Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

Gusti Nur Asla Shabia

“The foods eaten have histories associated with the pasts of those who eat them; the techniques employed to find, process, prepare, serve, and consume the foods are culturally variable, with histories of their own. … food … consumption always conditioned by meaning.

Sidney Mintz, Tasting Food, Tasting Freedom

Selama ini, mendiang Mintz dikenal sebagai Bapak Antropologi Pangan, berkat karyanya yang termahsyur: Sweetness and Power (1985). Karya ini adalah sebuah buku yang mengulas bahwa komoditas semungil gula ternyata mengandung trayektori sejarah yang berkelindan dengan konsumsi kelas pekerja di Eropa, perdagangan budak Afrika, dan penguasaan kolonial di Karibia. Dari nukilan yang saya muat di atas, di dalam buku Tasting Food, Tasting Freedom: Excursions ito Eating, Culture, and the Past, kita akan melihat gaya Mintz yang khas dalam mengkritisi sebuah pangan dan aktivitas makan yang mengikutinya, yakni sebagai proses yang tak lepas dari: 1) sejarah, 2) teknologi, dan 3) pemaknaan yang diciptakan.

Dalam studi kasus dan isu dari delapan bab dalam buku ini tersaji secara variatif dan lezat, saya juga melihat beberapa bab dari karya Mintz ini memiliki satu irisan tentang isu yang cukup segar dalam satu dekade belakangan, yakni tentang pangan yang adiluhung. 

“Adiluhung” dimaknai Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai sesuatu yang “tinggi” mutunya (KBBI, 2019). Saya selalu membayangkan kata ini dipakai untuk menunjukkan barang yang bernilai tinggi dan memiliki batas-batas yang tak tertembus kaum mediocre alias kaum “biasa-biasa saja”. Oleh sebab itu, bagi saya, “adiluhung” tak pernah jauh-jauh dari nilai “mahal”, “berkualitas”, dan “high-class”. Memang, persoalan bagaimana “tinggi” ini akan diartikan lebih lanjut akan dikembalikan secara kultural kepada masyarakat yang memaknainya. Namun, saya pikir, dari merebaknya gaya hidup yang menyoroti produksi dan konsumsi pangan-pangan berharga mahal yang dilandasi pelbagai alasan, mulai dari alasan etik, prestise, hingga kesehatan, kita dapat melihat sedikit gambaran bahwa wacana “adiluhung” selalu menjadi pertimbangan orang-orang untuk memilih makanannya, atau memilih gaya hidup yang terkait dengan aktivitas makan. 

Keadiluhungan pangan ini Mintz munculkan dalam tiga bab terakhir, yang masing-masing bertajuk (1) Color, Taste, and Purity, (2) Cuisine: High, Low, and Not at All, serta (3) Eating American. Masing-masing mengkritik keadiluhungan pangan dalam berbagai perspektif: tentang kemurnian, tinggi-rendah, dan otentisitas pangan.  

Yang Murni dan Yang Tak Murni

Pertama, dalam bab Color, Taste, and Purity, Mintz berkonsentrasi untuk mengulas marzipan—olahan kue atau roti manis yang berbahan dasar almond—sebagai pangan yang menyimbolkan “kemurnian”. Kemurnian adalah sentralitas dari bab ini. Di masa di mana orang-orang mengkhawatirkan kontaminasi dan polusi lingkungan yang dapat memengaruhi kesehatan dan kualitas hidup, orang-orang mulai berusaha untuk mewujudkan kemurnian dalam segala aspek kehidupan—termasuk pangan yang mereka konsumsi.

Namun, Mintz mempertanyakan soal “kemurnian” seperti apa yang hendak dicapai orang-orang ini, apakah murni yang ditafsirkan sebagai “something that is natural, unaltered, unprocessed—an unspoiled product of nature’s agents […] unaltered by the action of humankind”, atau murni yang berarti “… aseptic, scientifically clean, hygienic, chemically quantifiable, free of germs and microbes, guaranteed not to make us sick” (hlm. 85). 

Untuk kategori pertama, kita bisa merujuk pada orang-orang yang memiliki gaya hidup clean eating, yang mengutamakan konsumsi bahan makanan yang segar, belum diolah, belum dimodifikasi. Sedangkan kategori kedua ialah golongan orang-orang yang mirip beberapa teman saya yang ogah makan dari pedagang kaki lima dan lebih memilih ngemil di Seven Eleven atau Family Mart. Menurut mereka, pedagang kaki lima identik dengan peramu yang pasti tidak cuci tangan dan serangga yang bisa bertandang ke sepiring makanan, sehingga potensi sakit perutnya tinggi.

