Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Pekan Membaca Bakudapan: Resistance and Household Food Consumption in Santiago de Cuba

Esai / Politik Pangan
  • 22 Mei 2017
  • Khairunnisa

Topik mengenai resistensi sudah sering kami diskusikan dalam Bakudapan, terutama saat kami memulai dengan kegiatan kami “Independent Food”. Misalnya, kami pernah mendiskusikan apakah pasar-pasar alternatif seperti Kamisan, adalah bentuk resistensi dari pasar-pasar yang konvensional yang memperjual belikan komoditas pangan. Lalu, saat saya memilih bacaan mengenai bentuk resistensi terhadap kebijakan pangan di Kuba, saya melihat bentuk-bentuk lain dari resistensi yang terjadi. Menariknya di Kuba, bentuk resistensi yang mereka lakukan mungkin terlihat “jinak” dibandingkan dengan bentuk seperti demontrasi atau boikot terhadap suatu produk pangan.. Kemudian melalui diskusi bacaan ini saya melihat bahwa di Indonesia sendiri juga ada bentuk-bentuk resistensi semacam ini, yang seolah tidak dianggap sebagai bentuk resistensi terhadap kebijakan pangan. Sebelum saya terlalu jauh menuliskan tentang resistensi dengan konteks Indonesia, saya akan menceritakan mengenai yang terjadi di Kuba.

Kendali Penuh Pemerintah

Kuba sebagai negara sosialis, di mana pemerintah memegang kekuasaan penuh untuk mengatur masyarakatnya, termasuk di dalamnya adalah pertanian dan distribusi pangan. Dari segi pertanian, pemerintah membuat lembaga yang bernama Unidad Basico de Produccion Cooperative (basic units of cooperative production, UBPCs), di mana salah satu peraturannya adalah memberikan hak kepemilikan tanah dengan jangka waktu tertentu yang relatif lama kepada para petani.[i] Kepemilikan akan tanah yang sepenuhnya milik petani ini kemudian memberikan tanggung jawab kepada mereka untuk memenuhi kuota hasil pertanian untuk kepentingan ekspor. Hasil pertanian yang menjadi komoditas utama ekspor, terutama ke Amerika Serikat; adalah tebu, sereal, sayuran, buah, dan umbi-umbian.

Saya sendiri saat membayangkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Kuba berfikir bahwa cara pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Kuba bisa dibilang sangat mandiri — berdasarkan kebijakan pemerintah akan kepemilikan lahan secara utuh oleh para petani dan juga dapat melakukan ekspor. Namun, kenyataannya tidak demikian. Di dalam tulisan ternyata dijelaskan bahwa Kuba sendiri ternyata masih mengimpor bahan makanan cukup banyak, hampir 84%; seperti minyak kedelai, kacang polong kering, kacang-kacangan, beras, susu bubuk, dan daging unggas. Negara yang menjadi sumber impor terbesar Kuba adalah Amerika Serikat dan juga Vietnam untuk beras. [ii]

Selain kebijakan pemerintah dari segi pertanian, demi menciptakan pembagian pangan yang merata kepada seluruh lapisan masyarakat dan tidak terjadi eksploitasi serta pengambilan kepentingan untuk pihak-pihak tertentu, maka pemerintah akan menjual secara langsung kepada masyarakat. Sistem ini pertama kali dilakukan pada tahun 1962, disebut dengan rationing/la libreta atau penjatahan. Setiap keluarga di Kuba akan mendapatkan jatah bahan pangan yang sama; seperti 10kg beras, 2kg gula merah, 250ml minyak goreng, 5 telur, satu bungkus kopi, 2kg daging (biasanya ayam) setiap per 10 hari, roti setiap harinya, sebungkus garam setiap tiga bulan, dan susu untuk perempuan hamil serta anak-anak usia dibawah tujuh tahun. Kebijakan akan penjatahan ini berlangsung sampai sekarang, setidaknya melalui penemuan artikel yang saya lakukan, sampai tahun 2015 mereka masih melakukannya, dan pada tahun itu pula mereka merayakan 50 tahun sistem penjatahan di Kuba.[iii]

