Pekan Membaca Bakudapan #3: Kopi dan Budaya Kafe

Satu sore pada pertengahan April 2016, saya sengaja berkeliling Yogyakarta dengan naik sepeda motor untuk mencari angin segar. Melakukan semacam wisata kota dan mengambil rute melalui berbagai ruas jalan utama dan berbagai pusat keramaian yang ada di dalam kota. Satu hal yang mencuri perhatian saya adalah munculnya berbagai macam kafe dan kedai kopi di berbagai penjuru kota yang kemudian berfungsi sebagai tempat nongkrong yang senantiasa didatangi pengunjung setiap malam. Saya mengakhiri perjalanan sore itu dengan beristirahat di sebuah kedai kopi pada area utara kota Yogyakarta. Bertemu kawan dan mengobrol, kemudian saya menceritakan apa yang saya lihat sore itu, dan diamini oleh kawan saya dengan jawaban, “Iya kok, emang sekarang Jogja banyak kafe sama tempat ngopi.”

Obrolan itu pada akhirnya membuat saya memikirkan ulang apa yang telah sering saya lakukan selama ini. Ya, saya memang sering menyambangi berbagai kafe atau kedai kopi yang ada di berbagai titik di Yogyakarta, namun saya tidak pernah mempertanyakan kenapa orang datang ke kafe dan kenapa kedai kopi? Atau mungkin lebih dalam lagi kenapa kopi? Bukan jahe atau ronde atau sekoteng? Seketika saya mencoba memikirkan berbagai alasan orang untuk datang ke kafe atau kedai kopi. Tak ada kelegaan yang muncul, dan akhirnya saya mencoba mencari berbagai sumber literasi.

Melalui kesempatan yang ada, saya mencoba mendiskusikan ini bersama kawan-kawan dalam Pekan Membaca Bakudapan. Pada kesempatan ini, saya memilih sebuah bacaan dari Media-Culture Journal yang berjudul “Eat, Drink and Be Civil: Sociability and the Cafe”[1] yang ditulis oleh Emma Felton. Artikel ini membahas tentang tumbuh suburnya budaya kafe di Australia dan oleh penulisnya hal ini dianggap berkaitan erat dengan perkembangan kota dan masyarakat urban, penciptaan ruang publik yang mampu memberikan kenyamanan, serta sifat egalitarian yang mampu diciptakan sebuah kafe.

“Coffee changes people. Moreover it changes the way they interact with their friends, their fellow citizens and their community” (Ellis, 24).

Melalui kutipan di atas, Felton seakan ingin memberikan gambaran bagaimana kopi yang awal mulanya hanya sebuah minuman, mampu mengubah cara berinteraksi dan bersosialisasi seseorang atau sekelompok orang. Lebih jauh bagaimana kopi terkomodifikasi sedemikian rupa sehingga kemudian menjadi kanal yang menciptakan ruang-ruang bagi masyarakat untuk bersosialisasi dan semua orang bebas untuk mencari ruang kenyamanan mereka masing-masing. Kopi pun pada akhirnya telah bertransformasi menjadi sebuah ruang bagi publik yang umumnya berbentuk kafe atau kedai kopi.

Berbagai wacana dan narasi tentang kopi akan mudah kita jumpai hari ini, berbanding lurus dengan tumbuh suburnya berbagai kafe serta kedai kopi di berbagai penjuru kota. Sebagai seorang yang memperhatikan pertumbuhan kedai kopi dan kafe di kota Yogyakarta, saya sempat melakukan observasi singkat terhadap hal ini. Sebagian dari kedai kopi tersebut membawa misi memperkenalkan kopi lokal kepada para konsumen, yang dalam turunannya bisa membicarakan banyak hal, mulai dari rasa dan selera kopi hingga masalah sosial. Dalam diri saya kemudian muncul berbagai pertanyaan tentang hal ini. Benarkah ini memang untuk mendukung gerakan kopi lokal yang berujung pada kesejahteraan petani? Atau apakah kemunculan kedai-kedai kopi ini hanya sebuah tren semata yang mengikuti narasi perkembangan kota disertai juga dengan sebuah gerakan ekonomi baru yang disebut-sebut sebagai “the new middle class”?