Kedua hal ini, menurut Mintz, bukan hanya memiliki perbedaan makna, akan tetapi turut berseberangan dalam tataran konseptual. Murni secara alami sangat berpotensi dikategorikan “tidak bersih” secara saintifik. Sebaliknya, murni secara saintifik (scientific purity)—karena ia menjadi “bersih” dengan cara-cara kimiawi—berarti tidak alami. Takaran kemurnian suatu pangan juga bisa berangkat dari warna pangan tersebut atau bahan-bahan yang terkomposisi di dalamnya, yang selama ini, disimbolkan dengan warna “putih”. Mintz mencontohkan warna putih dapat terejawantah di dalam suatu pangan secara tunggal, misalnya gula putih, hingga yang sifatnya “kuratif” seperti manjar blanco: kudapan dari Spanyol yang berfungsi sebagai penyembuh, yang berwarna coklat, namun diramu dari bahan-bahan yang hampir seluruhnya berwarna putih: dada ayam, susu almond, roti putih, dan jahe. 

Menakar Tinggi-Rendahnya Pangan

Sementara, di bab Cuisine: High, Low, and Not at All, Mintz berusaha untuk menghidangkan perspektif baru soal “cuisine”, sebuah kata yang terdengar legit, “tinggi”, nan otentik, yang sering disalahartikan sebagai “haute cuisine”. “Haute cuisine” merujuk pada hidangan yang “tinggi” karena pertama, ia membatasi dan membedakan siapa yang boleh dan tidak boleh mengonsumsinya (dicontohkan Mintz dari caviar yang hanya bisa dinikmati Bangsawan Inggris). Kedua, pangan-pangan “haute cuisine” memiliki kompleksitas pengintegrasian bahan-bahan yang digunakan (misalnya ada makanan yang harus dan hanya dibuat dari primeurs—buah-buahan yang dipetik dalam puncak musim.). Ketiga, butuh kepiawaian dalam menyajikannya. Bagi Mintz, “haute cuisine” yang sarat dengan makna akan pangan yang berhierarki tinggi dan relatif lebih mahal harganya, tak bisa disamakan dengan istilah “cuisine”. 

“Cuisinemenurut Mintz malahan tak melulu merujuk pada kelas atau hierarki sosial, melainkan merujuk pada masakan yang diproduksi dan dimiliki oleh suatu komunitas yang telah mengonsumsi, memperbincangkan, dan memasak hidangan itu dengan ahli, yang juga khatam bahan-bahan dan rasa yang terkreasi. “Cuisine” berarti masakan yang berasal dari kesamaan akar sosial. Bagi Mintz, “cuisine” akan selalu berarti masakan regional, diciptakan dari sebuah komunitas yang sedang atau pernah tinggal di suatu wilayah yang batas-batas geografis atau sosialnya jelas. Ia memiliki “ongoing foodways” (hlm. 104). 

Saya membayangkan soal ini seperti masyarakat Minang dari Pariaman, yang memiliki Katupek Gulai Paku (masakan yang terdiri dari ketupat, kuah gulai, dan sayur pakis). Mereka dapat dengan fasih mendeskripsikan bahan-bahan Katupek Gulai Paku yang “asli”: kuah gulainya asam-pedas berkat keberadaan daun jeruk, daun kunyit, dan cabai rawit, mengonsumsinya pun ditambahkan dengan kerupuk merah atau kerupuk kamang (kerupuk dari singkong, biasa dikenal sebagai opak). Peramu masakan katupek yang masih mengakses sayuran pakis bukan dari pasar, akan tetapi langsung dari ketersediaan di alam, bahkan dapat menerangkan bahwa sayur pakis memang banyak ditemukan tumbuh di pesisir sungai daerah tropis yang tingkat kelembabannya tinggi—termasuk daerah Padang Pariaman yang ada di pesisir barat Sumatra Barat—sehingga diolah masyarakat lokal.  “Foodways”-nya bisa ditelisik, dan akan mengarahkan kita pada titik awal di masyarakat yang memroduksinya. 

Tinggi-rendahnya suatu pangan ditakar dengan kelas sosial yang bisa mengakses dan mengonsumsi pangan tersebut, sehingga tidak seperti “haute cuisine”, makna “cuisine” tidak eksklusif pada kelas atau privilise tertentu saja. Mintz meyakini “cuisine” lebih otentik daripada hidangan “haute cuisine” yang sebenarnya hanya merupakan kumpulan makanan yang dianggap paling representatif mewakili satu identitas nasional (negara, bukan region). Karenanya, tinggi-rendahnya pangan tak selamanya menentukan sebuah makanan otentik atau tidak.

