Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Pekan Membaca Bakudapan: Slow Food Activism between Politics and Economy

Esai / Politik Pangan
  • 21 Juni 2017
  • Bagoes Anggoro

Dalam berbagai aspek kehidupan, kita mungkin sering menjumpai banyak hal yang kelihatannya bersifat ambivalen atau mengandung paradoks. Bentuk “ganda” dari sebuah kegiatan inilah yang kemudian membuat saya memilih bacaan tentang posisi aktivisme “Slow Food” diantara politik dan ekonomi dari Valeria Siniscalchi. Lewat bacaan ini kami mencoba untuk memahami bagaimana korelasi antara politik dan ekonomi muncul dari sebuah bentuk aktivisme, bisa menghidupi sebuah organisasi tertentu. Paradoks menjadi kata yang saya pilih karena dalam aktivisme atau sebuah gerakan yang bersifat politis, seolah persoalan ekonomi yang kerap dinilai sebagai profit oriented adalah hal yang harus dijauhkan. Kemudian kami pun juga mencoba mendiskusikannya dan melihat praktik serupa yang ada dan terjadi di Indonesia. Berikutnya, saya akan mencoba sedikit menyampaikan gambaran dari apa yang ditulis oleh Valeria Siniscalchi, dengan latar belakang negara asalnya, Italia.

Melakukan Praktik Ekonomi

Melalui tulisannya, Siniscalchi menyebutkan poin-poin yang menjadi terma dan filosofi dari gerakan slow food yang muncul belakangan ini. Produsen kecil, perpindahan pengetahuan, relasi antara nilai lokal dengan pasar, perlawanan terhadap agro industri, nilai moral dari ekonomi, hingga komitmen politik, sering muncul dan menjadi apa yang diperjuangkan berbagai bentuk aktivisme slow food yang pernah ditemukan oleh Siniscalchi[1]. Lewat tulisan ini, Siniscalchi mencoba lebih memperhatikan irisan yang muncul dari dimensi politik dan ekonomi dari sebuah aktivisme slow food.

Siniscalchi menekankan bahwa sejauh apapun dimensi politik dari sebuah aktivisme slow food, tetap akan memiliki bentuk ekonomi yang termasuk di dalamnya. Entah itu sebagai kemandirian produksi, aksesibilitas barang, hingga ke sebuah bentuk penghidupan organisasi secara ekonomi. Menurut Siniscalchi, ekonomi tak lagi diukur hanya dengan batasan uang, namun juga bagaimana nilai politik yang disokong dengan motif ekonomi yang muncul, menjadi kunci utama dari eksistensi gerakan ini[2]. Melalui risetnya, Siniscalchi mencoba menceritakan apa yang ditemukannya dari dua acara besar dalam tema slow food di Italia, yaitu Terra Madre dan Salone del Gusto.

Baik Terra Madre atau Salone del Gusto, keduanya sama-sama memiliki afiliasi dengan gerakan politik di Italia dan mereka sama-sama hadir untuk mengintervensi praktik industri besar, dengan basis kerja sukarela yang kadang tidak berbayar. Selama beberapa tahun, kedua acara ini telah menjadi manifestasi dari nilai-nilai yang diperjuangkan oleh gerakan slow food. Memerangi produksi masal dan intens, homogenisasi produk, melawan sumber daya yang tidak bisa diperbarui, menolak privatisasi aset, dan aspek-aspek lain yang membuat gerakan ini seolah terlihat ‘militan’ dari para pelakunya[3].

