Catatan Makan Siang Sisa #3

Pada hari Kamis, 25 Mei 2017, sampai juga kami pada acara makan siang sisa sesi ketiga yang juga merupakan akhir dari rangkaian acara makan di periode pertama. Masih mengulang beberapa pola dari acara makan siang sebelumnya, yaitu bertempat di Greenhost Hotel, mengolah makanan sisa sarapan tamu hotel, dan mengundang peserta makan siang secara umum. Kali ini kami mendapatkan menu sisa sarapan berupa potato wedges dan nasi goreng yang harus kami olah kembali. Hari ini Nisa dan Gloria bertugas menjadi chef nya.

Tak lama kemudian, peserta makan siang mulai datang. Terhitung peserta pada hari itu berjumlah 8 orang, kemudian Elia berperan sebagai pemandu, dan saya sebagai pencatat percakapan. Setelah peserta sudah mulai nyaman dengan tempat duduknya masing-masing, Elia mulai membuka percakapan dengan memperkenalkan Bakudapan serta menjelaskan tentang proyek Living Leftover, kemudian diikuti oleh perkenalan diri para peserta secara bergiliran.

Sembari menunggu makanan datang, Elia berusaha memancing peserta untuk menceritakan pengalamannya masing-masing perihal sisa. Peserta pertama yang angkat bicara adalah Lisis, ia menceritakan pengalamannya sebagai salah satu warga yang tersisa yang tinggal di area Prawirotaman. Ia merasa terhimpit dengan pembangunan hotel dan bisnis pariwisata lain yang cukup masif di lingkungan tempat ia tinggal, dimana membuatnya dan mungkin juga warga lain merasa terasing. Kerap kali kita berfikir bahwa pembangunan, sesuatu yang bersifat progresif dan membawa kearah kemajuan adalah hal yang diidam-idamkan oleh semua orang. Tenyata pembangunan ini tidak dapat merengkuh semua elemen yang ada, sehingga menyisakan hal-hal, mulai dari bangunan fisik, manusia, hingga perasaan terasing satu dan lainnya.

Berbeda dengan Lisis, Alex peserta makan siang lain menghubungkan persoalan sisa makanan dengan peluang keuntungan yang didapat. Alex bekerja sebagai barista di salah satu kedai kopi. Menurutnya sisa makanan atau minuman yang ditinggalkan oleh pelanggan merupakan peralihan kepemilikan, karena makanan tersebut sudah tidak diinginkan lagi.

“Ketika sedang kerja dan ada pelanggan yang tidak menghabiskan pesanannya, jadi seperti kenikmatan tersendiri karena dapat menghabiskannya. Misal ada yang pesan kue tapi cuma dimakan sepotong. Kalau aku pribadi ga malu makan makanan sisa, tapi tidak etis kalau pelanggan tau. Padahal aku makan biar ga mubazir.”

Elia terus memancing pengalaman sisa para peserta makan siang, kemudian Doddy peserta lain bercerita tentang dompetnya yang terbuat dari kulit sisa. Menurutnya selama berupa benda/barang yang tidak dimakan, mungkin tidak masalah dengan sisa. Hal ini memancing pertanyaan lebih jauh, mengapa jika sesuatu yang dimakan atau masuk kedalam tubuh, tidak semua orang setuju untuk mengkonsumsinya.

Kemudian Talitha, salah satu peserta menanggapi:

“Karena kalau makanan, kita jadi sharing body fluid seperti misalnya saliva.”

Pada dasarnya makan merupakan sesuatu kegiatan yang sangat intim dan privat, karena lewat makan kita memasukan sesuatu kedalam tubuh kita dan menjadikannya bagian dari kita. Seperti kutipan :

“The fundamental element on which the “omnivore’s anxiety” (as I have defined it) is focussed, is the act of incorporation, i.e. the action in which we send a food across the frontier between the world and the self, between “outside” and “inside” our body” (Rozin an Fallon, 1981)[i]

Seperti halnya berbagi makanan dengan orang asing, apalagi sesuatu yang sudah disebut sisa, pastinya ada banyak kecurigaan mulai dari “jenis makanan apa yang tadi dia makan? Bagaimana kalau mengandung bahan yang tidak boleh saya makan, babi misalnya?”, “apakah tadi dia sudah cuci tangan dan makanan yang ditinggalkannya ini bersih?”, “apakah tadi tidak terkena ludahnya? Dan bagaimana kalau dia punya penyakit menular, dsb?”

