Catatan Makan Siang Sisa #2

Masih dalam rangkaian program Living Leftover yang dijalankan oleh Bakudapan sejak Mei lalu, kami melakukan beberapa kegiatan untuk menyelidiki makna sisa yang hidup di sekitar kita. Mulai dari pameran yang dilakukan di Hotel Greenhost hingga tiga rangkaian acara makan siang, kami melibatkan tidak hanya kami secara intern, tapi juga mengajak pengunjung untuk datang belajar bersama. Melalui makan siang di Greenhost yang kedua ini, kami ingin menilik pengalaman masing-masing saat menghadapi perkara “sisa” dengan menyantap langsung sisa olahan restoran hotel yang dimasak ulang oleh kami.

Sebelum saya lanjutkan dengan cerita makan siang kami, saya ingin mengajak kita berbalik ke tahun 2000an awal hingga sekarang. Kala itu banyak tersebar usaha waralaba roti dan kue dari Amerika maupun dari negara-negara Asia dan negeri kita sendiri. Misalnya Dunkin Donuts, J.Co, Parsley, dan banyak lagi. Menyasar mall-mall besar, yang seringnya menarik perhatian konsumen dengan aroma panggangan kue dan setting-an open kitchen, adalah hal yang benar-benar mewah di mata dan segenap indera sensori para pengunjung. Namun, semenarik apapun tampang-tampang roti yang dijamin segar tersebut, tetap berujung pada satu persoalan, yaitu sisa! Tidak lama sejak masifnya roti-roti manis ini di pasaran masyarakat urban, tersebar berita yang menjadi viral, bahwa banyak roti-roti yang telah melewati standar umur tidak layak dipajang dan dijual lagi, meskipun masih bisa dikonsumsi manusia dan berujung menjadi sampah. Bahkan beberapa sumber, seperti teman yang pernah bekerja di salah satu waralaba tersebut, menambahkan cerita bahwa sesuai dengan standar marketing roti-roti itu tidak boleh diberikan ke karyawan sebab ditakutkan akan dimanfaatkan dengan dijual kembali. Tidak berhenti disitu, ada rumor tentang usaha menginjak-injak roti dan kue yang tidak layak jual tersebut oleh karyawan agar mengecilkan kemungkinan kue itu bisa dibawa pulang. Sampai disini saya sendiri sebenarnya menjadi hilang arah. Apa yang dipikir perusahaan sebenarnya? Apakah merusak makanan yang sebenarnya masih layak dikonsumsi kemudian tidak berdampak pada keetisan kita yang rusak juga terhadap makanan? Terigu yang 100% diimpor, didatangkan jauh untuk menghiasi pasar kelas menengah, kemudian berujung di tempat sampah sajakah jika memang sudah tidak patut dipajang? Atau kemana?

Kegelisahan ini terus terbawa ketika kita mendengar isu sisa. Termasuk pada tanggal 23 Mei pada acara makan siang sisa sarapan hotel yang kedua, kami ingin menghadirkan lagi gaungan sisa-sisa sampah hasil konsumsi kita sehari-hari. Yang jelas di hari kedua ini kami semakin curiga, sarapan hotel ini tidak pernah tidak ada sisa. Asumsi sederhananya, pertama yang paling mudah adalah menuduh pihak hotel sebagai yang mengolah tanpa hitungan yang bijak, sehingga banyak menyisakan makanan. Kemudian, dilihat dari cita rasanya ya.. kalau kami berimajinasi menjadi penghuni hotel tentu saja akan memilih pedagang sate kaki lima atau gudeg di pasar yang lebih eksotis, dianggap bercitarasa otentik dan lebih murah. Tentu begitu, karena jika saya mampu membayar harga kamar, tentunya juga mampu membeli makanan lokal di luar tawaran hotel.

Itu baru beberapa kecurigaan kami, terutama jika kami adalah turisnya. Kita tidak bisa jauh-jauh dari imajinasi turis untuk mengidentifikasi penyebab sisa sarapan hotel yang sangat berlebihan. Namun, selain berimajinasi sebagai aktor yang menyisakan sisa, kita juga perlu melihat lebih dalam makna sisa dari teman-teman lain yang tentunya bukan turis di Yogyakarta. Singkat kata, siang itu kami kedatangan beragam tamu, mulai dari mahasiswa, penulis, barista, dan pekerja swasta. Kami mulai berdiskusi tentang pandangan dan pengalaman kami dalam memaknai sisa di kehidupan kami sehari-hari.