Berebut Memaknai Pangan yang Otentik

Masih terhubung dengan bab sebelumnya, di bab Eating American, ulasan Mintz berangkat dari pertanyaan mahasiswanya yang tak menerima bahwa Amerika tak punya “real cuisine”. Menarik sejarah Amerika Serikat yang masyarakatnya metropolis, berkumpul karena aktivitas migrasi dari benua lain, dan berasal dari banyak akar kultural (sehingga memengaruhi budaya makan mereka), Mintz berpendapat bahwa tak ada pangan yang benar-benar tumbuh, hidup, dan diperbincangkan di Amerika, sehingga kata “cuisine” pun tak bisa dilekatkan pada negara ini. Mayoritas masyarakat di Amerika adalah pendatang: mulanya dari Inggris, lalu disusul oleh mereka yang berasal dari Benua Eropa, Afrika, dan Asia. Alasan inilah yang membuat sulit untuk mendaku mana yang benar-benar “asli”. 

Penelusuran soal “keaslian” Amerika Serikat malah akan bermuara pada fakta bahwa masyarakat asli yang sesungguhnya sudah mengalami genosida besar-besaran. Mereka ini yang sesungguhnya memiliki pangan yang otentik, akan tetapi, seperti yang dilansir dari National Geographic (2016); tradisi memasak suku-suku Native American diwariskan secara oral dan terikat pada teritorial rumah mereka, akan tetapi, pergolakan kultural yang melibatkan proyek pemukiman kembali dari pemerintah membuat mereka tercerabut dari lingkungan yang “asli” dan berdampak pada budaya makan mereka. 

Mintz menulis, pangan yang diyakini khas Amerika, terdiri dari pizza, roti lapis ham, hamburger, hotdog, dan spaghetti, tidak cukup kuat untuk disebut sebagai “cuisine”. Ada pangan-pangan yang khas berkat komoditasnya yang regional seperti maize dishes, terrapin, daging babi panggang, kacang Boston, redfish, dan sup kerang Manhattan. Akan tetapi di tengah abad 90-an, ketersediaan hewan-hewan sebagai bahan pangan tersebut telah menipis di alam dan memengaruhi otentisitas makanan yang tadinya mempergunakan hewan-hewan tersebut. Produk pengganti bahan-bahan makanan juga dianggap Mintz mengakibatkan pengurangan dan pemurahan citarasa. Baginya, pangan yang otentik tidak semudah—atau bahkan mustahil—diduplikasi. 

Makanan fast-food dan jenis makanan yang lazim dikonsumsi masyarakat Amerika sebagai “take out food” atau “eating out food” jelas bukan “cuisine”. Harganya—setidaknya di negara mereka—murah, siap dilahap dalam waktu yang singkat, dan mudah didapatkan, sehingga makanan ini merefleksikan kehidupan masyarakat Amerika yang telah termodernisasi sedemikian rupa, sehingga mereka mengonsumsi makanan yang memenuhi produktivitas dan pertimbangan untung-rugi mereka. Fenomena eating out ini juga menandakan kondisi masyarakat yang semakin tidak punya kuasa untuk memilih bahan-bahan pangan yang mereka kehendaki. Celakanya, ritel fast food dan take out food Amerika telah mewabah dimana-mana, apa yang kini kita kenal sebagai fenomena “McDonaldisasi”. 

Merefleksikan Pangan Adiluhung ala Mintz dengan Situasi Kini

Meskipun Mintz menelurkan bukunya ini lebih dari satu dekade yang lalu, saya rasa situasi sekarang masih cukup relevan untuk ditelaah dengan analisis yang diusung Mintz. Masyarakat masa kini masih punya konsepsi pangan yang adiluhung: yang murni, yang tinggi, dan yang otentik (tapi ternyata belum tentu begitu). Mereka juga menjadikan indikasi “pangan adiluhung” sebagai pertimbangan makan. Kita bisa merelasikannya dengan teori Bourdieu soal “posisi”, di mana aktor-aktor sosial selalu berusaha untuk meletakkan diri mereka dan mendefinisikan siapa mereka, bagaimana mereka hidup, dan relasinya dengan orang lain dalam masyarakat tempat mereka berkehidupan (Paddock, 2016). Hal ini dapat dilihat dari praktik sosial yang performatif, seperti aktivitas makan dan akuisisi sumber daya untuk memenuhi aktivitas makan itu. Kata “adiluhung” yang sarat dengan kelas dan posisi pun jadi bersifat relasional, tak melulu ditakar dari kaya-miskin, tapi bagaimana seseorang dapat mengakses sumber daya (makanan) yang dianggap penting di masyarakat sebagai ways of life mereka. 

Coba saja, siapa dari kita yang memilih pangan-pangan alternatif seperti makanan organik dan lokal karena menganggap pangan ini murni secara ekologis? Sertifikasi yang tertera di suatu produk makanan mungkin bisa menenangkan kita bahwa cara mengolah suatu pangan sudah memenuhi beberapa standar ramah lingkungan, akan tetapi, kita tetap memiliki keterbatasan menelusuri dan melihat rantai pengolahan makanan yang tidak terwakili di kemasan produk makanan tersebut. 

