Makanan Sebagai Upah: Upaya Mengakses Makanan bagi Kelas Pekerja dan Masyarakat Menengah ke Bawah

Rr. Esty Wikasilva

Dalam fungsinya sehari-hari makanan memang kebutuhan yang mutlak bagi semua mahluk hidup. Namun, dalam proses pemenuhan kebutuhannya terkadang memiliki berbagai kendala, seperti tingginya harga bahan makanan mentah maupun siap saji di pasaran. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya karena jumlah permintaan pasar yang tak sebanding dengan ketersedian bahan pangan itu sendiri, sehingga sulit untuk dijangkau oleh kalangan dan kelas tertentu. Persoalan sulitnya akses terhadap pangan merupakan masalah umum yang tak hanya terjadi di suatu tempat tertentu, tetapi juga dialami hampir di seluruh dunia, seperti yang pernah dikatakan oleh Eric Holt-Gimenez dalam bukunya yang berjudul berjudul “A Foodie’s Guide to Capitalism: Understanding the Political Economy What We Eat”. Gimenez menulis bahwa seluruh sistem pangan di dunia saat ini dikuasai dan dimonopoli oleh rezim industri kapitalis, sehingga bukan tidak mungkin konteks ekonomi politik suatu wilayah mempengaruhi sistem dan rantai pangan, termasuk di dalamnya persoalan harga bahan pangan itu sendiri. Pada akhirnya siapa yang paling terdampak akibat dari permasalahan ini tetap saja mereka orang-orang dengan status ekonomi  yang rendah.(1)

Situasi ekonomi politik secara global turut mempengaruhi sistem pangan dunia. Hal ini secara tidak langsung membuat pemenuhan kebutuhan akan makanan menjadi cukup problematik bagi orang-orang yang berekonomi rendah. Mulai dari monopoli perusahaan bibit, penguasaan lahan-lahan baik oleh korporat maupun negara, dan banyak lagi daftar panjang rantai kapitalisme pangan. Di lain sisi, masyarakat kelas pekerja yang umumnya bergaji rendah dan tidak punya akses ke sumber pangan langsung mengalami kerentanan, bukan hanya akan kebutuhan pangan dan nutrisi, tapi juga kesejahteraan hidup. Seperti yang kita tahu, sebagian besar pengahasilan mereka digunakan hanya untuk kebutuhan konsumsi dan harus menekan pengeluaran untuk kebutuhan yang lainnya seperti kebutuhan sandang, papan dan rekreasi. Sebagai kebutuhan paling dasar, makan menyedot pengeluaran terbesar kaum miskin, karena harus dipenuhi secara harian. Oleh karenanya dibutuhkan upaya-upaya lain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi selain hanya mengandalkan pemasukan setiap bulannya. Misalnya dengan ‘mendapatkan makanan’ sebagai upah tambahan atau tunjangan di samping dari upah pokok yang diterima. 

Pan-toting

Kondisi sulit mengakses bahan pangan serta bagaimana cara mengakalinya pernah dilakukan oleh pekerja domestik Afrika-Amerika pada masa perbudakan orang kulit hitam. Pada masa itu, timbul istilah ‘pan-toting’ – sebuah praktik mengambil makanan sisa makan malam dari majikan mereka seperti yang ditulis oleh Tera W. Hunter tahun 1997 dalam  bukunya yang berjudul “To ‘Joy My Freedom: Shouthern Black Women’s Lives and Labors After The Civil War”. Di dalam buku tersebut, Hunter mengatakan bahwa upaya yang dilakukan oleh pekerja domestik kulit hitam untuk mendapatkan makanan dengan cara pan-toting terbukti menjadi suplemen penting untuk makanan keluarga dan komunitas pekerja domestik (2). Rebecca Sharpless dalam bukunya “Cooking in Others women’s Kitchen – Domestic workers in the South, 1865-1960”; juga mengatakan bahwa pan-toting tersebut selain digunakan sebagai strategi untuk mengakali pemasukan bagi kelas pekerja saat itu, juga digunakan untuk memperluas variasi dan kualitas gizi makanan mereka (3). Secara tidak langsung, menurut saya, hal tersebut menunjukkan bahwa makanan layak dan sehat hanya bisa diakses oleh orang kulit putih atau orang kaya pada saat itu. Dengan kata lain, akses untuk mendapatkan variasi makanan yang layak, dan bergizi tidak merata karena adanya kesenjangan ekonomi, serta  dipengaruhi oleh relasi kuasa antar kelas dan ras.