Dumpster Diving

Salah satu mahasiswa bercerita bahwa di luar negeri, untuk mengatasi sisa produk yang tidak terjual, banyak supermarket yang sengaja membuang barang-barang hampir kadaluarsa di beberapa lokasi. Mereka menyebutnya dengan istilah dumpster diving. Gerakan ini menurut beberapa artikel telah menjadi gerakan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai sumber pangan, sekaligus mengurangi sampah makanan. Bagi kami saat saling bertukar cerita mengatakan hal sebaliknya yakni keraguan mengambil makanan yang sudah masuk dalam kategori sampah sering terjadi di kalangan kita sendiri. Jika mampu membeli yang segar di supermarket atau pasar, lalu kenapa harus mengakses dari lokasi yang sudah diberi label tempat sampah. Ya, perkara ini memang bukan perkara menganjurkan mana yang lebih baik mana yang kurang baik, tapi lebih pada pertanyaan besarnya, mengapa kita selalu berpikir bahwa yang baru dan segar selalu lebih baik? Apakah pikiran ini hasil konstruksi pasar yang orientasinya menjual lebih banyak?

Di luar negeri, seperti di Australia dan Amerika terhitung banyak anak muda yang mencari sumber makanan dari tempat-tempat sampah yang dirujuk supermarket sebagai tempat buangan bahan kadaluarsa. Hal ini muncul bukan sebagai bentuk keterpaksaan menghemat pengeluaran, sebab dilihat dari latar belakang para pelaku dumpster diving ini pun banyak yang berasal dari kelas menengah. Mulai dari sayuran, buah, keju hingga wine biasa mereka dapatkan dari tempat ini. Bahkan ada beberapa restoran yang sengaja mengolah bahan pangan buangan ini untuk dijual lagi dalam bentuk masakan. Aksi mereka yang rutin menyambangi titik-titik kumpul makanan yang sudah dikategorikan sampah ini lebih condong kepada bentuk protes terhadap industri makanan besar. Di Indonesia sendiri banyak supermarket besar yang menjadi pusat perbelanjaan masyarakat urban, namun sepengalaman saya pribadi tidak ada penampungan “sampah makanan yang layak makan.” Kemudian pertanyaan kami selanjutnya yang berputar di area meja makan kami adalah, kemana sayur dan buah yang tidak laku itu dibuang? Apakah perbedaan konteks geopolitik antara warga negara yang tingkat kemakmurannya berbeda menjadi salah satu penyebabnya juga?

Hibah Makanan Sisa

Tidak hanya pasar atau supermarket yang banyak menghasilkan sisa makanan. Ranah konsumsi rumah tangga juga demikian. Dimulai dari sisa makanan berlebihan, tidak termakan, ataupun juga sisa perabotan rumah tangga yang sering ditemukan mangkrak di sudut halaman, menunggu pemulung menghampiri. Di rumah saya sendiri, jika Ibu sengaja masak lebih berarti sering dibagikan ke saudara atau kepada tetangga. Kemudian jika memang banyak lauk tersisa maka akan beliau olah lagi menjadi menu baru yang lain. Namun, ketika menjadi mahasiswa tentunya saya lebih menghabiskan waktu makan di warung atau di luar rumah. Bahkan ketika seering membeli makanan ringan berlebih, seringnya yang menjadi penyelamat adalah teman-teman yang mengunjungi kami. Sisa kemudian menjadi berkah bagi si pemberi karena tidak perlu kuatir boros membuang makanan, dan juga menjadi berkah kenyang bagi teman yang meghabiskan.

