Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Pekan Membaca Bakudapan: Women, Gender, and Agency in Italian Food Activism

Esai / Politik Pangan
  • 16 April 2017
  • Irindhita Laras
Foto oleh H. Armstrong Roberts

Di suatu sore beberapa waktu lalu, kami mengadakan pekan membaca menggunakan salah satu bab dari buku yang sedang kami kupas selama beberapa bulan belakangan ini, yaitu dari buku “Food Activism: Agency, Democracy and Economy”. Kali ini saya mendapat kesempatan untuk memilih bab yang berjudul “Women, Gender, and Agency in Italian Food Activism” oleh Carole Counihan. Seperti tertera pada judul bab-nya, tulisan ini banyak membahas peran-peran perempuan dalam kaitannya dengan produksi dan konsumsi makanan.

Perempuan sendiri telah memiliki sejarah panjang akan perannya dalam memegang tanggung jawab utama untuk memasak serta mengurus pekerjaan domestik lainnya, seperti membesarkan anak ataupun mengurus pekerjaan rumah. Dengan begitu sudah tidak heran lagi jika urusan makan adalah hal yang lekat kaitannya dengan tugas perempuan, karena merupakan salah satu bentuk kegiatan domestik dan biasanya terjadi di bagian belakang rumah yaitu dapur. Lalu seiring dengan berjalannya waktu, modernitas telah mentransformasikan makanan serta moda produksinya dari yang awalnya bertujuan sebagai pemenuhan kebutuhan nutrisi, kini banyak dikomodifikasi. Awal mulanya makanan hanya dilihat dari fungsinya sebagai sekadar pengisi perut, namun sekarang banyak pengaruh mulai dari faktor sosial budaya hingga pasar global dan ekonomi yang telah mengubah cara kita berinteraksi dengan makanan. Keadaan ini pula yang menyebabkan semakin banyaknya transisi ruang sosial pada perempuan, dari sektor domestik hingga ke sektor publik. Karena itu saya memilih untuk membahas bab ini yang dirasa cukup berkaitan dengan fenomena tersebut. Dalam bab ini, Counihan menyoroti pengalaman empat perempuan dari Italia dengan latar belakang berbeda, yang mencurahkan waktu serta energinya dalam merevitalisasi sistem pangan lokal di Cagliari, sebuah kawasan di pulau Sardinia, Italia.

Narasumber pertama bernama Anna Cossu, yang lahir pada tahun 1974 dan merupakan sarjana hukum dari Universitas Cagliari. Ia pernah bekerja sebagai konsultan untuk proyek-proyek pembangunan di Sardinia, namun di tengah krisis ekonomi dan kekurangan dana untuk menjalankan proyeknya, ia menggunakan jeda kerja ini sebagai kesempatan untuk menjadi volunteer dalam memimpin Slow Food Cagliari. Kegiatan yang pertama kali diprakarsai oleh Cossu adalah program mengenai bir yang terbagi dalam 3 segmen, yaitu bekerjasama melalui kelas pembuatan bir lokal (home-brewing), teknik mencicipi bir oleh seorang ahli bir, serta serangkaian makan malam yang berpusat pada edukasi mengenai bir. Tujuannya adalah untuk memperluas jaringan Slow Food serta mempromosikan produk pangan lokal melalui produk bir.

Kemudian narasumber yang selanjutnya masih dari Slow Food, yaitu Alessandra Guigoni. Ia lahir di Genoa pada tahun 1968 lalu memutuskan untuk pindah ke Sardinia pada tahun 1993 karena mengikuti pekerjaan suaminya. Ia adalah seorang antropolog dan merupakan anggota Slow Food Cagliari yang cukup aktif.

Suatu saat di sebuah acara book fair di Villamassargia (sekitar tiga puluh mil dari Cagliari), Alessandra Guigoni mengenalkan Teresa Piras kepada Counihan. Piras berusia 68 tahun pada waktu itu dan kemudian menjadi narasumber Counihan selanjutnya. Ia pernah bekerja sebagai guru dan juga merupakan seorang pemimpin Domusamigas, yaitu sebuah komunitas pengembangan diri yang dilakukan oleh sekelompok perempuan di Italia.

