Makan Siang 264: Cara Presentasi dan Mencari Data

Beberapa waktu lalu Bakudapan melakukan rapat, seperti hari-hari lainnya, kami cukup sering bertemu. Pada pertemuan yang lalu kami mendiskusikan beberapa hal, termasuk kinerja kami, diantaranya adalah mengenai penulisan reportase kegiatan. Topik ini sebenarnya berkaitan dengan apa yang akan saya tuliskan saat ini, yaitu mengenai proyek 264, proyek yang kami lakukan beserta para pekerja migran Indonesia di Taipei tentang relasi kuasa dapur. Di proyek ini kami menyoroti bagaimana hubungan majikan-pekerja lewat kegiatan masak, makan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu. Proyek ini memang sudah terlalu lama ‘dibiarkan’ begitu saja tanpa ditindak lanjuti — tentu saja jika ingin menggunakan alibi, kesibukan dengan proyek lain tidak bisa di-amini. Sekembalinya saya dan Gatari dari sana, kami sering melakukan obrolan refleksi mengenai pengalaman selama di Taipei. Sayangnya, saat itu kami belum menyadari potensi dari cerita-cerita yang kami dapatkan. Setelah belakangan ini kami kembali mengingat ulang dan berdiskusi bersama teman-teman Bakudapan yang lain, kami menemukan hal-hal menarik yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi penelitian-penelitian berikutnya.

Salah satu poin pertemuan dengan Bakudapan malam itu adalah mengenai tulisan reportase setelah melakukan kegiatan-kegiatan. Dalam proyek 264 sendiri, kami menggunakan bentuk acara makan performatif sebagai acara utama disamping kegiatan pengumpulan data lain. Kami belum banyak membagikan cerita tentang pengalaman tersebut, walaupun pernah melakukan diskusinya beberapa waktu lalu tentang metode penelitian kami yang beririsan dengan metode etnografi yang dilakukan dalam rangka residensi seni.

Pencarian Data

Ditulisan sebelumnya saya menceritakan mengenai proyek yang kami lakukan di Taiwan, yaitu tentang dapur dan relasi kuasa yang tercipta antara pekerja domestik BMI dengan majikannya. Selama proyek ini berlangsung kami melakukan pengumpulan data dengan metode wawancara mendalam bersama beberapa BMI, aktivis buruh migran, dan beberapa warga lokal yang memiliki pengalaman dengan BMI. Disamping wawancara mendalam, kami juga mencoba untuk melakukan observasi partisipatif; datang ke rumah salah satu BMI — berbincang di dapur tempat dia bekerja, berjalan-jalan bersama ke pasar malam saat mereka mempunyai waktu luang, dan juga nongkrong di taman tempat mereka menghabiskan sore bersama orang yang mereka rawat.

Kami berangkat dari permasalahan yang beberapa kali kami dengar setiap melakukan pertemuan dengan para BMI, yaitu mengenai pemaksaan konsumsi daging babi oleh majikan kepada para BMI. Hal ini kemudian kami gunakan sebagai jalan masuk untuk melihat permasalahan lain yang mungkin muncul di dalam dapur. Melalui perjumpaan-perjumpaan yang kami lakukan dengan metode pengumpulan data yang kami gunakan, kami mendapatkan cerita lain mengenai BMI dan dapur. Pemasangan kamera pengawas di dapur untuk mengontrol makan seorang BMI agar tidak membuang makanannya, pengaturan cara makan yang harus berada satu meja dengan majikan agar dapat dikontrol, pelarangan konsumsi jenis makanan tertentu, sampai kerja “multitasking” para BMI[1]. Seringkali, saat ruang makan dibedakan antara majikan dengan BMI, kita akan melihatnya sebagai bentuk ketidaksetaraan dan diskriminasi. Namun, saat mereka berada dalam satu meja yang sama sebenarnya terjadi bentuk diskriminasi yang lain, yaitu kontrol. Hal ini biasa terjadi terutama karena seringnya BMI membuang daging babi yang diberikan oleh majikannya, sehingga saat mereka berada dalam satu meja yang sama maka si majikan akan lebih mudah memastikan bahwa si BMI ini akan menghabiskan semua makanannya, termasuk daging babi. Dari sini kami berfikir kira-kira apa persoalan paling mendasar dari kontrol dan pelanggaran hak atas pilihan makan ini. Apakah tidak ada lembaga yang bisa melindungi hak-hak BMI di Taipei, termasuk hak pilihan makan? Apakah hal ini tidak pernah dibicarakan secara terbuka oleh para BMI sendiri karena dianggap tidak terlalu penting dan dapat mengganggu usaha mencari nafkah mereka? Apakah tidak ada institusi yang menjembatani antara buruh migran dari setiap negara kepada para calon majikan yang bisa menjelaskan persoalan kultur, budaya termasuk kepercayaan atau agama?