Menariknya, tradisi menghibahkan makanan juga terjadi kepada anak-anak kos bukan hanya untuk makanan ringan saja. Oi, salah satu peserta yang datang makan siang bercerita, ia sering diberi oleh temannya yang bekerja di pabrik industri makanan berupa berkardus-kardus mie instan yang hampir kadaluarsa. Ia diberi secara cuma-cuma karena bagi pihak pabrik sudah tidak mungkin dilempar ke pasaran. Respon Oi dan teman-temannya tentu senang-senang saja. Bagi mereka selama masih bisa dikonsumsi, barang gratisan pemberian teman tentu dianggap berkah. Mengingat juga rasa mie instan yang digemari semua kalangan, terutama mahasiswa yang hidup serba praktis menjadi sah-sah saja walaupun itu sudah mendekati masa kadaluarsa. Hanya, yang kami belum ketahui bersama adalah seperti apa kebijakan pihak perusahaan sendiri dalam mengatur produk mereka yang berlebihan tersebut. Atau jangan-jangan mereka memiliki lumbung penampungan mie instan kadaluarsa yang suatu saat bisa dihibahkan dalam rangka sumbangan mungkin? Atau bagaimana kecurigaan kita misalnya saat menanggulangi bencana di Indonesia, salah satu bantuan yang paling mudah dan efisien dirasa adalah mie instan. Jangan-jangan itu diberi begitu saja karena tidak layak lagi di pasar? Atau berkardus-kardus mie instan itu kemudian “dibongkar” lagi untuk bahan menciptakan mie baru? Misal mereka masih menggunakan mie nya dan hanya mengganti bumbu-bumbu pelengkapnya saja, karena biasanya bumbu pelengkap mie yang sudah diproduksi lama akan menggumpal. Jika begitu berapa kadar atau dosis pengawet dalam mie instan?

Setelah sekitar setengah jam berlalu kami berbincang-bincang, anggota bakudapan yang hari itu bertugas mengolah kembali makanan sisa sarapan hotel datang dengan membawa piring-piring berisi menu hari itu. Elia dan Ayash kemudian mempresentasikan menu mereka yang dijuluki “Rerumputan Taman Babilonia” karena mereka berusaha mengkomposisikan makan sisa ini menjadi seperti taman. Tentu saja usaha taman Babilonia ini sebagai bentuk menjadikan hal sisa semenarik mungkin. Seperti biasa mereka juga menghadapi persolan yang sama sejak makan siang pertama. Begitu banyak karbohidrat tersisa seperti nasi goreng, mie goreng, nasi putih, menjadi tantangan yang terulang. Siang itu santapan yang tersedia untuk enam tamu ditambah saya dan Nisa yang menjadi host adalah setangkup mie goreng yang dililitkan ke potongan brokoli dan selada, lumpia isi nasi goreng sisa, dan juga potongan tomat. Saya sendiri merasa, secara visual dan komposisi mungkin sedikit lebih baik dari menu hari pertama. Paling tidak, ada potongan sayur berwarna dalam piring makan siang kami.

Tanggapan menarik datang dari Ibu Agustina, salah satu peserta makan siang yang cukup kaget dengan tampilan makanan yang semua digoreng. Baginya, ketika bersiasat untuk mengatasi sisa ternyata malah menabrak sisi kesehatan. Alih-alih menghabiskan semua apa yang disajikan di piring, ternyata berujung radang tenggorokan atau batuk. Sembari kami berusaha keras menghabiskan makan siang di hadapan kami, perbincangan seputar sisa mengalir kembali.

Ayam Tepung Jadi Ayam Oseng

Salah satu mahasiswi yang kali itu berada di meja makan bersama kami menceritakan pengalamannya tentang sisa di negeri tetangga. Di Thailand ia bercerita ada seseorang yang sengaja mengambil sisa ayam goreng dari restoran cepat saji. Setelah dikumpulkan, kemudian dicuci dan dibersihkannya dari kotoran karena memang sudah dibuang di tempat sampah. Setelah dirasa sudah bersih kemudian ia memasaknya kembali dengan bumbu dan dijualnya. Saat itu kami yang mendengar cerita tersebut merasa semakin sukar menelan makanan di piring kami. Kami semua merespon dengan pertanyaan seputar “bagaimanakah rasanya?” “apakah ada yang membeli?” “atau mengapa memakai ayam bekas untuk dijual kembali?” Semua respon-respon kami kemudian terjawab dengan sederhana sebetulnya. Pasar, yang menghadirkan permintaan makanan yang enak dan murah di kalangan pekerja kasar menjadikan menu olahan ayam sisa ini lazim menjadi konsumsi sehari-hari mereka.

