Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kiriman

Jejak Kuliner di Hotel Prodeo

Esai / Publikasi Ulang
  • 13 November 2017
  • Andreas Maryoto

Ketika wisata kuliner cenderung monoton, dorongan dan selera orang untuk bermakan ria mulai mengarah ke tempat dan jenis makanan yang aneh, asing, dan eksotis. Eksplorasi kuliner tidak hanya dilakukan di rumah, restoran, dan lain-lain. Satu hal yang perlu dicoba adalah kuliner bagi mereka yang hidup di bui alias hotel prodeo. Anda ingin memelopori?

Indonesia memiliki sejarah yang panjang soal yang satu ini. Ratusan tahun yang lalu kita telah memiliki jejak kuliner di tempat yang sungguh-sungguh tidak diharapkan oleh semua orang itu. Riwayat kuliner di penjara ini bisa dilacak di buku Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia (1964) karya RA Koesnoen.

Sejak VOC masuk telah ada dua jenis rumah tahanan. Pertama, rumah tahanan untuk pekerja seks, orang malas bekerja, dan pemabuk (didirikan tahun 1596). Adapun rumah tahanan kedua untuk mereka yang malas bekerja dan peminta-minta (didirikan tahun 1597). Namun, tidak ada riwayat kuliner yang jelas. Rumah itu disebutkan didirikan di A’dam.

Riwayat kuliner juga tidak bisa terlacak pada masa berikutnya ketika VOC membuat tiga jenis rumah tahanan, yaitu bui, tahanan untuk orang yang dirantai (ketingkwartier), dan rumah tahanan perempuan (vrouwentuchthuis) di Batavia tahun 1601.

Dalam buku itu hanya disebutkan, kepala bui untuk pegawai VOC (geweldiger), selain mendapat gaji, juga diperbolehkan mengurangi ransum para tahanan. Kepala bui untuk orang-orang preman (cipier) juga diperbolehkan mengurangi ransum tahanan dengan porsi yang lebih kecil. Preman yangditahan juga harus membayar uang makan. Uang hasil kutipan ini diserahkan kepada kepala rumah tahanan. Kepala rumah tahanan ini lalu menyediakan makanan.

Setelah VOC runtuh, Belanda menguasai Nusantara dan mendirikan Hindia Belanda. Pada tahun 1816-1854, ada dua golongan tahanan yang harus mengikuti kerja paksa. Tahanan pertama adalah mereka yang dipidana kerja paksa dengan dirantai dan yang kedua adalah mereka yang dipidana kerja paksa biasa dengan mendapat makanan tanpa upah. Mereka diberi makan dan dipelihara oleh pemerintah. Tidak disebut jenis makanannya dan pemeliharaan yang dimaksud.

Peraturan tentang makanan bagi mereka yang hidup di bui baru muncul pada tahun 1829, yaitu Staatblad 1829 Nomor 73. Setiap golongan tahanan mendapat nasi dan garam sesukanya setiap dua hari sekali, mendapat setengah pon ikan kering atau daging kerbau, sayuran, bawang merah, dan sedikit merica. Mereka juga mendapat satu gulden setiap bulan untuk membeli sirih.

Perbaikan kondisi rumah tahanan dan juga makanan bagi mereka yang menghuni penjara mulai dilakukan pada periode 1854-1870. Pada tahun 1856 ada perbaikan dalam hal kesehatan, ketertiban, pakaian, dan makanan bagi para tahanan.

Makanan untuk tahanan dari Eropa diperbaiki. Di salah satu bui di Surabaya disebutkan, setiap pukul enam pagi tahanan Eropa mendapat roti dan kopi. Pada jam makan siang (pukul 11.00), mereka mendapat nasi kentang, sayur, sup, daging, ikan,dan kerry. Pukul empat sore, kembali mereka mendapat makanan seperti saat makan siang. Namun, golongan pribumi masih mendapat jatah sesuai Staatblad 1829 Nomor 73.

Perbedaan makanan dan fasilitas lainnya bisa terlihat dari ongkos untuk tiap tahanan. Biaya tahanan Eropa dalam setahun sebesar 304,20 gulden dan biaya tahanan untuk golongan pribumi sebesar 65,70 gulden.