Pembedanya adalah, Terra Madre dilaksanakan secara lebih terbuka dan sederhana. Mengambil salah satu tempat terbuka di Italia dan dengan karnaval ala festival khas desa, dan kemudian membuat semacam pasar dengan banyak booth dari para produsen lokal tanpa sebuah pengkategorisasian tertentu. Sebaliknya, Salone del Gusto justru malah berani menggandeng pihak-pihak atau label besar guna mendukung acara mereka. Layaknya sebuah pameran, acaranya berlangsung di dalam sebuah arena yang sudah bonafide, dengan penggolongan-penggolongan tertentu dari berbagai produk yang ada di dalamnya. Oleh Siniscalchi sendiri, apa yang dilakukan Salone del Gusto dianggap sebagai salah satu titik lemah yang patut dikritisi, karena dianggap bertentangan dengan nilai gerakan slow food yang menolak adanya keterlibatan industri besar di dalamnya[4]. Kontradiksi yang mendalam ini pun akhirnya berakhir dengan dileburnya kedua acara besar ini dalam satu atap, yang kemudian diberi nama Terra Madre Salone del Gusto.

Diantara yang “Pasar” dan yang “Menubuh”

Dalam tulisannya, Siniscalchi menyebutkan bahwa gerakan slow food selalu menekankan terma “baik, bersih dan adil”. Baik mengacu pada masalah rasa dan kualitas dari sebuah produk. Bersih menekankan pada permasalahan etika dan lingkungan produksi. Selain itu, bersih juga mengacu pada ketiadaan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari atau merusak lingkungan. Adil mengacu pada nilai keadilan pada pihak produsen bahan awal. Produksi, konsumsi dan distribusi dianggap akan adil apabila memang memperhatikan nasib para produsen awal dari aspek kesejahteraan hingga lingkungan kerja[5]. Poin-poin ini sering dijadikan landasan moral dalam menentukan sebuah nilai ekonomi dari gerakan slow food, dimana keterlibatannya tidak lagi hanya dari posisi konsumen, namun mulai dari produsen.

Dari apa yang disebutkan Siniscalchi, saya mencoba menariknya dalam konteks wilayah yang lebih dekat yaitu Yogyakarta. Dalam tema “Independent Food” kali ini, beberapa kali kami telah melakukan kunjungan ke tempat-tempat atau organisasi yang diprakarsai para pegiat “slow food”. Hampir dari semua organisasi atau inisiatif ini menggunakan atau paling tidak memiliki lini bisnis dengan basis moda ‘menjual produk fisik’ sebagai salah satu basis perekonomian mereka. Menurut saya, ini terlihat wajar karena watak dari produk pangan selalu erat kaitannya dengan persoalan konsumsi, maka hal ini terasa sulit atau mungkin tidak bisa dihindari. Sebagai konsumen, kita mungkin perlu jeli dalam melihat praktik serta etika berjualan mereka. Pasar Kamisan, Pasar Sasen, Jogja Berkebun, Letusee, Indmira, Bumi Langit, Wikikopi, menjadi beberapa tempat yang kami kunjungi. Dalam berbagai kunjungan tersebut, perbincangan kami dengan para pegiat tersebut juga tak jarang mengalami tarik ulur ketika kami mencoba membicarakan bagaimana posisi slow food di antara ranah politik dengan ekonomi.

Dari berbagai bentuk yang ada, kebanyakan masih menggunakan ideologi slow food sebagai “nilai lebih” pada produk-produknya untuk menyasar konsumen yang “terpelajar” dengan berbagai alasan. Beberapa yang paling sering saya temukan adalah dengan alasan kesehatan yang dikedepankan, diikuti dengan dengan alasan peduli lingkungan dan peduli kesejahteraan petani sebagai produsen. Mencoba membaca lebih jauh dari alasan itu, saya melihat bahwa pegiat slow food ada yang sifatnya hanya mengikuti sebuah bentuk healthy lifestyle, dimana mereka kadang abai terhadap nilai-nilai yang ditawarkan dan tidak mempertanyakan ulang, serta kadang hanya memburu nilai-nilai eksotisme dari sebuah produk lokal. Saya menyebutnya sebagai kelompok ‘pasar’, dikarenakan pada akhirnya kelompok ini hanya menjadi sebuah bagian akhir yang lebih pasif dari nilai gerakan slow food yang ditawarkan.

