul buku ini pun buat saya cukup menjentik, “Foodie’s Guide to Capitalism”, seolah mengajak kita menelusuri gang-gang problema di balik sistem dan rantai pangan berwatak kapitalistik.

Melalui buku ini, Holt-Gimenez tidak sedang berusaha menggurui dan membawa konteks kapitalisme dalam sebuah kerangka akademis, ideologis, atau bahkan ndakik (buzzwords). Kapitalisme yang selama ini seolah hanya menjadi “bahasa akademis” yang kelihatannya absen relasinya dengan peristiwa sehari-hari kita, dibawakan oleh Holt-Gimenez melalui pengejawantahan kisah yang lebih akrab. Alih-alih ndakik, Holt-Gimenez mencoba untuk memberi penekanan “kapitalisme” sebagai sebuah fenomena yang secara nyata mengitari kehidupan sehari-hari, mempengaruhi hampir seluruh jengkal kehidupan kita. Ia membaca kapitalisme sebagai dinamika sosial yang lekat dengan keseharian. Sebab, nyatanya, kita sebetulnya tak bisa menghindarkan diri dari sistem industri (nan kapitalis) dalam proses konsumsi pangan sehari-hari. Kudapan instan, buah segar impor hasil suntikan gen modifikasi (GMO), sayur mayur dipanen dengan sokongan pupuk kimia, bahkan air kemasan pabrikan misalnya, seluruhnya terhubung oleh industri pangan yang kapitalistik. Sederhananya, buku ini berusaha mengajak kita mempertanyakan bagaimana selama ini kapitalisme mempengaruhi rerantai sistem perputaran sistem pangan di dunia. 

Saya akan mendiskusikan secuil bahasan dalam buku ini, yakni dalam bab pertama berjudul “How Our Capitalist Food System Came to Be”, membicarakan sejarah dari munculnya sistem pangan serba kapitalistik seperti yang masih terjadi hingga saat ini. Pertama-tama Holt-Gimenez mengajak kita menengok sejarah pertanian bernuansa kapitalistik yang dimulai di Kepulauan Inggris pada masa awal Revolusi Industri. Pada masa itu, terjadi privatisasi lahan oleh pemilik tanah yang kaya di wilayah pedesaan Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia. Perampasan tanah ini disahkan melalui kebijakan legal bernama “enclosure” yang ditetapkan oleh Parlemen Inggris pada abad ke-18, tepatnya pada tahun 1812. Kebijakan enclosure ini lantas memberikan kewenangan pada pemilik lahan kaya untuk mengakuisisi lahan-lahan milik petani kecil. Mulai saat itulah, kesenjangan ekonomi mulai secara masif terjadi antara pemilik lahan yang kaya, dengan petani yang miskin. Ketimpangan terjadi karena dalam salah satu poin kebijakan, petani miskin yang tidak memiliki sertifikat dicopot kepemilikannya terhadap lahan. Sementara, sertifikat tanah biasanya hanya bisa didapatkan pemilik lahan (landowners) yang kaya.

Holt-Gimenez kemudian melihat bagaimana sistem pangan kapitalistik berlanjut di era Merkantilisme— yakni masa ketika perdagangan internasional yang bertujuan menggandakan aset dan modal, sekira abad 16 di Eropa, secara masif dimulai. Di masa ini, penjajakan orang-orang Eropa terhadap “dunia baru”, membawa semangat untuk mencari rempah-rempah, daerah kekuasaan baru, dan menyebarkan agama Kristiani (Gold, Glory, Gospel), menandai era kolonialisme. Selain itu, Holt-Gimenez turut membawa bagaimana perbudakan dalam kolonialisme dimulai, yakni ketika ketika kebutuhan terhadap pangan— tidak hanya beras, tetapi juga teh, kopi, gula, cokelat, dan kebutuhan akan berbagai rempah-rempah, seiring dengan pendudukan orang-orang Eropa di dataran Afrika, Amerika, dan Asia. Melalui kebutuhan yang masif terhadap terhadap pangan, terciptalah bentuk-bentuk eksploitasi dan penindasan, yakni ketika orang-orang “asli” dari wilayah yang dikolonisasi, diminta untuk memenuhi dan melayani kebutuhan orang-orang Eropa akan bahan pangan dan rempah-rempah. Baru di akhir abad ke-19, merkantilime, kolonialisme, dan industrialiasi semakin menguat, menjadi bentuk baru dari kapitalisme global yang semakin mengakar, menunjukkan cakar kekuatannya di seluruh dunia melalui neoliberalisme— sebut saja industri multinasional, atau organsisasi internasional misal FAO (Food and Agriculture Organization) yang mengatur standardisasi pangan dunia, salah satunya melalui kebijakan Revolusi Hijau yang dimulai sekira tahun 1960an.

Rezim pangan yang dilanggengkan semenjak era kolonial tersebut, jika kita amati lebih lanjut, masih dilanggengkan hingga saat ini. Berbagai komoditas pertanian seperti gula, kopi, gandum, beras, dan jagung— yang masih diperdagangkan hingga saat ini, jika dilihat-lihat, merupakan komoditas warisan di masa kolonial. Bahkan, penindasan yang dilakukan terhadap petani petani kecilnya pun masih pula dilanggengkan, kita lihat saja misalnya kasus eksploitasi pekerja anak di Pantai Gading, demi melayani kebutuhan cokelat di Eropa sana. Holt-Gimenez selanjutnya membahas bagaimana Revolusi Hijau (Green Revolution) yang berlangsung 1960-1990an, dimana pada masa itu, terjadi standardisasi bibit secara internasional, yang implikasinya malahan mematikan keragaman pangan dan bibit lokal. Sementara di Indonesia, program Revolusi Hijau yang dicanangkan pemerintah Orde Baru melalui standardisasi bibit, penggunaan pupuk kimia secara masif, hingga program swasembada beras yang berdampak pada penyeragaman bahan pangan di Indonesia, kemudian berdampak pada rendahnya biodiversitas pangan lokal di masa setelahnya.

Permasalahan soal rantai pangan dan kapitalisme, belum lagi sampai pada koda. Setelah menjajak sejarah, Holt Gimenez kemudian mengajak kita merefleksikan bagaimana sistem pangan kapitalistik yang dimulai dari eksploitasi di era kolonialisme, masih menjangkiti kita hingga saat ini. Jika menengok lebih jauh, seluruh sistem pangan di dunia saat ini dikuasai oleh rezim industri, dimonopoli oleh industri-industri semisal produk dari Monsanto, Syngenta, Bayer, Coca-Cola, Tesco, Carrefour, Walmart, dsb. Bahkan, bisa dikatakan, tujuh puluh persen pertanian di dunia saat ini telah dikuasai oleh industri, dengan sebagian besar lahan digarap oleh buruh tani yang tidak berdaulat atas tanah mereka sendiri. Holt-Gimenez menutup bab pertama dari buku ini dengan pernyataan reflekif, bahwasannya misi untuk memperbaiki sistem pangan yang “rusak”, merupakan terma yang kurang tepat, karena sesungguhnya, sistem pangan kita bukannya sedang rusak, ia malahan telah bekerja memenuhi kepentingan kapitalisme dengan semestinya. Sebuah fenomena yang tak terhindarkan, tetapi perlu terus kita pahami dan kritisi, terutama ketika kedaulatan pangan sudah nampaknya sulit diharapkan di tengah pertanian yang serba kapitalistik— yang mana rantai sejarah terbentuknya pun ternyata amat panjang.