Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Pekan Membaca Bakudapan : Memahami Konteks Kapitalisme di Balik Rantai Pangan Global

Esai / Politik Pangan
  • 28 November 2019
  • Eliesta Handitya

Konteks pangan tidak dapat dilepaskan dari kapitalisme. Sebab, sistem pangan  merupakan bagian dari kapitalisme itu sendiri. Begitulah kira-kira argumentasi mula yang ditawarkan oleh Eric Holt-Gimenez pada awal pembahasan mengenai sistem pangan dunia, kelindannya dengan kapitalisme. Buku yang ia juduli “A foodie’s Guide to Capitalism: Understanding the Political Economy of What We Eat”, berusaha mengajak kita mengkritisi apa yang kita konsumsi, terutama makanan sebagai pemenuhan kebutuhan fundamental manusia. Lebih spesifik lagi, Holt-Gimenez mengajak kita memahami bagaimana konteks ekonomi politik mempengaruhi rantai pangan global. Judul buku ini pun buat saya cukup menjentik, “Foodie’s Guide to Capitalism”, seolah mengajak kita menelusuri gang-gang problema di balik sistem dan rantai pangan berwatak kapitalistik.

Melalui buku ini, Holt-Gimenez tidak sedang berusaha menggurui dan membawa konteks kapitalisme dalam sebuah kerangka akademis, ideologis, atau bahkan ndakik (buzzwords). Kapitalisme yang selama ini seolah hanya menjadi “bahasa akademis” yang kelihatannya absen relasinya dengan peristiwa sehari-hari kita, dibawakan oleh Holt-Gimenez melalui pengejawantahan kisah yang lebih akrab. Alih-alih ndakik, Holt-Gimenez mencoba untuk memberi penekanan “kapitalisme” sebagai sebuah fenomena yang secara nyata mengitari kehidupan sehari-hari, mempengaruhi hampir seluruh jengkal kehidupan kita. Ia membaca kapitalisme sebagai dinamika sosial yang lekat dengan keseharian. Sebab, nyatanya, kita sebetulnya tak bisa menghindarkan diri dari sistem industri (nan kapitalis) dalam proses konsumsi pangan sehari-hari. Kudapan instan, buah segar impor hasil suntikan gen modifikasi (GMO), sayur mayur dipanen dengan sokongan pupuk kimia, bahkan air kemasan pabrikan misalnya, seluruhnya terhubung oleh industri pangan yang kapitalistik. Sederhananya, buku ini berusaha mengajak kita mempertanyakan bagaimana selama ini kapitalisme mempengaruhi rerantai sistem perputaran sistem pangan di dunia. 

Saya akan mendiskusikan secuil bahasan dalam buku ini, yakni dalam bab pertama berjudul “How Our Capitalist Food System Came to Be”, membicarakan sejarah dari munculnya sistem pangan serba kapitalistik seperti yang masih terjadi hingga saat ini. Pertama-tama Holt-Gimenez mengajak kita menengok sejarah pertanian bernuansa kapitalistik yang dimulai di Kepulauan Inggris pada masa awal Revolusi Industri. Pada masa itu, terjadi privatisasi lahan oleh pemilik tanah yang kaya di wilayah pedesaan Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia. Perampasan tanah ini disahkan melalui kebijakan legal bernama “enclosure” yang ditetapkan oleh Parlemen Inggris pada abad ke-18, tepatnya pada tahun 1812. Kebijakan enclosure ini lantas memberikan kewenangan pada pemilik lahan kaya untuk mengakuisisi lahan-lahan milik petani kecil. Mulai saat itulah, kesenjangan ekonomi mulai secara masif terjadi antara pemilik lahan yang kaya, dengan petani yang miskin. Ketimpangan terjadi karena dalam salah satu poin kebijakan, petani miskin yang tidak memiliki sertifikat dicopot kepemilikannya terhadap lahan. Sementara, sertifikat tanah biasanya hanya bisa didapatkan pemilik lahan (landowners) yang kaya.