Kemudian sembari menyantap menu kedua, nasi sisa yang dicampur susu, keju dan coklat dan disajikan dengan pisang sebagai olahan makanan manis, kami membahas ayam goreng cepat saji. Dalam pembahasan ini, kami penasaran dengan sisa minyak goreng dan menaruh curiga bagaimana kontrol para perusahaan makanan cepat saji ini dalam mengatur pola produksi mereka. Tidak sedikit juga surat kabar ataupun berita daring yang sempat membahas keresahan warga yang ingin membeli minyak curah ekonomis, yang ternyata justru sumbernya dari minyak bekas penggorengan ayam cepat saji. Ya.. entah sebetulnya bentuk transaksi ini sudah menjadi jaringan dengan informasi “tahu sama tahu” dan sebagai bentuk pemanfaatan sisa, ataukah memang tidak sadar telah terciduk dalam sebuah permainan keuntungan pasar. Apakah antara pihak restoran, distributor, hingga konsumen semua tahu perihal bisnis minyak ini?

Lantas Harus Dibawa Kemana?

Segala cerita tentang pengalaman sisa makanan yang terbangun di meja makan ini kemudian membuat kami bertanya-tanya, seperti halnya dalam semua sub bab dalam tulisan ini yang memang berujung pada pertanyaan. Bagaimana kita melihat sisa dan siapa yang membentuk persepsi kita soal sisa? Hingga yang bersifat praktis, “Kemana dan bagaimanakah sebaiknya makanan-makanan ini dikontrol atau diolah?” Kelebihan limbah, sampah, atau sisa ini berada karena ada konsumsi yang berlebihan. Padahal konsumsi berlebihan kadang-kadang juga sudah menjadi kebiasaan atau hal kultural yang sulit dihindari dan bukan hanya menyangkut pembatasan pada diri sendiri. Contoh yang diberikan Ibu Agustina ini mungkin bisa sedikit mengelaborasi hal ini.

Ibu Agustina tinggal di wilayah perkampungan. Semua acara hajatan terjalin dalam basis kekerabatan, atau misalnya ketika ada acara nikahan maka biasanya para perempuan saling membantu mengolah masakan bersama di dapur yang dalam bahasa Jawa disebut rewang. Upahnya atau sebagai balasan terimakasih biasanya si pemilik hajatan akan menyediakan makan siang bersama di rumahnya. Tidak berhenti disitu ketika Ibu Agustina akan pulang ke rumahnya, ia dibekali makanan untuk diberi ke keluarganya. Padahal, biasanya para wanita yang juga berperan sebagai Ibu rumah tangga sudah menyediakan makanan untuk orang rumah. Tindakan penolakan pemberian tidak mungkin dilakukan, karena dirasa akan tidak sopan. Setelah tiba di rumah, ia pun masih akan diberi hantaran makan satu besek dengan isian nasi dan lauk-pauk yang banyak. Tradisi memberi kemudian dimaknai berbeda dengan cerita Oi sebelumnya. Bu Agustina dan keluarga kemudian merasa terbebani dengan kewajiban menghabiskan semua makanannya. Sedangkan untuk keluarga yang memiliki hajatan, jika mengurangi atau tidak memberi hantaran, dikhawatirkan akan menjadi bahan pergunjingan tetangga. Lantas, strateginya untuk mengatasi kelebihan stok makan seperti ini adalah dengan memberikannya pada ternak milik tentangganya. Di sekitaran rumahnya masih banyak warga yang memiliki ternak ayam kampung. Tentunya ini kemudian menjadi jalan yang melegakan beliau karena tidak jadi mubazir.

Limbah makanan sisa mungkin bisa jadi dimanfaatkan dengan kehadiran ternak. Namun, pertanyaan di belakangnya lagi adalah bagaimana dengan nasib kami yang tinggal di kamar atau rumah petak tanpa halaman? Harus kami kemanakan sisa-sisa ini? Ya.. saat makan siang kedua ini memang kami punya cara paling mudah dan cepat. Kami menitipkan sisa makanan kami untuk ayam-ayam di kampung Bu Agustina Tapi bagaimana dengan sisa makan kami besok?

 

Gloria Mario Virginia, 2017.