Namun dilema pan-toting bukan hanya persoalan akses dan ketimpangan terhadap pangan, yang merupakan hak asasi manusia. Beberapa orang menganggap praktik ini sebagai bentuk mencuri. Lebih jelasnya lagi, Hunter juga menambahkan perspektif dari beberapa pekerja domestik lain seperti koki restoran dan pelayan yang menganggap bahwa mengambil sisa makanan rumahan atau barang dapur itu dianggap sebagai hak adat. Namun, praktik ini kemudian memunculkan pro dan kontra antara pekerja dengan majikan, maupun antar sesama majikan mereka. Seperti yang dikatakan oleh seorang  narasumber – pekerja domestik kulit hitam dalam buku Hunter; ia menolak pan-toting disebut sebagai praktik mencuri makanan, ia mengatakan “kami hanya mengambil sesuatu, dan itu adalah bagian dari kontrak lisan maupun tersirat”. Tak disebutkan secara detail oleh Hunter mengapa praktik tersebut dianggap sebagai ‘mencuri’ tetapi mungkin saja hal ini dikarenakan sebagian pekerja domestik  mengambil makanan sisa tersebut tanpa sepengetahuan majikan mereka. Seperti yang dikatakan salah seorang majikan, merespon apa yang dilakukan pekerja mereka “kami tahu apa yang mereka sembunyikan di balik apron mereka seusai makan malam”. Sebagian majikan yang memang tidak menyetujui praktik tersebut kemudian  mengajukan agar pan-toting dihilangkan saja untuk mengurangi kompensasi yang mereka berikan kepada pekerja mereka. Akibatnya, timbul kebiijakan dari pemerintah setempat guna memantau dan mengontrol praktik pan-toting.

Kemunculan kebijakan untuk mengontrol praktik tersebut kemudian membuat pekerja domestik dikriminalisasi. Hal itu tentu saja membuat mereka terancam karena praktik pan-toting sendiri sudah menjadi kebiasaan yang mapan dan umum dilakukan oleh pekerja domestik untuk menyokong kebutuhan mereka akan pangan serta dapat memangkas pengeluaran mereka untuk membeli makanan. Namun, beberapa majikan mereka yang setuju dengan praktik tersebut berpendapat lain. Mereka malah menganggap bahwa pan-toting adalah bagian dari upah pekerja atau bagian dari amal, dan membenarkan bahwa upah yang diterima pekerja mereka memang sangat rendah sehingga mereka merasa tak masalah jika pekerjanya mengambil makanan sisa dari rumah mereka. Sebagian majikan yang setuju itu juga beranggapan bahwa mengkriminalisasi pekerja yang kedapatan melakukan praktik tersebut di rumah mereka adalah sebuah tindakan penghinaan kepada pekerja rumah tangga. Sharpless juga membagi pandangan yang lain menyoal praktik pan-toting, ia mengatakan praktik tersebut adalah simbol dari penindasan kulit hitam.

Budaya Rewang

Berangkat dari hal itu saya tertarik untuk melihat lebih jauh praktik pan-toting lewat kacamata budaya yang berbeda. Praktik serupa juga dapat ditemukan di masyarakat kita, di Indonesia, yang secara informal menggunakan makanan sebagai ‘upahnya’. Misalnya praktik ngerewangi yang dilakukan masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil (membantu hajatan  tetangga). Praktik tersebut mungkin dianggap remeh dan jarang dilihat potensinya sebagai upaya yang bisa dilakukan untuk mengakses makanan serta mengakali pengeluaran kebutuhan pangan, karena lebih dilihat sebagai bentuk solidaritas membantu sesama tetangga. Bukan lagi menjadi hal asing ketika kita melihat Ibu, keluarga, atau bahkan kita sendiri ikut menjadi bagian yang bekerja di dapur tetangga ketika mereka sedang melakukan hajatan besar. 

Selain di pulau Jawa, praktik ngerewangi atau ngegeger juga dilakukan di kampung saya di Kalimantan Barat. Istilah yang digunakan untuk menyebut praktik tersebutpun masih sama yaitu ‘ngerewangi’, adaptasi dari bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan lingkungan tempat kami tinggal juga di dominasi oleh orang Jawa yang mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan(4). Dalam praktik ngerewangi ini, biasanya kita hanya sekedar ingin membantu saja tanpa ada keinginan untuk  mendapatkan upah. Keterlibatan kita disitu hanya sebagai bentuk dari rasa empati ataupun solidaritas kita kepada yang punya hajatan. Sebagai balas jasanya, biasanya si empunya hajatan akan memberikan atau membebaskan kita membawa pulang makanan dari hajatan tersebut. 