Lalu narasumber terakhir adalah Francesca Spiga, pemilik sekaligus pengelola toko Organic Food Emporium di Cagliari. Toko tersebut dahulu dibangun bersama suaminya namun kemudian bercerai sehingga ia harus mengelolanya seorang diri. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai periset di bidang farmasi untuk sebuah perusahaan besar. Namun kemudian ia berpikir bahwa toko organik nya merupakan proyek yang cukup ideal untuk menentang sistem pangan agro-industri yang tidak hanya dapat mengubah hidupnya namun bahkan memungkinkan orang lain untuk mengonsumsi makanan yang lebih sehat dari produsen lokal dan lingkungan disekitarnya. Ia sempat bercerita sedikit akan keluh kesahnya dalam menjalankan bisnis ini:

I wanted to return to Sardinia, to change my job. I was doing pharmaceutical research for a huge multinational company, imagine. I was truly convinced that this store was the right job to change my life completely.

Carole Counihan (2014: 69)

Dari beberapa narasumber tersebut dan khususnya pernyataan terakhir oleh Spiga, menandakan bahwa melalui pekerjaan-pekerjaan yang mereka lakukan selama ini sudah cukup membebaskan perempuan dari tugas-tugas domestik dan mulai berpartisipasi penuh pada bidang produksi. Ragam aktivitas yang mengarah pada migrasi perempuan terhadap pekerjaan pun cukup mengguncang beberapa ideologi konvensional terhadap peran gender, namun di satu sisi kita juga bisa melihat hal ini sebagai stimulan akan peran ganda yang semakin membebani perempuan. Maksudnya, jika seorang perempuan atau ibu bekerja dalam sektor industri atau di kantor yang secara umum dianggap produktif, bukan berarti ia bebas dari tugas-tugas reproduksi seperti mengasuh anak atau menyiapkan makanan untuk keluarga. Secara sosial dan kultural beban-beban tersebut masih merupakan tanggung jawab perempuan, meskipun dalam banyak keluarga di Indonesia, beban tersebut kemudian di delegasikan kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga.

Seperti yang dikatakan oleh Lombardo dan Sangiuliano (2009) dalam Counihan (2014: 71) mengenai data statistik pemerintah Italia (ISTAT) yang menunjukkan bahwa rumah-rumah tangga di Italia masih memiliki zona pembagian kerja yang tidak merata. Bahkan undang-undang di Italia yang meliputi pekerjaan dalam merawat anak ataupun lansia, masih sangat menjunjung tinggi tanggung jawab seorang perempuan. Populasi perempuan Italia sebanyak 98% masih melakukan pekerjaan domestik yang berhubungan dengan makanan ketika mereka tidak sedang di luar rumah. Bahkan ketika mereka mempunyai aktivitas di luar rumah, 90% dari mereka masih melakukan pekerjaan domestiknya. Partisipasi perempuan Italia dalam pekerjaan di luar rumah masih jauh lebih sedikit daripada pria, sekiranya sekitar 45,3% untuk perempuan, sedangkan 69,7% untuk pria. Dan presentase perempuan ini merupakan yang terendah di Uni Eropa. Di balik permasalahan relasi gender yang masih kuat di Italia, terlihat beberapa perempuan di Cagliari berusaha untuk tidak hanya berkutat dengan urusan domestik , tetapi juga melakukan berbagai kontribusi yang merujuk pada aktivisme pangan, dari mulai bentuk produksi dan distribusi contohnya berbagai kegiatan yang telah dilakukan keempat narasumber Counihan seperti yang tertera di atas.