Permasalahan dengan Penjatahan

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai berbagai bentuk resistensi, saya tertarik untuk membahas sedikit mengenai kebijakan penjatahan di Kuba. Seperti yang sudah saya sebutkan sedikit sebelumnya bahwa penjatahan, berdasar temuan saya masih berlangsung sampai tahun 2015. Saya tidak menyangka sistem seperti ini akan bertahan lama, sebab terdapat beberapa kekurangan yang cukup krusial yang ditimbulkan oleh kebijakan ini. Pertama adalah mengenai kecukupan, bahwa penjatahan ini tidak benar-benar mencukupi kebutuhan keluarga-keluarga di Kuba. Setiap bulannya mereka akan mengalami kekurangan bahan pangan. Bahan pangan yang dibagikan melalui penjatahan rata-rata akan bertahan kurang lebih hanya 10 hari,[iv] sehingga sebelum waktu penjatahan berikutnya, mereka sudah kehabisan bahan pangan.

Pencarian kebutuhan pangan secara mandiri dapat dikatakan sulit, terutama dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Akses masyarakat terhadap kebutuhan pangan terbatas dan hanya tersedia di la libreta. Saat masyarakat Kuba ingin membeli kebutuhan pangan yag lain mereka akan pergi ke “pasar gelap” atau pasar yang tidak dikelola atau tidak memiliki ijin dari pemerintah. Karena pasar ini bekerja tanpa campur tangan pemerintah ditengah situasi terbatas, menjadikan pelaku pasar bekerja dengan mekanisme mereka yang mencari untung sebesar-besarnya sehingga menjadikan harga barang-barang cukup tinggi. Misalnya untuk susu bubuk, akan dihargai 500 peso/$21 — biaya ini setara dengan 1/3 dari gaji setiap bulan rata-rata para pekerja ($12-$14/per bulan). Permasalahan mengenai harga ini ditambah lagi dengan perbedaan mata uang yang digunakan oleh para turis (CUP – Cuban Peso) dengan yang biasa digunakan oleh masyarakat Kuba untuk membeli kebutuhan pangan di la libreta, yaitu CUC (Cuban Convertible Peso). Saat mereka membutuhkan pangan tambahan mereka harus menggunakan mata uang yang digunakan turis, yaitu CUP, yang bisa mereka dapatkan dengan melakukan kerja tambahan sebagai supir taksi atau pegawai hotel — pekerjaan di mana mereka akan sering berinteraksi dengan para turis.[v]

Isu kedua yang muncul terkait penjatahan adalah mengenai tindakan kriminal. Seperti yang sudah saya sebutkan mengenai pasar gelap, konsekuensi dari kegiatan ini yang diterapkan pemerintah kuba adalah hukuman penjara. Salah satu kasus yang terjadi misalnya saat seseorang menyelundupkan telur ke pasar gelap, ia dikenakan sanksi penjara selama 15 tahun. Tidak hanya itu, penjatahan yang dilakukan pemerintah untuk daging yang hanya berupa unggasa dan babi, menyebabkan terjadi tindakan pemotongan sapi secara ilegal, yaitu sapi-sapi yang dimiliki oleh peternakanan individu. Pemotongan sapi secara ilegal tentu bermasalah mulai dari tidak terjaminnya kesehatan sapi, higienitas penyembelihan yang tidak memiliki standar, dan harga yang tidak terkendali.

Munculnya Resistensi

Pilihan akan pangan masyarakat Kuba sangat terbatas dengan adanya sistem penjatahan, walaupun mereka juga bisa pergi ke restoran (paladares), tetapi harga makanan disana tergolong mahal — hanya turis yang biasa datang serta menjadi pelanggan di restoran. Situasi seperti ini kemudian memunculkan adanya tindakan-tindakan perlawanan, yang dalam tulisan Garth, disebutnya sebagai bentuk resistensi. Garth membagi penjelasannya mengenai resistensi yang dilakukan masyarakat Kuba dalam tiga tipe; komplain, rumor, dan penolakan mengonsumsi.