Konsep ngerewangi sekilas hampir sama dengan pan-toting karena menggunakan makanan sebagai upahnya. Hanya saja dalam praktek ngerewangi, relasi kuasa yang terjadi tidak secara hirarkis antara pekerja dan pemberi kerja. Selain itu kegiatan ini tidak bersifat mengikat antara kita dengan orang yang kita bantu. Kerja-kerja dalam praktek ini lebih bersifat kolektif dan sukarela, serta pemaknaan atas praktik tersebut juga memiliki konotasi yang baik di mata masyarakat umum, sehingga kemudian  pemberian makanan sebagai ‘upah’ atau balas jasa dirasa tepat sebagai bentuk penghargaan atas waktu dan tenaga yang diluangkan. Walaupun begitu, tidak sulit juga untuk menemukan orang yang menjadikan pratek ngerewangi ini menjadi mata pencahariannya – selain  mendapatkan makanan mereka juga mendapatkan upah berupa uang. Biasanya hal ini terjadi ketika orang tersebut memang dikenal aktif membantu hajatan orang lain serta memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Seperti yang dilakukan oleh Ibu saya dan teman-temannya, mereka mengaku selain memang senang berkumpul dan saling membantu kalau ada hajatan, hal tersebut juga diakui membantu menambah sumber pemasukan mereka. Sebetulnya, secara sadar maupun tidak sadar masih sangat relevan dalam membantu yang berpenghasilan rendah, untuk mengakses makanan. Meskipun pada kasus ngerewangi tidak bisa diandalkan sebagai jalan keluar atas kebutuhan pangan sehari-hari, dikarenakan frekuensi dari acara hajatan yang tidak terjadi setiap hari. 

Konsep menggunakan makanan sebagai bentuk ‘upah’ atau penghargaan terhadap waktu dan tenaga yang diluangkan, telah menjadi tradisi oleh masyarakat kita. Makanan kerap dilihat sebagai alat perekat sosial. Menurut Cohen dalam tulisannya berjudul “Food and its Vicissitudes: A Cross-cultural Study of Sharing and Non-sharing” makanan adalah sarana untuk mengekspresikan persahabatan, memperlancar hubungan sosial, dan menunjukkan kepedulian, ia juga menambahkan bahwa; pertukaran dan berbagi makanan adalah fitur masyarakat dimana solidaritas komunitas dimaksimalkan (5). Sehingga kemudian bagaimana akhirnya makanan dapat hadir menjadi bentuk balas jasa di dalam praktik ngerewangi ini bisa jadi karena pemaknaan terhadap makanan tak hanya sebatas ‘benda’ untuk balas jasa, tetapi juga sebagai  simbol dari rasa solidaritas mereka itu sendiri. Selain itu, dalam kegiatan ngerewangi, makanan memang sudah tersedia di depan mata dan biasanya jumlahnya selalu berlebih, si empunya hajatan juga tentu tak ingin makanan itu terbuang sia-sia. Ditambah lagi biasanya yang melakukan kegiatan ngerewangi adalah ibu-ibu dimana mereka juga memiliki tugas pokok penyedia makan bagi suami dan anak-anak. Sementara ketika mereka ngerewangi tidak sempat untuk memasak bagi kebutuhan keluarga mereka.

Kelas Pekerja dan Akses Pangan

Pekerja rumah tangga di masyarakat kita hampir sama posisinya dengan pekerja rumah tangga kulit hitam, tetapi perbedaannya terletak pada relasi kuasa yang bersifat lebih cair – bukan bentuk perbudakan; biasanya selain menerima uang gaji, mereka juga mendapatkan fasilitas makan siang atau makan malam untuk mereka sendiri atau bahkan untuk anggota keluarganya (suami dan anak) di rumah sebagai tambahan. Atau tukang bangunan dimana jumlah gaji hariannya akan dihitung tergantung apakah termasuk penyediaan makan siang atau tidak oleh si pemberi kerja. Hal  ini setelah ditilik, juga hampir serupa dengan konsep pemberian komplemen makanan di kantor-kantor tempat kita bekerja. Hasil bincang-bincang dengan beberapa teman yang bekerja di sebuah perusahaan pun mengaku bahwa hadirnya makanan seperti catering harian, selain memudahkan secara akses, juga cukup membantu memotong pengeluaran mereka akan makanan. Namun, perlu digaris bawahi, hal ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan cukup untuk mengatasi kesulitan ekonomi akan akses makanan secara masif.

