Makan Apa Ya?

Khairunnisa

Hampir setiap hari sebenarnya saya punya pertanyaan ini, “makan apa ya?” atau “makan dimana ya asiknya?” Pertanyaan ini pun tentunya akan sulit terjawab dalam waktu yang singkat, terutama kalau saya menentukannya dengan beberapa orang yang lain. Tidak akan habis pergulatan dengan pertanyaan ini jika ada satu atau dua kepentingan mulai bermain — misalnya ada yang ingin makan satu menu tertentu tapi tidak enak untuk mengajak teman yang lain mengikuti kemauannya. Lalu, kondisi ini diperparah dengan adanya teman yang lebih berani untuk mengungkapkan pendapat dan mendorong teman yang lain untuk ikut sejalan dengan keinginannya (baca: tukang maksa secara halus).

Itu bahkan hanya contoh kecil dari apa yang terjadi dalam pertarungan menentukan makan apa.Urusan ‘makan apa’ sendiri sebenarnya kalau ingin ditarik ke tataran yang lebih kompleks lagi bisa menjadi lebih rumit; terkait dengan harga, halal atau tidak, lokasi yang jauh atau dekat, bisa duduk lama di tempat makan atau tidak, dan masih banyak lagi, saya rasa tulisan ini nantinya akan menjadi terlalu panjang. Bagaimana jika pertanyaan ini kita coba lihat dari mereka yang menghasilkan bahan baku makanan, yaitu para petani. Apakah mungkin kerumitan yang dialami terkait ‘makan apa’ akan sama? Mungkinkah kerumitan yang kita alami sebenarnya sangat sepele?

Perkara Lahan

Tulisan ini sendiri tidak berasal dari pengalaman saya bertemu langsung dengan para petani atau melalui proses obrolan yang mendalam dengan mereka. Bisa dibilang, tulisan saya ini didasari atas pengamatan saya dan cerita-cerita pengalaman teman-teman. Kita tentu mengalami kesulitan atau kerumitan terkait dengan makanan salah satunya adalah saat menentukan pilihan menu makanan.

Bagi para petani, mungkin mereka juga mengalami hal yang sama, dengan konteks yang berbeda; tidak dengan pilihan menu makan di luar rumah, tetapi lebih kepada bahan masakan apa yang akan diolah hari itu. Dalam pengambilan keputusan di sebuah keluarga akan terjadi secara kolektif atau diputuskan sepihak oleh bapak atau ibu. Terdapat faktor lain dalam pengambilan keputusan bagi para petani untuk makan sehari-hari, tentunya didukung dengan keuangan mereka yang berasal dari lahan pertanian. Pendapatan mereka dari lahan pertanian tidak hanya menentukan pilihan makanan, tetapi juga untuk menopang perekonomian kehidupan seluruh keluarga mereka. Jika lahan pertanian adalah sumber utama pendapatan mereka, tentunya relasi yang tercipta antara petani dengan lahan pertaniannya dapat dikatakan cukup intens dan erat karena setiap harinya mereka akan selalu berinteraksi.

Antara petani yang membutuhkan lahan untuk hidup dan lahan yang membutuhkan petani agar mereka tetap produktif. Pendapatan yang dihasilkan oleh petani berasal dari lahan pertanian mereka yang produktif dan juga subur, sehingga tidak sulit untuk mencapai musim panen. Pertanian merekapun tidak melulu untuk memenuhi permintaan pasar, terkait dengan apa yang bisa dijual, tapi juga dengan apa yang bisa mereka konsumsi untuk sehari-hari. Tentu, tidak semua petani akan memiliki pola kerja yang sama, yaitu menjadi petani subsisten; menanam tanaman komoditas dan juga untuk konsumsi pribadi. Kedua kepentingan ini biasanya otomatis akan sejalan tumbuh tanpa mementingkan satu diantara yang lain. Dengan pengetahuan turun menurun mereka, mereka menciptakan sistem pengaman, sehingga jika terjadi gagal panen atau musim panen datang terlambat kebutuhan konsumsi pribadi pun tidak akan terganggu. Memang, pendapatan mereka akan berkurang tapi masih bisa menunjang kebutuhan lainnya, sebab untuk urusan konsumsi sehari-hari akan tetap terpenuhi.

Menjadi petani subsisten adalah gambaran ideal kehidupan petani, terlebih saat mereka mempunyai lahannya sendiri. Secara pribadi, mereka akan sangat mandiri; tidak terikat dengan biaya sewa lahan, naik turun harga jual, dan ketergantungan terhadap konsumsi atas bahan pangan di pasar. Saya membayangkan posisi para petani seperti itu, merupakan salah satu pekerjaan yang menjanjikan, tetapi kenyataannya berada pada posisi yang rentan.