Tak lama kemudian ditengah percakapan para peserta yang sudah mulai mencair, Nisa dan Gloria datang menyajikan makanan yang sudah mereka olah kembali. Mereka menjelaskan makanan apa saja yang ada di piring. Nasi gorengnya tampak cantik dengan tambahan tomat merah sebagai mangkuknya, dan juga olahan pangsit yang kali ini direbus, sebagai wujud koreksi dari kritik salah seorang peserta yang kami dapat pada sesi makan siang sebelumnya untuk mengurangi metode menggoreng dan mengurangi penggunaan minyak untuk alasan kesehatan. Dan menurut kami, hasil olahan makanan sisa kali ini memang terasa lebih baik dari hasil olahan makan siang sebelumnya, selain dari segi metode yang diperbaiki dengan ditambahkan bumbu kari, juga secara tampilan yang lebih menarik. Kemudian setelah kami selesai membahas makanan yang kami sajikan, Lisis tiba-tiba bercerita sedikit tentang pengalamannya akan makanan sisa.

“Agak berbeda dengan suamiku yang orang Melayu. Dia biasa menyisakan makanannya tapi bukan karbo nya, melainkan lauknya. Karena menurut dia rejeki seharusnya dikembalikan ke bumi jadi harus disisakan. Tapi biasanya meskipun sering disisakan sama suamiku, ya tetap aku ambil dan aku kasih ke anjingku..”

 Pendapat ini menarik, melihatnya makan sebagai tindakan pengorbanan atau pembatasan diri serta agar selalu mawas diri dan bersyukur. Makanan sebagai persembahan ada hampir dalam setiap kehidupan manusia dalam berbagai tempat dan ritual kelompok etnis dalam bentuk dan jenis makanan yang beragam. Dipercaya bahwa konsep memberikan persembahan kepada Dewa, Tuhan atau bahkan Bumi (alam) sudah dilakukan semenjak manusia mengenal domestifikasi tumbuhan dan ternak untuk kebutuhan makan. Artinya kesuburan tumbuhan, keberhasilan panen hingga sehat dan banyaknya ternak dianggap tidak lepas dari berkah atau campur tangan mereka. Dan biasanya bagian terbaik dari makanan lah yang dijadikan persembahan kepada para Dewa Dewi ini. Dalam hal ini makanan juga bisa menjadi alat ritual yang berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya spiritual. Terutama dalam kehidupan masyarakat agraris, yang terjadi hampir diseluruh Asia tenggara.[ii]

Selain sebagai persembahan, dalam hal spiritual, makanan juga kadang berfungsi sebagai alat pembatas diri untuk tujuan pemurnian, dengan puasa atau makan secara sederhana misalnya. Cerita dari seorang peserta bernama Abirama mungkin bisa dikaitkan dengan persoalan pembatasan dan kontrol diri atas hasrat.

“Kebetulan bapakku adalah chef, dan sering masak untuk disajikan dengan model prasmanan. Dia paling ketat untuk urusan menghabiskan makanan karena dia sering lihat banyak orang sekarang hanya lapar mata dan ambil sebanyak-banyaknya tanpa bisa memperkirakan kapasitasnya. Jadinya banyak sisa makanan terbuang dari piring-piring yang sudah dimakan. Jadi menurut Dia karena kita ngambil sendiri makanannya ya kita harus bertanggung jawab untuk menghabiskannya.”

Dari dua pendapat di atas kita bisa melihat bahwa etika memperlakukan makanan, mulai dari pengorbanan dan memberikan yang terbaik pada alam (bisa diwakilkan dengan ide tentang Dewa Dewi) hingga tidak menyisakan makanan sudah ada sejak manusia menyadari makanan adalah basis terpenting dalam hidup.