Lagipula, saya menyadari, konsep “makanan adiluhung” yang dipaparkan Mintz selalu memiliki makna yang relatif dan problematis. Suatu komoditas pangan yang memiliki nilai “lebih dari …” dari pangan yang lain bisa dianalisis dan mengungkapkan bahwa: secara historis dan kultural, ia tetap memiliki nilai “kurang dari …” pangan lain. Pangan yang dianggap murni karena natural dan organik, misalnya produk madu alami, masih memiliki ketidakmurnian dari sisi keetisan terhadap hewan, karena secara global, isu produksi madu lebah tengah ramai diperbincangkan akibat melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap populasinya. 

Melihat ini, kategori “murni” ala Mintz tampaknya harus ditambahkan jadi tiga: “murni secara saintifik”, “murni secara alami”, dan “murni secara etik”. Murni secara alami pun bercabang lagi pada “murni” karena tidak mengontaminasi nilai alami dari suatu produk (ke dalam) dan “murni” karena tidak mengontaminasi lingkungan alam di luar produk (ke luar). Pasalnya, daun teh hijau yang dipanen pada pagi hari dari Karanganyar dan dibawa ke Surabaya sore hari bisa dianggap “murni secara alami” berkat kesegaran produk yang belum terolah, tapi dapat dianggap “tidak murni” pada kategori kedua karena diangkut dengan truk beremisi karbon tinggi yang menciptakan polusi. 

Keadiluhungan dari sisi kemurnian jadi begitu relatif dan ribet. Hal yang mungkin bisa dianggap “adiluhung” dari pangan lokal dan organik adalah harga mereka yang mahal, membuatnya tak terjamah sebagai pangan sehari-hari oleh orang-orang kelas menengah ke bawah. Saya pernah mengalami hal ini di sebuah pasar sehat yang ada di Yogyakarta. Secara harga, makanan yang ada dibandrol dengan harga yang relatif mahal untuk anak dengan jajan Rp50.000,00/hari (sudah termasuk ongkos belanja bulanan, pulsa, dan bensin). Sepotong kue dihargai Rp10.000,00 hingga Rp15.000,00. Sebongkah roti dihargai Rp50.000,00 ke atas. Bukan hanya persoalan mahal secara harga. Secara lokasi, pasar ini turut mengambil tempat di pelataran hotel yang fancy dan etnik, di mana terdapat parkiran yang pada jam pasar akan dipadati oleh mobil dan motor. Pasar ini pun turut diramaikan dengan orang-orang yang memakai pakaian dan aksesoris yang dari bahan, gaya, dan padu-padannya, menyimbolkan penampilan kelas menengah ke atas. Keadiluhungan pangan tak terlepas dari konteks siapa konsumennya, juga dari persoalan bagaimana konsumen tersebut menampakkan diri dalam kegiatan konsumsi.

Sarah Hill (2016) pernah berkata bahwa Sidney Mintz, dengan kajiannya yang sarat akan sejarah, membuat kita melihat pangan-pangan keseharian yang biasa (commonplace) menjadi luar biasa. Bagi saya, Mintz bahkan sampai membuat saya kagok dalam aktivitas makan-memakan pangan yang saya anggap luar biasa, karena pangan yang luar biasa pun tidak secara penuh menyandang nilai “luar biasa”—berkat problematika yang dikandungnya. Niat saya untuk makan adiluhung dengan menjadi konsumen reguler yang berbelanja di pasar sehat, ternyata terlalu muluk-muluk. Saya cukup pergi ke warung makan Betawi saja, yang masakannya diramu koki dari Betawi totok peramu tujuh turunan, lantas bisa mengaku otentik—suatu kategori yang juga masuk nilai “adiluhung” yang lain ala Sidney Mintz.

REFERENSI

Hill, S. (2018). The Sweet Life of Sidney Mintz. Boston Review. Diakses dari http://bostonreview.net/books-ideas/sidney-mintz-in-memoriam

KBBI. (2019). “Adiluhung”. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/adiluhung

Mintz, S. (1996). Tasting Food, Tasting Freedom: Excursions ito Eating, Culture, and the Past. Boston, Massachusetts: Beacon Press.

Paddock, J. (2016). Positioning Food Cultures. Sociology, 50 (6), 1039-1055. Diakses dari https://www.jstor.org/stable/10.2307/26556407

Rupp, R. (2016). Native American Cuisine Return to Its Roots. National Geographic. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com/culture/food/the-plate/2016/11/native-american-cuisine-returns-to-its-roots/