Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kiriman

Makanan, Racun dan Ekonomi Politik

Esai / Politik Pangan
  • 8 Agustus 2017
  • Muhammad Reza Hilmawan, S. Ant.
Dokumentasi karya Taring Padi; "Festival Memedi Sawah" (1999), Arsip IVAA.

Tulisan ini akan membahas bagaimana Revolusi Hijau sebagai agenda kapitalisme, dalam rangka produksi dan reproduksi tenaga kerja murah yang mengesahkan zat beracun sebagai bagian dari makanan secara besar-besaran yang berdampak pada kesehatan tubuh manusia. Dalam menjelaskan hal tersebut, tulisan ini akan memaparkan konsep tentang apa itu makanan, praktik produksi bahan pangan pada Revolusi Hijau, dampaknya pada makanan dan lingkungan yang berujung pada kesehatan tubuh manusia dan menjelaskannya dengan konsep Marxis tentang produksi dan reproduksi tenaga kerja.

Apa itu makanan? Pertama-tama, kriteria biologis makanan adalah suatu hal yang dikonsumsi untuk pemenuhan nutrisi di dalam tubuh manusia. Secara biologis, manusia merupakan organisasi fisik yang tersusun atas berbagai zat dan organ yang membentuk sistem metabolisme dalam tubuhnya. Metabolisme ini harus dipenuhi dengan cara makan (Marx & Engels. 1998: 36-37). Namun, makanan tidak hanya berhenti pada tataran fungsi biologis dan pemenuhan nutrisi. Misalnya, bagi sebagian besar orang Jawa, meski kucing memiliki nutrisi untuk pemenuhan kebutuhan hidup secara biologis, kucing bukanlah makanan. Namun jika kita lihat pasar Tomohon di Manado yang menjual daging kucing sebagai bahan makanan dan orang-orang di sana yang menganggap bahwa kucing adalah makanan, kita mendapati bahwa makanan juga soal kultural. Sampai tahap ini, kita mendapati bahwa makanan memiliki unsur biologis dan kultural.

Jika kita lihat bahan makanan yang di jual di pasaran beberapa tahun belakangan ini, kita akan menemukan kategori makanan non organik dan organik. Apa yang kita dapati secara empiris adalah adanya perbedaan harga yang cukup jauh di antara keduanya. Makanan organik cenderung jauh lebih mahal dan berjumlah sedikit dibandingkan dengan makanan non organik. Selain perbedaan

harga, terdapat perbedaan kualitas di dalamnya. Makanan organik adalah makanan yang diproduksi secara alami tanpa menggunakan bahan kimia berbahaya dalam produksinya, berbeda dengan makanan non organik yang diproduksi dengan bahan kimia pendukung seperti pestisida (Thio & Harianto & Sosiawan. 2008). Sejauh ini yang diyakini masyarakat umum, berdasarkan proses produksinya, makanan non organik memiliki potensi berbahaya bagi tubuh.

Makanan juga diproduksi secara berkelompok dan memiliki cara-cara tertentu oleh manusia dalam suatu masyarakat. Dalam masyarakat dengan formasi sosial kapital, orang- orang harus membeli komoditi bahan makanan hasil kerja pekerja dan milik seorang kapitalis di pasar dengan menggunakan uang. Misalnya, para buruh tani mengolah lahan sang pemilik lahan baik dengan sistem sewa maupun upah, hingga menghasilkan komoditi bahan makanan dan kemudian bahan makanan tersebut dilempar ke pasar hingga orang-orang dapat membelinya di sana. Bahkan sang buruh tani yang mencurahkan tenaga kerjanya dalam produksi komoditi bahan makanan tersebutpunharus membelinya dari pasar, karena bahan makanan sebagai komoditi tersebut milik sang pemilik lahan yang mengupahnya (Marx. 1887: 128).

Makanan non organik secara historis muncul secara besar-besaran dalam program Revolusi Hijau yang berskala internasional dan dimodali oleh beberapa organisasi kelas kakap seperti: World Bank, United Nations, Ford Foundation dan lainnya (Glaeser. 1987). Indonesia sebagai salah satu negara yang dikenal sebagai negara agraris, bagian dari dunia ketiga serta negara yang kiblat afiliasi politiknya yang menghadap ke Barat setelah Orde Baru berkuasa tentunya tidak luput dari program global ini. Salah satu contoh kasus di Indonesia adalah program Revolusi Hijau yang dijalankan pada era Orde Baru.

Program ini dibesarkan dengan semangat pembangunan pertanian dalam pembangunan nasional. Penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi mulai digalakkan dalam program ini guna peningkatan produksi bahan pangan dari pertanian (Husodo. 2013). Dipengaruhi oleh konsep agung “supply-demand” dalam kerangka ekonomi kapital, bahan makanan organik yang lebih sehat tentu diminati orang banyak, namun kelangkaannya dibanding dengan bahan makanan non organik akibat jumlah panen yang lebih sedikit dalam rentang waktu tertentu mengakibatkan harganya lebih mahal. Akibatnya, sebagian besar orang yang tidak dapat mengaksesnya harus memilih makanan yang biasa-biasa saja (non organik). Yang penting bisa makan untuk hidup. Hal ini kemudian memiliki konsekuensi tersendiri. Setidaknya, terdapat dua konsekuensi terkait hal ini; lingkungan dan kesehatan tubuh manusia.