Kemudian pembicaraan mengalir soal bagaimana kita bisa memperpanjang usia benda sebelum menjadi sampah ataupun makanan sisa. Beberapa dari peserta menjawab jika perihal makanan, biasanya pertolongan pertama adalah memasukannya dalam kulkas yang kemudian bisa dipanaskan (di-nget dalam bahasa jawa) atau diolah kembali di keesokan harinya. Hal ini juga diakui sering dilakukan oleh seorang peserta bernama Wiwit yang biasanya mengolah nasi sisa untuk dijadikan bubur Manado. Menurutnya, itu adalah hal-hal sepele dalam ranah domestik yang bisa dilakukan dan salah satu tujuannya adalah untuk ngirit. Setelah bicara banyak tentang berbagai teknik mengolah kembali makanan sisa, kami berpindah bahasan dari makanan ke hal yang lebih luas.

“Kalau sisa ditempatku mungkin lebih ke rezim pembangunan dan wisata. Seperti di kampungku misalnya, sejak ada kedai es krim itu sekarang jadi banyak orang yang parkir untuk makan es krim di depan rumahku dan membuang cone nya secara sembarangan, trus sekarang disitu disediakan tempat sampah khusus untuk membuang cone. Hal ini sepertinya akan terus berkembang, maksudnya kita dan pemerintah sadar tidak sadar kemudian mendisain fasilitas yang mementingkan urusan pariwisata aja. Hari ini tempat sampah, besok mungkin apa…”

Lisis lalu menceritakan kekhawatirannya akan dinamika lingkungan tempat dimana ia kini tinggal. Ia merasa pembangunan yang tersistematis dan semakin sengaja didesain sebagai kampung turis ini justru akan menciptakan sisa-sisa yang lain, yang menolak ikut dalam lingkaran yang menopang bisnis pariwisata, apalagi daerah Prawirotaman tempat ia tinggal sudah dilabeli sebagai kampung wisata. Berdasarkan amatan kami soal kampung ini, pariwisata memang bagaikan magnet kuat yang memiliki pusaran besar dan mau tidak mau menarik sebagian besar orang untuk turut masuk. Mulai dari pemilik tanah yang membangun hostel-hostel, menyewakan atau bahkan menjualnya untuk juga membagun hotel, restoran, café, toko souvenir, hingga penyediaan tenaga kerja, mulai dari pekerja hotel, restoran, dll hingga tenaga parkir, keamanan, dan bahkan preman setempat. Semua sibuk melayani para turis, pelancong, pemukim sementara baik domestik maupun asing. Manusia maupun ruang yang tidak turut serta dalam lingkaran tersebut seolah merupakan sisa-sisa dari Prawirotaman dahulu, sebelum rezim pariwisata merasuk.

Dalam acara makan siang ini, kami menggunakan piring dimana kami tuliskan nukilan tentang sisa-sisa yang kami dapat baik dari buku maupun internet. Alex kemudian membaca nukilan yang terdapat pada piringnya:

“With a little imagination, there are a million ways to use up leftovers rather than bin them.”

Lagi-lagi kutipannya cocok dengan kebiasaan Alex yang sering ngeman saat melihat sisa-sisa makanan di tempat ia bekerja. Namun kini ia mempunyai interpretasi lain tentang sisa. Menurutnya, sisa adalah suatu entitas yang kekal, bisa jadi barang sisa adalah sesuatu untuk membuat barang yang baru lagi, dan semua tergantung apakah kita masih mau menggunakannya lagi atau tidak. Ia mencontohkannya dengan hukum kekekalan energi. Seperti yang pernah kita semua pelajari saat sekolah dalam ilmu fisika yang menyatakan bahwa jumlah energi dari sebuah sistem itu akan tetap sama, dan energi tersebut tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan oleh manusia, namun ia dapat berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Katakanlah jika ada sebuah benda yang diam sekalipun, ketika kita mencampurnya dengan kekuatan yang membuat benda tersebut bergerak, maka benda yang bergerak tersebut mengandung sebuah energi kinetik. Kemudian dari energi kinetik tersebut dapat kita konversi lagi ke dalam bentuk yang lain, contohnya seperti dapat membuat sebuah kendaraan berjalan, ataupun energi listrik yang dihasilkan dari gabungan antara energi kinetik dan air yang bergerak.