Counihan berusaha menggunakan istilah “aktivisme pangan” untuk memayungi segala upaya dalam mempromosikan keadilan sosial dan ekonomi melalui praktik-praktik makanan yang dilakukan oleh keempat narasumbernya. Namun demikian, para narasumber menolak akan sebutan tersebut dan lebih suka mendeskripsikan praktiknya secara lebih spesifik daripada general. General yang dimaksud adalah ketika istilah “aktivisme pangan” digunakan untuk memayungi beragam alternatif praktik-praktik pangan yang lebih spesifik, contohnya seperti sistem pangan agro-industri, purchasing groups, vegetarianisme/veganisme, organic/free-range/biodynamic production, program sekolah tani, komunitas berkebun, dan inisiatif-inisiatif lain yang bertujuan pada demokrasi pangan. Penjelasan ini dipertegas dari pernyataan Lang (1999) yang dikutip oleh Counihan (2014: 62) yaitu,

“the ability for all to attain high-quality, affordable, sustainable, and culturally appropriate food”.

Mereka menganggap “aktivisme pangan” adalah istilah yang kurang tepat atau bahkan cenderung terkesan terlalu militan, sehingga mereka lebih nyaman dengan istilah alternative foodways. Namun sebenarnya jika dilihat lebih dalam dari anggapan keempat narasumber perempuan yang kurang setuju akan istilah “aktivisme pangan” ini, secara tidak langsung mereka masih terbawa oleh sisa-sisa anggapan konvensional mengenai konsep kewanitaan yang terbiasa bekerja secara domestik dan feminin, sehingga mereka merasa kurang nyaman jika terlihat mempunyai aksi-aksi yang maskulin, radikal, atau bahkan politis karena dianggap riskan.

Kemudian menurut beberapa sumber dari Allen dan Sachs (2007), Barndt (1999), Field (1999), Hayes-Conroy dan Hayes-Conroy (2010), Moffett dan Morgan (1999), Schroeder (2006), serta Villagomez (1999) juga semakin memperkuat data-data Counihan (2014: 62) yang menyatakan bahwa, “

…hasil studi aktivisme pangan menyebutkan bahwa perempuan berada pada garis terdepan dalam upaya-upaya di level grassroots untuk merubah sistem pangan dalam berbagai konteks”.

Hal ini menunjukkan jika dalam kondisi yang tepat, perempuan juga mampu mewujudkan minatnya melalui aksi-aksi masyarakat atau komunitas. Demokrasi pada level mikro ini juga menunjukkan indikasi kurangnya ketersediaan ruang bagi masyarakat yang biasanya kurang mampu ataupun kaum perempuan dalam menunjukkan agensi mereka.

Kesenjangan gender dalam pekerjaan juga menjadi asumsi saya terhadap banyaknya jumlah perempuan yang lebih memilih untuk bekerja secara kooperatif. Konsep-konsep usang dan stereotype yang masih menganggap bahwa perempuan tidak memiliki tenaga yang lebih kuat dari pria misalnya, secara tidak langsung menimbulkan aversi, atau dorongan untuk menarik diri bagi perempuan terhadap jenis pekerjaan yang akan dipilihnya. Misalnya beberapa perempuan masih lebih memilih pekerjaan berupa jasa yang bersifat ‘membantu’ atau ‘merawat’, hal ini bisa dilihat lagi melalui situasi yang terjadi di Indonesia, seperti masih banyaknya perempuan yang bermigrasi untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga ataupun pengasuh anak. Kemudian, jika menilik dari pengalaman pribadi dan tempat dimana saya tinggal, saya juga masih menemukan banyak catering service di Yogyakarta yang menggunakan jasa perempuan sebagai “tukang masak” (bukannya disebut sebagai chef). Beberapa diantaranya kebetulan adalah usaha yang dimiliki oleh rekan saya, yaitu Pandan Wangi Catering dan Cethink Catering Service. Mayoritas pekerjanya adalah ibu-ibu dengan usia sekitar 30-50 tahun, dan tidak jarang beberapa dari mereka adalah tetangga sendiri. Banyak dari mereka yang memilih bekerja di catering service untuk membantu suaminya mencari nafkah. Dan mereka biasanya cenderung berkumpul bersama melakukan aktivitas di dapur daripada di luar dapur. Kemudian, selain karena mereka dianggap berpengalaman di bidang domestik, mereka juga dianggap lebih telaten dalam hal racik-meracik makanan, dan dianggap mempunyai otentisitas tertentu saat memasak menu-menu tradisional. Belum lagi perempuan-perempuan yang bekerja di sektor industri seperti tekstil, konveksi, dan garmen. Sesuatu yang berhubungan dengan kain atau jahit-menjahit dilihat sebagai hal yang dekat dengan perempuan, sehingga perusahaan tertentu cenderung percaya jika menuntut ketelitian dan ketekunan dari seorang perempuan, karena dianggap merupakan ciri-ciri umum yang dilmiliki perempuan. Hal ini menunjukan anggapan umum bahwa sifat-sifat perempuan yang teliti, rapi dan telaten merupakan sesuatu yang datang secara alamiah tanpa pernah dipertanyakan lagi dan terus menerus dilanggengkan. Misalnya saja dalam hal pengetahuan otentisitas resep, seorang ibu atau nenek cenderung akan menurunkan ilmunya terhadap anak, cucu atau menantu perempuan yang semakin menunjukan bahwa memasak adalah tugas perempuan.