Hilangnya Pilihan Demi Kepentingan

Posisi rentan yang dihadapi oleh para petani sudah lama terjadi, yang paling saya ingat pada masa kebijakan Revolusi Hijau sekitar tahun 1950-an. Kalau membicarakan apa yang terjadi sekarang, yang paling dekat dan masih lekat dengan ingatan kita adalah penggusuran lahan para petani di Temon, Kulon Progo. Para petani di Temon melakukan perlawanan atas penggusuran lahan mereka untuk pembangunan bandara baru di Yogyakarta, yaitu New Yogyakarta International Airport (NYIA). Lahan yang digusur ini merupakan lahan pertanian milik pribadi; masih produktif, aktif, subur, sumber ekonomi, dan warisan leluhur. Memang, kalau hanya melihat lahan sebagai “tanah” tanpa memahami apa sebenarnya maknanya bagi para petani di sana, dapat dengan mudah memberi solusi, seperti ganti rugi uang, maka semua akan beres. Mendapatkan ganti rugi berupa uang merupakan imbalan yang “dianggap” adil atas pelepasan lahan milik pribadi demi kepentingan publik. Ya, bagi saya, kepentingan publik sering digunakan sebagai alasan yang menekan pihak-pihak tertentu untuk menyerahkan hak milik atas lahan mereka. Memang, bandara ini kan menjadi pintu gerbang perekonomian yang besar bagi Yogyakarta; membuka jalur langsung penerbangan internasional, memberi lahan pekerjaan yang baru, dan pariwisata pun akan semakin maju dan sederet logika pembangunan kapitalis lainnya. Alasan-alasan ini dianggap menjadi kepentingan bersama yang sering mengorbankan satu pihak tertentu, pada kasus ini para petani di Temon-lah yang dihilangkan haknya untuk dapat memilih.

Tentu jika bisa memilih, para petani di Temon akan menolak untuk dipindahkan dan diambil lahannya guna kepentingan bersama, yaitu NYIA. Mendapatkan ganti rugi uang bukanlah perkara mudah bagi mereka. Bagi para petani uang tidak dapat menggantikan “kehidupan” yang dicerabut dari mereka. “Kehidupan” disini mengacu pada lahan pertanian, di mana sebelumnya saya mencoba menggambarkan bahwa seluruh hidup petani berpusat pada lahan pertanian tersebut, mulai dari kehidupan sosial, ekonomi, politik hingga spiritualnya. Mungkin uang ganti rugi bisa dipakai untuk membeli lahan pertanian baru? Ya, mungkin, tapi harga tanah sendiri sekarang sudah menjulang tinggi, apa cukup? Di Condong Catur sendiri, cukup masuk kedalam area kampung, harganya sudah mencapai Rp 4,000,000/m².

Kembali lagi jika mengacu pada memaknai lahan hanya sekedar tanah, properti atau benda mati, memang akan mudah menggantinya dengan produk atau benda lain. Namun, jika melihatnya lebih dalam lagi bagaimana relasi yang tercipta atas hubungan antara petani dan lahannya, pengetahuan apa saja yang tercipta juga berkembang didalamnya, membuat “mengganti uang” tidak menjadi solusi. Kalau lahan pertanian berada dalam posisi rentan karena ada kekuatan lebih besar, yaitu pembangunan demi kepentingan publik, berapa banyak lagi petani yang harus kehilangan lahannya demi segelintir orang yang disebut “publik”?

Melihat Kembali Penolakan

Kondisi di Temon saat ini semua rumah yang pada awalnya masih bisa bertahan, di bulan Juli 2019 kemarin, semuanya telah rata dengan tanah. Para petani bukan hanya kehilangan rumahnya tetapi juga kehilangan lahan pertanian mereka. Kehilangan yang mereka alami ini bukan berarti menjadi akhir dari perlawanan dan menyerah. Mereka terus bertahan. Tidak hanya bertahan secara fisik, yang berarti bertahan di area yang dekat dengan pembangunan bandara. Bertahan juga berarti secara terus menerus konsisten menolak ide pembangunan itu sendiri. Bagi saya, melihat penolakan itu sendiri sekarang tidak bisa secara hitam dan putih, misalnya kalau saya menolak pembangunan NYIA, berarti saya tidak akan pernah menginjakkan kaki saya di sana atau menggunakan fasilitas dari bandara itu sendiri. Terkait dengan isu NYIA sendiri penolakan yang bagi saya bisa dilakukan adalah dalam bentuk kesadaran, sadar akan isu pembangunan yang tidak berkeadilan yang terjadi di sekitar saya. Menjadi lebih peka terhadap wacana-wacana “pemajuan” yang seringkali digunakan untuk menghisap dan mengeksploitasi kelompok dan warga miskin.

Kulon Progo sebenarnya hanya berjarak tidak sampai satu jam dari Kota Yogyakarta. Namun profesi petani dirasa sangat jauh dengan kehidupan mereka yang berada di kota, tapi sebenarnya sangatlah dekat. Saya sempat merasa isu penggusuran yang dialami petani di Temon terasa jauh. Namun, kenyataannya, penggusuran semacam ini akan dapat terjadi pada kita yang berada di kota. Penggusuran yang dialami para petani di Temon hanyalah satu kasus dari kemungkinan penggusuran lain yang terjadi di Indonesia atas nama pembangunan dan kepentingan publik. Berdirinya NYIA nanti hanyalah awal mula dari penggusuran-penggusuran di masa mendatang yang memiliki alasan “untuk mendukung akses menuju NYIA” atau “mendukung perkembangan pariwisata” atau “demi memajukan ekonomi”. Kesadaran bahwa penggusuran di Temon adalah permasalahan bersama, merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan kita saat ini. Menolak memiliki spektrum yang berlapis, kita sebaiknya perlahan-lahan mencoba melihatnya satu persatu. Jika lahan pertanian secara perlahan digusur keberadaannya, mau makan apa kita nantinya?