Dari beberapa praktik yang telah disebutkan diatas, memang belum ada catatan yang secara detail menjelaskan bagaimana akhirnya praktik  memberikan makanan kepada pekerja dapat menjadi bagian dari upah. Tetapi, jika mengingat kembali usaha seperti apa yang dilakukan untuk mengakses makanan, praktik-praktik yang dilakukan itu (kecuali ngerewangi yang sifatnya sukerela) dapat kita lihat sebagai hasil dari kesenjangan ekonomi. Dengan kata lain, praktik-praktik tersebut adalah respon kita terhadap kebutuhan dasar dan biologis akan makan yang kemudian membentuk sebuah strategi bertahan dalam hal mengakses makanan. Memang dalam kesehariannya, situasi ekonomi, sosial, maupun  politik, yang melatarbelakangi praktik kita mendapatkan makanan terkesan kabur. Kita seringkali abai dan tidak sadar bagaimana rantai pangan dunia secara makro dibentuk dan dimonopoli oleh segerlintir orang. Serta bagaimana perusahaan-perusaahan hanya mengaji buruh tidak lebih dari batas UMR yang ditetapkan supaya tidak didemo dan diberi sanksi. Sedang kita tetap berkutat pada hal-hal mikro, bagaimana supaya gaji sebulan dapat memenuhi kebutuhan harian makan kita.

Dengan meminjam pernyataan Gimenez menyoal sistem pangan, ia mengatakan selama ini kita hanya fokus pada permasalahan  memperbaiki sistem pangan, padahal permasalahannya lebih dalam daripada itu. Ia menambahkan bahwa sejatinya sistem pangan itu sendiri malah bekerja untuk kepentingan kapitalis. Gimenez berharap agar kita dapat mengkritisi apa yang kita konsumsi. Dari pernyataan tersebut saya mengaitkannya ke permasalahan diatas; bahwa memang perlu bagi kita untuk terus mempertanyakan atau mengkritisi apa saja  hal yang ada dan mempengaruhi cara kerja kita dalam mengakses makanan. Termasuk mempertanyakan kembali apakah upah yang diberikan kepada pekerja juga sepadan dengan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan mereka setiap bulannya. Mengingat hampir semua pemasukan kaum pekerja berpenghasilan rendah habis untuk konsumsi sehari-hari, dimana paling besar adalah untuk memenuhi kebutuhan makan. Walaupun praktik-praktik diatas diakui mereka dapat membantu mengakali kebutuhan pangan secara sementara, tetap saja praktik tersebut tidak bisa dianggap sebagai solusi dari permasalahan utama. Sistem pemberian gaji yang tidak sejalan dengan meroketnya harga kebutuhan pokok dipasaran, minimnya tunjangan kebutuhan hidup lain seperti kesehatan, pendidikan, dll adalah persoalan utama kaum pekerja berpenghasilan rendah. Hal ini secara langsung dan tidak langsung menyebabkan kondisi sulit untuk mendapatkan makanan layak dan sehat, yang akan selamanya menggerogoti hidup kelas pekerja dan orang berekonomi rendah. Gambaran tentang upaya mengakses makanan yang dilakukan kelas pekerja dan orang-orang yang berekonomi rendah yang sering dianggap remeh tersebut merupakan data valid untuk menggambarkan kondisi ekonomi yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Harapan saya, kedepannya pengetahuan dan praktik tersebut juga dapat menjadi alat untuk mengkritisi dunia kerja yang seringkali tidak manusiawi. Agar persoalan akses makanan yang tak merata itu tidak hanya menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh mereka sendiri sebagai individu, melainkan menjadi tanggung jawab kita bersama, termasuk pihak-pihak yang mendominasi industri dan sistem pangan yang bersifat kapitalis. 

Referensi

  1.  Holt-Gimenez, Eric. 2017. “A Foodie’s Guide To Capitalism: Understanding the Political Economy What We Eat”. New York: Monthly Review Press.
  2.  Hunter, Tera W. 1997. “To ‘Joy My Freedom: Shouthern Black Women’s Lives and Labors After The Civil War”. Cambridge: Harvard University Press.
  3.  Sharpless, Rebecca. 2010. “Cooking in Others women’s Kitchen – Domestic workers in the South, 1865 – 1960”. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
  4. Yuwono, Jennie. “Transmigrasi Dari Masa Ke Masa”. Academia.edu. Diakses 10 Januari 2020 https://www.academia.edu/9927462/Transmigrasi_Dari_Masa_Ke_Masa
  5. Cohen, Y.A. 1961. “Food and its Vicissitudes: A Cross-cultural Study of Sharingand Non-sharing”. New York;Rinehart and Winston