Selagi dalam proses mencari tahu hal-hal tersebut, kami mencoba membayangkan dengan cara apa pertanyaan-pertanyaan ini bisa didiskusikan, yang dipancing dengan temuan-temuan sementara kami akan isu ini. Kami kemudian memikirkan untuk membuat acara makan siang, tetapi dengan menciptakan skenario atau alur cerita selama acara berlangsung. Skenario yang kami ciptakan berdasarkan data sementara yang telah dikumpulkan — mengenai isu-isu yang sudah sedikit saya jabarkan diatas. Acara makan siang bertujuan menampilkan data sementara yang kami miliki dan juga mempertemukan orang-orang yang mungkin bisa membicarakan isu ini dengan lebih terbuka. Orang-orang ini kami undang berdasarkan latar belakang mereka masing-masing; BMI, aktivis pekerja migran, dan pekerja seni yang jarang bersentuhan dengan isu pekerja migran. Antara aktivis pekerja migran dengan BMI memang sering bertemu, terlebih karena apa yang mereka kerjakan saling berkaitan. Sedangkan pilihan mengundang pekerja seni lebih karena kami merasa seni bisa melihat persoalan dari sudut pandang yang berbeda dibanding gerakan sosial lainnya. Mereka semua kami pilih dan kami pertemukan dalam acara makan siang ini, yang kemudian harapan kami nantinya dapat menciptakan diskusi dan komentar yang beragam saat acara berlangsung. Kami berharap semua diskusi dan komentar yang muncul selama acara berlangsung dapat kami gunakan sebagai data baru yang penting untuk dicatat.

Merancang Makan Siang

Saya masih ingat proses merancang acara makan siang performatif yang kami adakan di Taiwan tahun lalu. Kami merasa bingung dengan menu apa yang harus disajikan saat acara berlangsung, terutama karena kami ingin memperesentasikan hal-hal yang kami anggap menarik yang ditransformasi menjadi bentuk makanan. Selain makanan, kami juga terpikir untuk memikirkan situasi seperti apa yang ingin diciptakan. Acara makan siang ini kami adakan di tempat kami tinggal, yaitu di Bamboo Curtain Studio. Bayangan kami saat tamu-tamu undangan kami datang dan hanya disajikan makanan-makanan yang sudah kami rancang, akan terasa hanya seperti acara makan biasa dan tidak menyasar isu utama, terutama untuk memahami persoalan relasi kuasa dapur ini. Selain itu lokasi acara di Bamboo Curtain Studio, sebagai tempat residensi seni yang juga lokasinya cukup jauh dari pusat kota, akan terasa asing bagi tamu undangan kami, terlebih karena lingkup kegiatannya jarang bersentuhan dengan para BMI. Sehingga kami memutuskan untuk membuatnya dengan narasi tertentu dan mengandung unsur teatrikal atau bermain peran. Alasan ini kami rasa menjadi penting untuk membangun komunikasi diantara para tamu undangan, terlebih lagi kami tidak hadir selama acara berlangsung. Kami memilih tidak hadir dalam acara makan agar komunikasi yang tercipta dapat berjalan dengan alami tanpa ada intervensi dari penyelenggara acara.

Kemudian kami menciptakan sebuah skenario cerita mengenai lokasi yang kami gunakan dan juga tentang orang-orang yang ada di dalamnya. Kami membuat jalan cerita yang masih terkait dengan proyek residensi kami, yaitu mengenai dapur dan relasi kuasa. Cerita-cerita pengalaman BMI selama bekerja di Taiwan dan juga intrik yang dialami, kami kembangkan melalui jalan cerita yang kami buat bertentangan dengan situasi pada umumnya yang terjadi di Taiwan tentang buruh migran. Untuk menciptakan suasana yang lebih nyata, kami bekerjasama dengan seorang aktor dari Sun Son Theatre, yaitu Wei Loy.