Sedikit gambaran, Yogyakarta tumbuh dan berkembang secara dinamis menjadi salah satu kota dengan berbagai keberagaman di dalamnya, mulai dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, suku dan budaya, agama dan kelas sosial. Lebih banyak orang yang datang daripada yang pergi dari Yogyakarta sehingga membuat komposisi kota ini semakin beragam. Bangunan-bangunan pendukung konsumerisme seperti mal, hotel, kafe, restoran dan tempat hiburan pun juga semakin marak bermunculan beberapa tahun terakhir ini. Semenjak saya menjejakkan kaki di Yogyakarta pada pertengahan 2005 dan tinggal di dalamnya hingga detik ini, saya menyaksikan bahwa dinamika perkembangan ruang urban Yogyakarta sangatlah pesat, yang hadir di tengah masyarakat dalam segala macam bentuk, cara, dan berbagai kompleksitasnya.

Komoditas kopi pun juga turut hadir di dalamnya yang termanifestasikan dalam berbagai jenis kafe dan kedai kopi yang bermunculan di Yogyakarta. Keragaman ini dapat diasumsikan sebagai siasat para pengusaha warung kopi yang melihat dinamika konsumen menikmati kopi dengan berbagai macam cara, mulai dari kopi sachet yang tersedia di angkringan atau warung burjo (bubur kacang ijo), kedai kopi waralaba semacam Starbucks atau yang bersatu dengan makanan seperti Dunkin Donuts dan J.Co hingga kopi lokal dengan berbagai varian harga. Kopi sebagai komoditas yang diruangi oleh kedai atau kafenya memang seakan sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Yogyakarta.

“Cafe culture is not a new phenomenon, though its current manifestation differs from its antecedent, the sixteenth-century coffee house. Both the modern cafe and the coffee house are notable as places of intense sociability where people from all walks of life mingle” (Ellis 2004).

Hari ini kafe dan kedai kopi terus bertransformasi dengan bentuk dan isu-isu terbaru. Menurut amatan saya, saat ini mulai banyak kedai kopi yang menawarkan dan juga mengampanyekan kopi lokal dengan berbagai nilai baru yang disematkan di dalamnya. Konsep keterbukaan dimana cara dan proses pembuatannya yang ditunjukan ke konsumen, baik dalam proses mengolah tanaman kopi menjadi biji kopi yang dilakukan di luar kedai kopinya, hingga membuat biji kopi tersebut menjadi secangkir kopi yang tersedia di hadapan konsumen. Sembari menunjukan prosesnya, para pemilik kedai kopi ini juga berusaha menyebarkan ‘doktrin’ seputar perkopian, seperti cara menikmati kopi yang benar, lokalitas kopi dan apresiasi akan produk milik sendiri, hingga ke masalah kesejahteraan petani.

Saat bacaan ini dilemparkan dalam Pekan Membaca Bakudapan, berbagai pendapat pun muncul. Salah satunya adalah bagaimana kita dengan cepat dan tanpa melihat lebih kritis akan mengamini seperti apa yang ada dalam tulisan ini, yaitu melihatnya sebagai kebutuhuan masyarakat akan fasilitas kota. Kebutuhan akan ruang yang nyaman ini dianggap sebagai sebuah kebutuhan kota. Semakin berkembangnya kota ke arah metropolitan tentu saja di satu sisi juga akan memunculkan banyak permintaan untuk kota itu sendiri. Kafe dan kedai kopi yang bermunculan di dalam kota pun juga muncul dalam rangka memenuhi kebutuhan ‘nyaman’ itu. Saya rasa, dalam konteks Australia dan Indonesia tentu akan mengalami perbedaan yang signifikan.