Peran bahan-bahan kimia pendukung pertanian seperti pestisida dapat menghasilkan suatu reaksi kimia yang berbahaya dan meninggalkan sisa yang berbahaya pula dalam produksi bahan pangan, sebagaimana dikutip dari Skidmore dan Ambrus (2004: 64):

“Ketika pestisida digunakan, ia memasuki lingkungan yang buruk dan mengalami rentang reaksi yang luas dalam aspek biologi (enzim), kimiawi (hidrolisis) dan fisik (fotolisis), terdapat kemungkinan adanya perubahan pada sifat kimiawinya. Struktur kimiawi yang baru ini, yang disebut sebagai metabolit atau produk degradasi, memiliki sifat berbeda yang melekat jika dibandingkan dengan pestisida asalnya dan dampak dari perubahan ini mesti ditinjau baik dari segi lingkungan dan keamanannya bagi manusia”.

Pestisida, sedari awal sudah merupakan zat yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan, terutama untuk para petani dan orang yang tinggal di lingkungan pertanian dengan pestisida tersebut. Kemudian ditambah dengan bahan pangan yang diproduksi menggunakan pestisida yang lalu masuk ke dalam tubuh. Selain penggunaan pada produksi langsung bahan pangan menggunakan pestisida, sisa dari penggunaan pestisida juga memiliki peluang untuk mengendap di tanah, menyebar di udara dan air hingga hinggap ke benda-benda di sekitarnya. Maka, meskipun produksi bahan pangan selanjutnya tidak menggunakan pestisida, sisa dari penggunaan pestisida sebelumnya dapat meresap ke dalam produksi bahan pangan selanjutnya di tempat yang sama dan sekitarnya yang terkontaminasi (Holland dan Sinclair. 2004: 27-58). Dalam hal ini, pestisida juga mempengaruhi lingkungan secara berkelanjutan selain mempengaruhi secara langsung produk bahan pangan yang diproduksi menggunakannya. Agustina (2010: 53-65) juga menyatakan bahwa kontaminasi logam berat juga disebabkan oleh penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi dalam produksi bahan pangan. Logam berat ini menjadi berbahaya karena kandungan di dalamnya serta sifatnya yang tidak dapat dihancurkan oleh organisme di lingkungan hidup yang terkontaminasi. Akumulasi logam berat yang menyebar ke lingkungan juga dapat berakibat kontaminasi pada hewan ternak yang mengkonsumsi tumbuhan di lingkungan tersebut. Kontaminasi logam berat ini dapat berdampak pada kesehatan tubuh manusia. Kontaminasi yang dapat bersifat akumulatif ini dapat berpotensi menciptakan gangguan sistem saraf, kerusakan otak, kelumpuhan, terhambatnya pertumbuhan, kerusakan ginjal, kerapuhan tulang, kerusakan DNA dan kanker pada tubuh manusia.

Jika ditinjau dari pandangan empiris yang terbatas dan sekilas, racun-racun yang ada dalam cara tertentu pada produksi makanan ini memang tidak signifikan dalam jangka pendek. Namun, ia tetap memiliki dampak bagi tubuh dan kesehatan manusia dalam jangka panjang melalui sifat akumulatifnya. Bisa kita lihat misalnya dari laporan-laporan penelitian seperti laporan penelitian dari Pestizid Aktions-Netzwerk (2012) yang memaparkan dampak-dampak pestisida bagi kesehatan manusia, baik secara biologis maupun secara mental.

Lalu bagaimana menjelaskan hal ini? Corak produksi kapital untuk terus berjalan membutuhkan produksi dan reproduksi tenaga kerja secara besar-besaran untuk menciptakan nilai lebih dalam jumlah besar pula agar dapat senantiasa berekspansi. Marx menjelaskan bahwa dalam produksi serta reproduksi tenaga kerja, nilai tenaga kerja sebagai komoditi juga ditentukan dengan cara yang sama dengan komoditi yang lain, yaitu waktu produksi rata-rata secara sosial komoditi tersebut. Dalam konteks tenaga kerja, apa yang membentuk nilainya sebagai komoditi adalah kebutuhan subsisten sang pekerja yang salah satunya adalah makanan (Marx. 1887: 118-120). Maka, makanan yang khususnya untuk para pekerja harus diproduksi dalam jumlah banyak dan murah. Salah satu upaya kapitalisme dalam memenuhi kondisi tersebut adalah penggunaan bahan kimia dalam produksi bahan makanan.