Pendapat ini juga diperkuat dengan komentar beberapa partisipan yang kebetulan laki-laki dalam acara Pekan Membaca malam itu, diantaranya , bahwa selama ini mereka merasa tidak cukup sensitif terhadap ketimpangan gender dalam permasalahan pangan di Indonesia, mereka cenderung menganggap semua baik-baik saja dan terkadang masih merasa wajar terhadap upaya-upaya yang dilakukan perempuan dalam hal pangan, contoh sederhananya ketika seorang Ibu yang mengambil peran untuk menyediakan makanan untuk keluarganya, seakan-akan itu merupakan tanggung jawab yang memang sudah seharusnya dilakukan. Salah satu peserta membaca yang berkecimpung dalam dunia pertanian dan kopi, Mas Tauhid, juga membenarkan jika perempuan lebih luwes dan telaten dalam kerja-kerja domestik. Menurutnya, sifat ini salah satunya tercermin pada aktivitas roasting kopi yang terasa lebih nikmat ketika dilakukan oleh ibu-ibu karena mereka dianggap lebih telaten dan sabar dalam menggoreng biji kopi, sehingga biji kopi matang merata. Maka bukan tanpa alasan ketika perempuan ataupun ibu-ibu dipilih untuk menjadi roaster karena dilihat berdasarkan fakta tersebut.

Lalu, jika mencermati ulang kisah Counihan dengan kisah yang saya alami tentang peran kerja perempuan saat ini, mereka juga mempunyai kemiripan bahwa meskipun peran gender kini terlihat jauh lebih egaliter, namun tetap ada ketimpangan dalam alokasi pekerjaan rumah tangga yang kemudian mengarah pada fenomena double burden atau beban ganda, misalnya aktivitas ibu-ibu pekerja catering tadi yang mayoritas sudah berkeluarga tapi tetap mencari nafkah di luar rumah, dan lagi-lagi mereka memilih konsep-konsep kerja yang dirasa familiar bagi mereka, seperti bekerja di dapur. Seakan-akan, hasrat mereka untuk selalu mengatur ‘rumah’ diekspresikan secara berulang-ulang, meskipun di tempat yang berbeda (Dolores Hayden, 1981: 170). Beberapa contoh peristiwa ini juga cukup memberi impresi bahwa pengaruh perempuan baru akan tampak apabila mereka berada atau bekerja secara kooperatif. Dan meskipun perkembangan perempuan telah sedemikian pesatnya, hal ini tetap menjadi sebuah pertanyaan tersendiri bagi saya, apakah perempuan masih harus selalu berinteraksi secara bersama-sama agar bersifat komplementer atau saling mengisi dan memperkuat satu sama lain?


Sumber :

Counihan, Carole dan Siniscalchi, Valeria. 2014. Food Activism: Agency, Democracy and Economy. London: Bloomsbury Academic.

Hayden, Dolores. 1981. The Grand Domestic Revolution. Massachussets: MIT Press.

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.