Dalam tulisan Garth, penyebab komplain lebih ditekankan soal kebijakan pemerintah yang menentukan bahan pangan yang disediakan, yang ternyata tidak sesuai dengan diet masyarakat Kuba. Demi menekan biaya dari segi konsumsi susu, maka banyak produk yang menggunakan susu digantikan dengan kedelai. Sedangkan kedelai, menurut keterangan yang dituliskan Garth, tidak cocok dengan suhu di Kuba yang panas, sebab akan membuat tubuh mereka menjadi semakin panas. Selain itu sering terjadi complain dalam hal rasa, sebab rasa yang dimiliki terlalu asing bagi banyak orang, terutama anak-anak.[vi] Padahal akses pangan untuk suatu masyarakat, bukan hanya tentang ketersediaan bahan, tapi juga menyangkut sisi budaya dimana kebiasaan, pelarangan/ tidaknya, rasa dan kegemaran menjadi unsur-unsur yang perlu diperhatikan. Komplain lain yang muncul adalah mengenai variasi jenis buah dan sayuran — di mana jumlahnya semakin berkurang di toko untuk penjatahan. Seringkali komplain yang dilakukan masyarakat Kuba dimulai dari keluarga dan lingkaran tetangga yang kemudian akan meluas. Salah satu momen untuk penyebaran informasi adalah saat mereka mengantri di toko penjatahan.

Bentuk resistensi berikutnya adalah melalui rumor, yang seringkali dilakukan secara terselubung. Rumor yang disebutkan Garth pada tulisannya, yang pertama adalah mengenai ketidakpercayaan akan daging yang disediakan pemerintah. Isu ini dikembangkan dengan membuat rumor bahwa daging yang disediakan oleh pemerintah merupakan daging tikus. Rumor ini kemudian semakin dikembangkan dan menghubungkannya dengan restoran/paladares yang dimiliki pemerintah. Selain permasalahan daging, toko roti milik pemerintah juga dijadikan sasaran rumor . Pada toko roti ini, rumor yang disebarkan adalah ditemukannya kotoran tikus, kecoak, dan hama. Selain pada toko rotinya, rumor yang berkembang bahwa kotoran tikus, kecoak, dan hama, juga ditemukan bahwa tepung yang dijual untuk penjatahan.[vii] Dalam penyebaran rumor ini tidak penting mengenai data yang ditampilkan benar atau tidak, yang penting adalah bagaimana ini bisa tersebar dan menunjukan ketidakpuasan mereka terhadap sistem pangan pemerintah.

Resistensi terakhir yang cukup verbal adalah penolakan untuk mengonsumsi produk-produk tertentu, khususnya yang diproduksi oleh pemerintah. Penolakan untuk mengonsumsi suatu produk dapat dilakukan karena masyarakat Kuba merasa memiki kuasa atas daya beli, walaupun dalam hal akses untuk kebutuhan pangan terbatas. Misalnya dalam konsumsi bir, mereka memilih untuk tidak minum sama sekali atau meminjam uang untuk membeli bir yang lebih mahal, dibanding membeli dengan harga murah yang diproduksi pemerintah yang menurut mereka rasanya tidak enak. Selain itu penolakan juga terjadi di institusi pemerintah seperti kantin di kantor-kantor dan rumah sakit. Penolakan yang mereka lakukan dengan menunjukan secara terbuka bahwa makanan pemerintah sangat tidak berselera dan mereka membawa sendiri makanan dari rumah.[viii]