Misalnya di negara Australia seperti penggambaran Felton, kenyamanan dalam ruang untuk konteks kota-kota besar seperti Melbourne atau Sydney dianggap langka sebab harga properti yang sangat mahal sehingga menjadikan mereka tidak punya ruang cukup untuk menciptakan kenyamanan dalam rumah tinggal atau apartemen. Oleh sebab itu, kedai kopi adalah salah satu bentuk penciptaan ruang baru yang terjangkau, mudah diakses, dan dapat digunakan untuk beraktifitas seperti bekerja, menulis, membaca, dan lainnya dengan nyaman.

Sementara itu, dalam situasi kota Yogyakarta nampaknya kita harus lebih jeli lagi melihatnya. Tentu saja observasi ini tidak bisa dilakukan dengan singkat, belum lagi melihat kultur masyarakatnya yang cukup kompleks. Tetapi paling tidak lewat diskusi ini kami mulai membicarakan dan memetakannya dalam bentuk yang paling terlihat. Misalnya, sampai saat ini pun masih ada kelompok masyarakat yang minum kopi di angkringan atau kedai kopi bukan sembari bekerja, tetapi lebih sebagai ajang interaksi dan membicarakan hal-hal sehari-hari hingga politik atau apapun yang menarik untuk didiskusikan. Dalam bahasa Jawa kerap disebut ngudoroso. Bentuk ini pun bisa dilihat sebagai pencarian kenyamanan oleh warga dengan kelas sosial tertentu.

Seiring dengan perkembangan kota Yogyakarta yang saya kemukakan dengan singkat sebelumnya, mungkin menjadikan kebutuhan akan ruang “nyaman” ini semakin beragam, termasuk dalam cara meminum kopi. Baik kafe, angkringan, maupun kedai kopi tidak saja termanifestasikan sebagai tempat untuk sekadar ‘minum’ lantas pergi, namun juga menjadi sebuah tempat di mana orang bisa bertemu satu sama lain dan menetap untuk beberapa saat di dalamnya. Dengan pemaknaan seperti ini, pada akhirnya kopi sendiri sudah bertransformasi menjadi bentuk lain. Terserap dalam bahasa lokal, kopi tidak lagi dimaknai sebagai sebuah minuman, namun sebagai sebuah kegiatan yang bernama ngopi.

Pada dasarnya, ngopi memang tidak hanya merujuk pada sebuah tempat berjualan kopi karena dengan ngopi orang juga belum tentu minum kopi. Ada hal lain selain kopi yang dicari dalam ngopi semacam obrolan, teman, waktu santai hingga hal serius misalnya diskusi politik. Kadang juga ada jargon sindiran dalam bahasa Jawa yang berkata,“Pamit ngopi kok pesene es coklat opo teh anget?”[2] Sebuah kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial untuk saling bertemu satu sama lain, dan hal ini terfasilitasi dengan kopi yang bertransformasi sebagai kegiatan ngopi dan sebuah ruang semi publik (semi public space) bernama kafe atau kedai kopi.

Dikatakan semi public space karena walaupun sebuah kafe bertujuan menjadi ruang publik di mana orang bisa bertemu satu sama lain namun akan selalu memiliki aturan serta batasan tidak tertulis di dalamnya, terutama menyangkut teritorial. Sebuah kafe atau kedai kopi seringnya akan identik dengan satu kelompok tertentu, yang kadang membuat orang-orang baru atau di luar kelompok tersebut merasa enggan untuk mendatangi tempat tersebut dan membaur dengan yang sudah ada. Memang benar, bahwa mayoritas pengunjung kafe atau kedai kopi yang ada di Yogyakarta selalu datang berombongan atau minimal dua orang daripada seorang diri. Kalaupun ada yang seorang diri, pasti memiliki satu hubungan tertentu dengan tempat tersebut.