Disamping kelompok ‘pasar’ yang ada, ada pula kelompok-kelompok yang memang melakukan gerakan ini dengan menjalankan nilai-nilainya secara utuh meskipun diikuti dengan menjual produknya. Pelaku-pelaku semacam ini saya sebut dengan pelaku dengan pengalaman menubuh, dan dalam amatan saya ternyata lebih mampu menjelaskan nilai-nilai dari apa yang mereka kerjakan secara lebih komprehensif karena persoalan etika pangan, baik produksi hingga konsumsi yang sudah menjadi laku hidupnya. Meskipun begitu, saya merasa tetap harus terus mengkritisi kelompok ini, terutama perihal sejauh mana persoalan ekonomi mendominasi kegiatan mereka.

Slow Food Sebagai Cara Untuk Melihat Aktivisme Pangan

Beberapa yang saya utarakan di atas merupakan kelompok yang dalam kegiatan aktivismenya juga menjalankan produksi dan distribusi produk sebagai basis ekonomi. Lalu bagaimana dengan slow food Jogja sendiri? Kami pernah mengulas dalam artikel sebelumnya,[6] di mana dalam kegiatan tersebut, sependek pengetahuan kami memang tidak menjual produk apapun dan kegiatannya lebih kepada berjejaring dan membangun relasi dengan pengiat pangan lainnya seperti yang saya sebut diatas, untuk menyebarkan pengetahuan akan pangan yang beretika.

Secara ringkas, slow food Jogja memang merupakan bagian dari gerakan slow food internasional. Tubuh slow food Jogja pun juga terdiri dari beberapa organisasi atau inisiatif, yang mungkin masing-masing memiliki detail visi dan misi yang berbeda-beda[7]. Sejauh amatan saya baik dengan bertemu langsung atau membaca beberapa tulisan, kebanyakan praktik mereka memang berkutat di seputaran area ‘produksi’. Produksi dapat dibaca sebagai pembuatan sebuah barang, berbagi pengetahuan melalui seminar atau workshop, hingga ke pengorganisiran sebuah acara baik yang rutin maupun tidak. Rupanya pun bermacam. Seperti contoh agenda rutin Pasar Kamisan di Yogyakarta yang tampak santai dan sederhana, disandingkan dengan agenda ‘Ubud Food Festival’ di Bali. Keduanya memiliki elemen slow food di dalamnya, namun terasa kontras sekali hingar bingarnya.

Melihat dari sini, mungkin kita harus memaknai slow food bukan sebagai institusi yang ada di setiap kota-kota besar yang mana penduduknya mulai sadar akan etika pangan. Tetapi slow food bisa kita lihat sebagai spirit/semangat untuk mempraktekan produksi, distribusi dan konsumsi dalam pangan yang beretika, di mana para pelakunya bisa berjejaring dan membangun gerakan bersama. Tentu saja dengan berlandaskan 3 unsur utama slow food yang disinggung sebelumnya, yaitu “baik, bersih dan adil”. Artinya kita tidak lagi menilai gerakan ini melalui program-program atau produk-produk jualannya yang sering diikuti embel-embel nama kota. Dengan demikian persoalan dilematis antara politik dan ekonomi dapat diperiksa melalui praktek-praktek pelakunya masing-masing, terlepas dari platform slow food itu sendiri. Misal, slow food Bali tidak lagi di lekatkan dengan produk garam organik ataupun kegiatan permaculture-nya, tapi melihatnya sejauh mana produsen garam atau petani permaculture tersebut mempraktekan semangat slow food. Sehingga kita bisa mengkritisi mana praktek yang lebih condong pada pasar dan mana yang memiliki visi misi yang lebih politis melalui semangat slow food itu sendiri.


Catatan Kaki:

[1] Siniscalchi, Valeria. Slow Food Activism between Politics and Economy, Food Activism: Agency, Democracy, and Economy. London: Bloomsbury. Halaman 188.

[2] Ibid, halaman 189.

[3] Ibid, halaman 191.

[4] Ibid, halaman 198.

[5] Ibid, halaman 192.

[6] https://bakudapan.com/id/percakapan-santai-dengan-slow-food-jogja/

[7] https://www.facebook.com/SlowFoodYogyakarta/

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.