Bagi Garth, memang bentuk resistensi yang dilakukan oleh masyarakat Kuba bukanlah hal yang spesial dan bukan tidak pernah terjadi sebelumnya, tetapi yang ditekankan adalah kondisi Kuba di mana protes secara langsung merupakan tindakan terlarang. Melihat kondisi penjatahan bahan pangan yang dilakukan pemerintah, saya sendiri merasa sangat wajar muncul perlawanan dari masyarakat dengan berbagai bentuk. Perlawanan yang digambarkan diatas memang terlihat penting tidak penting dan terlihat remeh temeh, tetapi yang menjadi persoalan mungkin karena yang mereka lawan pemerintah. Dengan melakukan sembunyi-sembunyi seperti pasar gelap saja akan dihukum penjara, apalagi secara terang-terangan. Hal menariknya adalah melihat strategi dan tarik ulur warga yang terjadi lewat aksi-aksi yang jauh dari kesan heroik. Kekurangannya, dalam tulisan ini tidak jelaskan oleh Garth sejauh mana strategi-strategi ini berhasil mengubah kebijakan pangan di Kuba.

Sedangkan jika melihat dengan konteks Indonesia, meskipun kebijakan pangan diatur pemerintah, tetapi akses terhadapnya dipegang oleh banyak sektor. Jika membandingkan dengan bentuk resisten yang terjadi di Kuba, mungkin hal senada yang terjadi di sini adalah ketika para ibu protes saat kenaikan harga cabai. Bentuk protesnya pun bisa bermacam-macam, mulai dari menjual harga gorengan sama mahalnya dengan cabai rawit pendamping makan gorengan, hingga demonstrasi terbuka terhadap pemerintah. Selain itu contoh lain bentuk protes juga terlihat pada warga miskin penerima program Raskin. Selain mereka protes secara kolektif atas kualitas beras yang buruk, mereka juga membuat mekanisme membagi rata beras jatah terhadap warga lain yang tidak menerima jatah. Hal ini dilakukan sebagian besar demi alasan solidaritas serta meminimalisir konflik antar mereka.

Satu hal yang dapat kita pelajari dari bentuk-bentuk resistensi ini adalah selalu dilakukan oleh warga dengan kondisi ekonomi pas-pasan atau kelas menengah kebawah. Atau biasa disebut dengan strategi akar rumput alias wong cilik. Strategi yang dilakukan oleh orang-orang yang dinilai tidak berdaya dalam mengubah situasi. Baik tidak berdaya mengahdapi pemerintah maupun sistem pangan global yang berpihak pada korporat maupun tengkulak. Menariknya, selain berupa komplain dan nggerutu, ada banyak hal pengetahuan yang sesungguhnya bisa kita pelajari dari bentuk resistensi ini. Mulai dari pengorganisiran mandiri, bagaimana mengolah beras raskin yang buruk kualitasnya dengan menggunakan jeruk nipis saat mencuci, atau menukarnya dipasar dengan kualitas baik walaupun terjadi penyusutan, (di mana beras kualitas buruk ini akan diolah menjadi lempeng, sejenis krupuk beras). Saya rasa masih banyak bentuk siasat lain yang belum banyak kita ketahui, karena mungkin tidak dianggap sebagai pengetahuan akan mengolah pangan, di mana merupakan bentuk “ketahanan pangan” sesungguhnya. Seperti beberapa waktu lalu saat bawang putih harganya melunjak, dan seorang menteri menghimbau untuk mengurangi konsumsi bawang putih. Apakah semudah itu? Mendengar hal ini memang membuat gemas, tetapi memiliki siasat yang baik untuk mengakali dalam hal konsumsi memang penting dan juga terus marah-marah serta komplain merupakan siasat yang patut diteruskan sebagai bentuk perlawanan.


Catatan Kaki:

[i] Garth, Hannah. Resistance and Household Food Consumption in Santiago de Cuba, Food Activism: Agency, Democracy, and Economy. London: Bloomsbury. Halaman 62.

[ii] ibid, halaman 62.

[iii] https://www.theguardian.com/world/2015/apr/24/cubans-food-struggle-rations-consuming-obsession

[iv] http://www.miamiherald.com/news/nation-world/world/americas/article1953193.html

[v] https://www.theguardian.com/world/2015/apr/24/cubans-food-struggle-rations-consuming-obsession

[vi] Garth, Hannah, op-cit, halaman 64

[vii] ibid, halaman 65

[viii] ibid, halaman 66

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.