Makanan, selain dibentuk oleh aspek biologis dan kultural, juga dibentuk oleh ekonomi-politik yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kapitalisme sebagai corak produksi dan mendominasi dalam suatu formasi sosial masyarakat memiliki kepentingan untuk menciptakan nilai lebih agar sebagai suatu sistem ia dapat menjalankan dirinya dan senantiasa berekspansi untuk memperbesar dirinya. Dalam upayanya tersebut, ia membutuhkan pekerja dan tenaga kerja di dalam pekerja tersebut sebagai komoditi. Oleh karena tenaga kerja sebagai komoditi ada di dalam tubuh seorang pekerja, manusia yang merupakan organisasi fisik-biologis serta mahluk sosial, kapital harus memproduksi dan mereproduksi tenaga kerja dalam kerja tersebut dengan cara pemenuhan kebutuhan subsistennya, yang salah satu aspek terpentingnya adalah makanan.

Manusia yang hidup secara sosial ini, yang juga tenaga kerjanya sebagai komoditi, nilainya (yang kemudian dikonversi ke harga) ditentukan oleh waktu rata-rata secara sosial yang dibutuhkan dalam produksi kebutuhan subsistennya, dalam hal ini pada aspek makanan. Sebagai penentu nilai (dan kemudian harga), makanan harus diproduksi banyak dan murah agar nilai lebih tercipta. Upaya dari pemenuhan kondisi ini dilaksanakan dengan program Revolusi Hijau dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti pestisida dan pupuk kimia dalam produksi bahan pangan guna mencapai harga murah dan produksi melimpah.

Upaya yang ditempuh ini kemudian memiliki dampak terhadap makanan yang diproduksi dan lingkungan yang berujung pada potensi gangguan kesehatan tubuh manusia yang mengkonsumsi. Bahan kimiawi beracun seperti pestisida yang mengandung logam berat digunakan dalam produksi bahan pangan yang secara langsung berinteraksi dengan bahan pangan yang diproduksi mengendap dan mengakibatkan reaksi yang menciptakan zat yang lebih berbahaya daripada pestisida asalnya. Selanjutnya, sisa-sisa kimia dari pestisida tersebut menyebar di lingkungan produksi bahan pangan tersebut. Penyebaran ini bisa melalui air, udara dan tanah. Sisa-sisa kimiawi ini, seperti logam berat di dalamnya, berakumulasi karena sifatnya yang tidak dapat dihancurkan oleh organisme hidup di lingkungan tempat menyebarnya. Konsekuensinya adalah makanan yang dikonsumsi oleh manusia, baik yang berasal dari bahan pangan yang diproduksi secara langsung menggunakan pestisida maupun secara tidak langsung (seperti hewan ternak yang minum air serta rumput yang terkontaminasi sisa pestisida), mengakibatkan potensi dan terjadinya gangguan kesehatan manusia.

Apa yang perlu ditekankan pula dalam tulisan ini adalah bahwa suatu cara produksi makanan dalam suatu masyarakat bersifat sosial, bukan individual. Jadi, racun-racun yang bukan makanan namun disahkan menjadi makanan ini sifatnya struktural. Terdapat suatu sistem yang mengkondisikannya menjadi seakan hal yang lumrah. Bukan salah si Joni yang jahat atau si Dodi yang tamak. Ini persoalan sistem yang tidak manusiawi. Jadi, apa yang harus diubah adalah sistem yang mengkondisikan cara produksi makanan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Titin. 2010. Kontaminasi Logam Berat pada Makanan dan Dampaknya pada Kesehatan, dalam TEKNUBUGA volume 2. Universitas Negeri Semarang: Semarang, h. 53-65.

Glaeser, Bernhard. 2011. The Green Revolution Revisited. Routledge: New York.

Thio, Sienny dan Sari Harianto, Ninna Yuanita & Sosiawan, Ricky Ferdinand. 2008. Persepsi Konsumen terhadap Makanan Organik di Surabaya, dalam Jurnal Manajemen Perhotelan vol. 4 no.1. Petra Christian University: Surabaya, h 19-20.

Holland, Jack dan Sinclair, Phil. 2004. Environmental Fate of Pesticides and the Consequences for Residues in Food and Drinking Water, dalam Hamilton, Dennis dan Crossley, Stephen (ed.) Pesticide Residues in Food and Drinking Water. John Wiley & Sons, Ltd: West Sussex, h. 27-58.

Husodo, Sapto. 2013. Penggunaan Pestisida untuk Padi dalam Konteks Ketahanan Pangan Global. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Yogyakarta: Yogyakarta.

Marx, Karl. 1887. Capital: Volume I. Progress Publishers: Moscow, h 118-120 & 128.

Marx, Karl dan Engels Friedrich. 1998. The German Ideology. Prometheus Books: New York, h 36-37.

Pestizid Aktions-Netzwerk. 2012.Pesticides and Health Hazards: Facts and Figures. Pestizid Aktions-Netzwerk: Hamburg.

Skidmore, Michael W dan Ambrus, Arpad. 2004. Pesticide Metabolism in Crops and Livestock, dalam Hamilton, Dennis dan Crossley, Stephen (ed.) Pesticide Residues in Food and Drinking Water. John Wiley & Sons, Ltd: West Sussex, h. 64.


*Penulis adalah anggota Perhimpunan Muda dan Vokal/Drum Band Punk Rock Torpedoest

Tulisan ini diterbitkan pula di: indoprogress.com

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.