Dari sini mungkin kita bisa membayangkan bahwa semua benda memiliki fase berpindah dari bentuk dan fungsi, dimana setiap fase tersebut memiliki nilai dan fungsi masing-masing. Dengan berfikir begitu mungkin dapat merubah cara melihat kita termasuk tentang sisa. Misalnya pisang yang mulai lembek karena belum dikonsumsi saat matang terbaik, bukan lagi dianggap sisa dan potensi menjadi sampah, tapi pisang untuk untuk membuat pie. Pisang yang benar-benar busuk bukan lagi sampah tapi misalnya disebut pupuk dari pisang. Hal memanfaatkan barang sisa ini mungkin sudah terjadi, tapi yang ditekankan disini adalah bagaimana kita tetap melihatnya dan menyebutnya masih dalam kategori sebagai sisa. Hal ini mungkin terjadi karena seolah satu-satunya tujuan kita terhadap pisang adalah menjualnya untuk kebutuhan manusia yang dikonsumsi pada saat matang terbaik. Semua alur kerja dalam perkebunan pisang dirancang untuk tujuan tersebut, ketika pisang sampai di supermarket ia harus dalam keadaan matang sempurna, kuning indah, bersih, tampak ranum dan manis rasanya.

Di sela-sela asyiknya pembahasan yang cukup panjang mengenai sisa, Nisa dan Gloria hadir kembali membawakan hidangan penutup berupa kue bolu dan buah warna-warni yang telah dipotong-potong dadu. Sambil menyantap hidangan manis itu, Lisis kembali memecah keheningan dengan komentarnya.

Bagi Lisis, melihat persepsi kita akan kategori unggul versus sisa merupakan suatu mekanisme kesepakatan bersama yang hadirnya bisa secara tidak disadari. Dan hal itu bermuara pada salah satu rezim yang tidak kentara, misalnya seperti rezim bahasa. Menurutnya, karena kita berkomunikasi menggunakan bahasa maka secara tidak sadar kita telah memakai istilah-istilah yang dapat memperkuat suatu kuasa atau bahkan merontokkannya. Contoh ketika kita memakai kata kumuh atau produktivitas. Secara tidak langsung kita menciptakan segregasi antara mana orang yang produktif maupun tidak produktif. Rezim ini dilancarkan melalui banyak hal, termasuk negara yang merupakan otoritas terkuat, lewat institusi-institusi besar mulai dari pendidikan, agama, media, hingga semua sendi kehidupan. Kemudian persebaran bahasa yang seakan-akan direkomendasi oleh beberapa kelompok masyarakat ini secara tidak sadar membuat kita menyepakati suatu bahasa atau istilah-istilah baru yang pada akhirnya cenderung bersifat diskriminatif sehingga dapat menciptakan sisa-sisa yang lain. Masih menurut Lisis, usaha-usaha yang bisa kita lakukan adalah selalu waspada dan terus mempertanyakan rezim bahasa tersebut.

Sejenak kemudian kami tersadar bahwa pembicaraan semakin panjang dan hari sudah hampir menjelang sore. Sesi makan siang periode ketiga ini akhirnya diakhiri dengan berfoto bersama didepan artefak karya Living Leftover, diiringi dengan canda tawa serta perut kenyang tanpa menyisakan sisa makanan lagi, sebagai pertanda pula bahwa makanan yang kami olah kali ini cukup sukses dan dinikmati oleh para peserta.

Catatan kaki:

[i] Fischler, Claude, 1988. “Food, Self and Identity.” Social Science Information 27:275-293. Dapat diakses secara on-line lewat https://www.researchgate.net/publication/232475763_Food_Self_and_Identity

[ii] Van Esterik, Penny. 2008. “Food Culture in Southeast Asia”, hal 96.

 

Irindhita Laras & Elia Nurvista, 2017