Perbaikan makanan selanjutnya dilakukan pada 1861. Perbaikan ini dilaporkan tidak mengecewakan tahanan orang Eropa dan pribumi. Namun, tahanan orang Tionghoa (yang di dalam penjara digolongkan sebagai pribumi) merasa tidak kenyang dengan makanan yang diberikan. Pengelola penjara menanggapi keluhan mereka hingga kemudian diperbaiki.

Makin baik

Kondisi penjara makin baik pada periode 1870-1905 ketika Pemerintah Hindia Belanda meminta Residen Riau meninjau penjara di Singapura. Peninjauan ini dilakukan untuk melihat pengelolaan penjara di negara tetangga itu. Dari peninjauan ini diharapkan ada usul perbaikan.

Setelah melalui perdebatan, perbaikan dalam pengelolaan penjara dilakukan melalui Staatblad 1871 Nomor 78. Peraturan ini memisahkan tiga golongan di dalam penjara. Peraturan turunannya menyebutkan, orang yang mengganggu keamanan di dalam penjara akan dikenai hukuman dipukul dengan rotan. Sebelumnya diberi hukuman percobaan dibelenggu di dalam kamar sendirian serta dua hari sekali hanya diberi nasi dan air.

Meski dalam masa berikutnya ada perbaikan, hal itu hanya dialami oleh tahanan berkebangsaan Eropa. Pada tahun 1877 disebutkan menu makan untuk mereka, setiap hari mendapat 9,20 pon roti, 0,35 pon nasi, 0,20 pon sayur, 0,03 pon lemak sapi, 0,005 pon kerry, 0,002 pon lombok, 0,02 pon garam, 0,001 pon lada, 0,015 pon kopi, dan 0,004 pon teh hitam. Mereka juga enam kali dalam seminggu mendapat 0,20 pon daging sapi dan 0,20 pon kentang, sekali seminggu mendapat 0,15 pon daging babi, 0,25 pon kapri hijau, dan 0,025 ikan cuka.

Di dalam Pewarta Deli tertanggal 11 Juli 1932 ditulis, “Di kota sering ada orang jang menjamperi pintu bui, minta dirawat di bui sadja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui misih kenjang makan, sedang di luar belum tentu sehari sekali.” Penderitaan hidup yang luar biasa sepertinya menjadikan mereka memilih hidup di bui.

Jejak kuliner di dalam bui sudah pasti masih panjang lagi apabila dirinci hingga masa sekarang, baik semasa mulai Orde Lama, Orde Baru, maupun sekarang. Catatan Pramoedya Ananta Toer tentang tahanan yang terpaksa memakan cicak dan hewan lainnya di Pulau Buru bisa memberi contoh “menu” yang terpaksa harus dimakan oleh tahanan politik di bui.

Contoh lainnya adalah menu yang dinikmati oleh Rahardi Ramelan ketika menghuni Penjara Cipinang, seperti diceritakan dalam buku Cipinang Desa Tertinggal (2008). Rahardi menyebutkan beberapa makanan “khas” Penjara Cipinang, seperti tempe jaket, tempe kotak, cadong, dan reman.

Sampai di sini Anda mungkin masih penasaran dan berpendapat tidak ada manfaatnya membahas kuliner yang satu ini. Akan tetapi, Anda akan terperangah ketika mengetahui di tengah modernitas Singapura, mereka malah meneliti dan mengkaji makanan-makanan yang “dinikmati” para pendahulu mereka ketika mereka dijajah Jepang dan terpaksa menjadi tahanan.

Alat kuliner dan menu makan selama mereka dijajah Jepang pernah dipamerkan di salah satu museum di Singapura. Catatan tentang hal ini juga telah dibukukan oleh Wong Hong Suen dalam buku Wartime Kitchen, Food and Eating in Singapore 1942-1945.

Mencoba menikmati kuliner di hotel prodeo bukan soal enak atau tidaknya makanan itu, tetapi kita bisa “menikmati” sejarah sebuah bangsa di sebuah tempat yang sebenarnya tidak dikehendaki semua orang. Siapa tahu Anda akan memelopori eksplorasi kuliner ini?

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.