Wei Loy kami buat perannya sebagai seorang bos kaya raya, bernama Zhu Tai Ding, pemilik wilayah Bamboo Curtain Studio yang akan ia jadikan sebuah hotel. Fakta dari cerita-cerita BMI yang kami putar balik dalam jalan cerita makan siang performatif ada beberapa hal; jika orang Taiwan banyak mempekerjakan pekerja migran, Zhu Tai Ding mempekerjakan pekerja asli Taiwan. Hal ini dikarenakan gaji pekerja rumah tangga asli Taiwan lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja migran, dan sebagai orang kaya raya Zhu Tai Ding mampu membayarnya. Selain itu Zhu Tai Ding seseorang yang menyangangi babi, sehingga ia melarang pekerjanya memakan daging babi, tetapi di lain sisi ia memaksa pekerjanya mengonsumsi daging sapi. Cerita pemaksaan makan babi sering ditemui, tetapi kami menggantinya dengan konsumsi daging sapi karena pekerja Zhu Tai Ding berasal dari pelosok desa Taiwan, di mana mereka mempercayai bahwa sapi tidak boleh dikonsumsi, karena sapi merupakan tenaga yang membantu mereka bekerja di pertanian. Disini yang kami tekankan adalah perbedaan budaya dan perspektif sebagai cara masuk membicarakan konflik. Hal ini terjadi karena ternyata banyak orang Taiwan yang tidak menganggap serius persoalan bahwa babi merupakan makanan haram bagi banyak BMI yang mayoritas muslim. Padahal sesungguhnya pilihan makan merupakan hak paling dasar manusia.

Selain ketidak hadiran kami selama acara makan siang ini sampai selesai, dalam undangan kami hanya menyebutkan acara makan siang tanpa memberi tahu dengan jelas detil acaranya. Saat para tamu datang, mereka akan langsung disambut oleh Zhu Tai Ding dan pekerjanya, yang diperankan oleh Sherry, staf serta beberapa pekerja magang dari Bamboo Curtain Studio. Setelah sambutan, para tamu kemudian diajak berkeliling lokasi Bamboo Curtain Studio yang dalam skenario akan dijadikan hotel dan selama tur disisipkan skenario pembicaraan mengenai fakta-fakta tentang BMI. Acara tur rumah ini penting untuk membangun atmosfer dan agar peserta terbawa kedalam cerita yang puncaknya akan ada di acara makan siang. Tujuannya supaya peserta bisa berbicara dan berkomentar lebih banyak tanpa takut dan ragu sedang berada dalam sebuah forum yang membahas tentang BMI yang merupakan bagian dari identitas dirinya. Untuk itu acara ini juga menggunakan bahasa Mandarin dimana tamu undangan biasa berkomunikasi dengan bahasa tersebut.

Makanan Tematik

Di awal saya sebenarnya belum menjelaskan sebenarnya apa itu makanan tematik. Di sini yang saya anggap makanan tematik adalah makanan yang kami ciptakan, baik dari bahan, resep, hingga tampilannya sesuai dengan konsep tertentu, sesuai dengan kebutuhan kami. Peran makanan dalam hal ini kami gunakan sebagai medium untuk menyampaikan data temuan di lapangan. Jadi makanan tematik kurang lebih adalah proses mentransformasi data temuan menjadi sebuah resep masakan. Fungsi dari membuat makanan tematik ini agar narasi kami bisa disampaikan lewat indra pengecap yang akan memancing diskusi lebih dalam. Dalam acara makan siang ini kami menyajikan tiga makanan, yang terdiri dari pembuka, utama, dan penutup. Ketiga makanan ini kami sajikan ditambahkan dengan narasi yang disisipkan untuk memancing diskusi selama makan.

Makanan pembuka kami menyajikan tahu busuk, jajanan khas Taiwan — yang memiliki bau bawang yang sangat tajam, rasanya pun sangat kuat, tetapi kemudian kami menambahkan potongan petai mentah didalam tahu. Bagi orang Taiwan, mereka masih asing asing dengan petai, terutama dengan bau yang dihasilkan setelah mengonsumsi petai. Kami ingin menggambarkan perbedaan budaya dan masa sulit adaptasi awal para BMI saat pertama datang ke Taiwan. Bukan hanya adaptasi mengenai rasa yang harus mereka hadapi, tetapi juga bahasa dan budaya.