Holt-Gimenez kemudian melihat bagaimana sistem pangan kapitalistik berlanjut di era Merkantilisme— yakni masa ketika perdagangan internasional yang bertujuan menggandakan aset dan modal, sekira abad 16 di Eropa, secara masif dimulai. Di masa ini, penjajakan orang-orang Eropa terhadap “dunia baru”, membawa semangat untuk mencari rempah-rempah, daerah kekuasaan baru, dan menyebarkan agama Kristiani (Gold, Glory, Gospel), menandai era kolonialisme. Selain itu, Holt-Gimenez turut membawa bagaimana perbudakan dalam kolonialisme dimulai, yakni ketika ketika kebutuhan terhadap pangan— tidak hanya beras, tetapi juga teh, kopi, gula, cokelat, dan kebutuhan akan berbagai rempah-rempah, seiring dengan pendudukan orang-orang Eropa di dataran Afrika, Amerika, dan Asia. Melalui kebutuhan yang masif terhadap terhadap pangan, terciptalah bentuk-bentuk eksploitasi dan penindasan, yakni ketika orang-orang “asli” dari wilayah yang dikolonisasi, diminta untuk memenuhi dan melayani kebutuhan orang-orang Eropa akan bahan pangan dan rempah-rempah. Baru di akhir abad ke-19, merkantilime, kolonialisme, dan industrialiasi semakin menguat, menjadi bentuk baru dari kapitalisme global yang semakin mengakar, menunjukkan cakar kekuatannya di seluruh dunia melalui neoliberalisme— sebut saja industri multinasional, atau organsisasi internasional misal FAO (Food and Agriculture Organization) yang mengatur standardisasi pangan dunia, salah satunya melalui kebijakan Revolusi Hijau yang dimulai sekira tahun 1960an.

Rezim pangan yang dilanggengkan semenjak era kolonial tersebut, jika kita amati lebih lanjut, masih dilanggengkan hingga saat ini. Berbagai komoditas pertanian seperti gula, kopi, gandum, beras, dan jagung— yang masih diperdagangkan hingga saat ini, jika dilihat-lihat, merupakan komoditas warisan di masa kolonial. Bahkan, penindasan yang dilakukan terhadap petani petani kecilnya pun masih pula dilanggengkan, kita lihat saja misalnya kasus eksploitasi pekerja anak di Pantai Gading, demi melayani kebutuhan cokelat di Eropa sana. Holt-Gimenez selanjutnya membahas bagaimana Revolusi Hijau (Green Revolution) yang berlangsung 1960-1990an, dimana pada masa itu, terjadi standardisasi bibit secara internasional, yang implikasinya malahan mematikan keragaman pangan dan bibit lokal. Sementara di Indonesia, program Revolusi Hijau yang dicanangkan pemerintah Orde Baru melalui standardisasi bibit, penggunaan pupuk kimia secara masif, hingga program swasembada beras yang berdampak pada penyeragaman bahan pangan di Indonesia, kemudian berdampak pada rendahnya biodiversitas pangan lokal di masa setelahnya.

Permasalahan soal rantai pangan dan kapitalisme, belum lagi sampai pada koda. Setelah menjajak sejarah, Holt Gimenez kemudian mengajak kita merefleksikan bagaimana sistem pangan kapitalistik yang dimulai dari eksploitasi di era kolonialisme, masih menjangkiti kita hingga saat ini. Jika menengok lebih jauh, seluruh sistem pangan di dunia saat ini dikuasai oleh rezim industri, dimonopoli oleh industri-industri semisal produk dari Monsanto, Syngenta, Bayer, Coca-Cola, Tesco, Carrefour, Walmart, dsb. Bahkan, bisa dikatakan, tujuh puluh persen pertanian di dunia saat ini telah dikuasai oleh industri, dengan sebagian besar lahan digarap oleh buruh tani yang tidak berdaulat atas tanah mereka sendiri. Holt-Gimenez menutup bab pertama dari buku ini dengan pernyataan reflekif, bahwasannya misi untuk memperbaiki sistem pangan yang “rusak”, merupakan terma yang kurang tepat, karena sesungguhnya, sistem pangan kita bukannya sedang rusak, ia malahan telah bekerja memenuhi kepentingan kapitalisme dengan semestinya. Sebuah fenomena yang tak terhindarkan, tetapi perlu terus kita pahami dan kritisi, terutama ketika kedaulatan pangan sudah nampaknya sulit diharapkan di tengah pertanian yang serba kapitalistik— yang mana rantai sejarah terbentuknya pun ternyata amat panjang.

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.