Contohnya saya suka kopi dan bergelut di skena musik, lantas saya sering datang ke Pier 14 Coffee karena di sana memang sering dijadikan tempat berkumpul kawan-kawan saya dari skena musik dan penggemar kopi lainnya. Adapun pengunjung lain yang mengunjungi tempat itu karena kenal pemilik maupun dengan orang-orang yang sudah ada di dalamnya. Pengunjung baru apabila tidak familiar akan tampak malu-malu saat pertama kali datang. Hal ini dalam konteks ruang kafe atau kedai kopi dalam tulisan Felton dikatakan sebagai sebuah bentuk ‘kesukuan’ atau ‘tribes’ yang lebih menjelaskan pada komunitas. Walaupun dianggap sebagai ruang publik, tetapi sepertinya ia tidak pernah benar-benar bersifat terbuka. Tentu saja ini saya rasakan dalam kedai-kedai kopi lokal yang berbeda dengan kafe waralaba yang terletak di pusat perbelanjaan seperti Starbucks atau J.Co.

Dalam pandangan saya, tulisan Felton ini memang terasa kurang sesuai apabila dibicarakan dalam konteks Yogyakarta. Memang Yogyakarta adalah sebuah kota besar, namun kompleksitas kehidupan dan kelas sosial yang ada di dalamnya tentu tidak sama dengan kota-kota seperti Sydney atau Melbourne. Misalnya saat Felton membandingkan kedai kopi dengan bentuk bar yang biasanya menjual minuman beralkohol, yang tidak cukup banyak keberadaannya di kota ini. Dalam tulisan ini, ia menceritakan bahwa kedai kopi lebih egaliter, terutama terhadap kaum perempuan yang merasa lebih diterima dalam kedai kopi dibanding dalam bar. Tentu saja hal ini berbeda dengan situasi di Yogyakarta. Malahan, mungkin saja kedai kopi dirasa tidak egaliter, dalam kaitannya dengan kegiatan nongkrong yang biasa dilakukan hingga larut malam atau bahkan pagi hari.

Kegiatan nongkrong hingga larut, disadari atau tidak, masih kerap diasumsikan sebagai kegiatan yang bersifat maskulin, terutama oleh norma sosial yang berlaku di kota seperti Yogyakarta. Belum lagi jika menyangkut kelas sosial dan keberadaannya yang disandingkan dengan bentuk angkringan atau burjo, bentuk kedai kopi ini semakin terasa tidak egaliter dengan harganya yang jauh lebih mahal. Saya cenderung merasa dengan adanya kedai-kedai kopi yang mengusung nilai-nilai tertentu ini, otomatis mengkotak-kotakan para peminum kopi, entah berdasar ideologi, selera dan rasa, maupun harga.

Melalui bacaan yang kami bahas dan konteks kota Yogyakarta saat ini, memang benar bahwa Yogyakarta akan selalu ramai dengan pendatang dan tentunya juga kota ini akan tetap terus berkembang dan bertumbuh. Budaya kafe dan kedai kopi yang ada pun saya asumsikan juga akan tetap terus muncul seiring laju pertumbuhan kota ini. Pada akhir diskusi kami pun mencoba menarik ini semua dan sampai pada pertanyaan ‘sejak kapan sebetulnya hal ini dimulai?’ Ya, memang akan menjadi menarik untuk kembali melihat sejarah urban yang ada di kota ini melalui perkembangan kopi dan budaya kafe serta kedai kopi yang ada di kota ini.

Bagus Anggoro, 2016

*Gambar diambil dari http://m.dhgate.com/product/custom-european-style-leisure-coffee-shop/242220467.html

Catatan kaki:

[1] http://journal.media-culture.org.au/index.php/mcjournal/article/view/463
[2] “Pamit pergi minum kopi kok pesan es coklat atau teh hangat?”