Berikutnya, makanan yang kami sajikan untuk membahas masalah utama di dapur yang seringkali dialami adalah mengenai pemaksaaan mengonsumsi daging babi. Kami membuat kerangka kepala babi menggunakan adonan pastri. Ceritanya ini adalah kepala dari babi kesayangan Zhu Tai Ding, karena sudah tua dan hampir mati, ia ingin mengonsumsi dagingnya untuk mengenang babi kesayangannya. Memang terdengar aneh, tetapi sengaja kami buat dramatis. Semua teman BMI yang hadir beragama Islam dan mereka tidak mengonsumsi daging babi. Sehingga saat makanan ini dihadirkan terjadi diskusi, sebab Zhu Tai Ding memaksa semua orang harus makan. Namun, sebenarnya didalam kerangka kepala babi, kami menyajikan nasi ayam hainam, sehingga semua bisa mengonsumsinya. Menariknya, diskusi tercipta tidak hanya mengenai daging babi, tetapi juga mengenai kesepakatan menggunakan alat makan, sebab salah seorang tamu ingin makan dengan tangan langsung, karena menunya adalah ayam. Sebagai seorang bos Zhu Tai Ding menginginkan keseragaman, semua orang harus melakukan hal yang sama. Sehingga Zhu Tai Ding dan seluruh tamu membuat kesepakatan bersama harus makan dengan tangan langsung atau tidak. Kesepakatan ini sendiri menjadi salah satu poin penting dalam skenario yang dibuat untuk acara makan siang. Sebab kami ingin memperkuat karakter Zhu Tai Ding sebagai seorang bos yang suka mengatur dan keras kepala — sehingga semua permintaannya harus dituruti. Hal ini juga cerminan dari cerita-cerita para BMI mengenai karakter majikan mereka. Tetapi dengan kesepakatan bersama, kami juga menekankan soal negosiasi yang mungkin terjadi yang juga merupakan salah satu strategi para BMI di sana.

Terakhir, sebagai penutup kami menyajikan lumpia ala Vietnam, tetapi isinya diganti dengan bahan-bahan yang merepresentasikan jumlah tenaga kerja migran yang berada di Taiwan. Jumlah pekerja migran dari Asia Tenggara cukup banyak ditemui di Taiwan, tidak hanya dari Indonesia. Dalam isi lumpianya, Indonesia digambarkan oleh buah durian, Filipina digambarkan oleh manisan mangga, Vietnam digambarkan dengan kulit lumpia dari tepung beras, dan Thailand digambarkan dengan daun ketumbar.

Setelah semua makanan tersaji, acara makan pun ditutup oleh Zhu Tai Ding dan saya serta Gatari akhirnya keluar untuk bertemu seluruh tamu undangan. Kami menjelaskan tujuan dari acara ini dan alasan mengapa makanan yang mereka makan berbentuk aneh atau terasa aneh. Beberapa dari mereka benar mempercayai situasi yang terjadi pada saat itu; Zhu Tai Ding adalah orang kaya raya, pekerjanya adalah orang Taiwan, dan Bamboo Curtain Studio adalah hotel. Bahkan sempat terjadi protes yang dilakukan salah seorang tamu — di mana dia adalah seorang aktivis buruh migran, ia mempertanyakan mengapa semua orang harus melakukan hal yang sama, mengapa tidak boleh memiliki kebebasan? Kurang lebih inilah gambaran kegiatan makan siang performatif yang kami adakan di Taiwan tahun lalu. Sebagai gambaran singkatnya secara visual, kami membuat video dokumentasi singkat mengenai acara makan siang ini.

 

Catatan :

[1] Banyak BMI yang bekerja di area domestik secara kontrak sebagai perawat lansia, tetapi karena mereka tinggal dengan keluarga tempat mereka bekerja, mereka juga harus merawat anggota keluarga yang lain; memasak, mencuci, bahkan sampai menjemput serta mengantar anak ke sekolah.

 

Khairunnisa, 2017.