Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Pekan Membaca Bakudapan: Engaging Latino Immigrants in Seattle Food Activism through Urban Agriculture

Esai / Politik Pangan
  • 22 April 2017
  • Gloria Mario

Pada Pekan Membaca Bakudapan ke-3, di mana kami membahas tulisan berjudul “Engaging Latino Immigrants in Seattle Food Activism through Urban Agriculture” oleh Teresa M. Mares, diadakan di Kunci Cultural Studies dan di luar ekspektasi kami, dihadiri oleh beberapa wajah baru. Beberapa rekan dari CRCS (Center for Religious & Cross-Cultural Studies) UGM datang menghadiri diskusi ini. Diskusi kami mulai sekitar pukul 7.30 malam.

Sebagai pengantar, tulisan Teresa M. Mares ini merupakan sebuah bentuk hasil penelitiannya terkait isu pangan di konteks masyarakat urban. Ia menyebutkan penelitian ini berlokasi di Seattle, sebuah kota terbesar di wilayah Timur Laut Pasifik Amerika Serikat. Pendekatan antropologi dengan menggunakan metode etnografi dipilihnya, yang disampaikan dalam tulisan ini. Tujuan Mares menulis isu pangan yakni menulusuri jejak lintasan aktivisme pangan di Seattle, untuk menghubungkan wacana kedaulatan pangan dan keadilan makanan, terutama terhadap imigran latin dengan analisis lanskap pertanian perkotaan. Berbicara mengenai gerakan aktivisme yang ingin Mares teliti, dalam beberapa halaman awal ia menyebutkan beberapa gerakan protes serta berbagai tokoh-tokoh pendiri gerakan aktivisme sebagai prolognya.

Bagi saya yang memilih bacaan ini, menelusuri jejak aktivisme pangan memang penting untuk mengetahui apa sebenarnya permasalahan yang dihadapi tiap-tiap kota. Yang menarik bagi saya dan beberapa kawan peserta pekan baca adalah sebuah kutipan dialog dari salah satu direktur eksekutif lembaga Food First, Eric Holt-Gimenez (2014; 34) yang mengatakan kira-kira begini[1] :

“ada sebuah lelucon yang miris di dalam kelompok petani yang sudah tua sekitar 60’an. Mereka berkata dalam sepuluh tahun ke depan, dengan usia rata-rata semua petani di Amerika yang demikian tua akan segera mati. Meskipun demikian, sebenarnya kota ini dipenuhi oleh petani ! Kita bisa temukan mereka di jalanan kota, yang kenyataannya sedang mencari pekerjaan. Mereka datang dari Mexico, Honduras, Nicaragua, Guatemala, Colombia, dan Panama. Mereka terlantar! Mereka bekerja sebagai tukang kebun, memompa gas, bekerja di dapur sebagai tukang di restoran, dan mereka sebenarnya adalah petani. Kota dikelilingi oleh petani. Mereka keluar dari pekerjaan mereka”

Dari kutipan di atas, kami semua peserta setuju bahwa contoh yang ditampilkan Mares dalam tulisannya begitu ironis. Sebagai bagian dari masyarakat kota, kita pun sadar telah menjadi bagian dari sebuah lingkar paradoks, yang sebenarnya kita temukan juga terjadi di banyak kota tidak hanya di Seattle, Amerika tapi juga di kota-kota di Indonesia.

Saat membuka diskusi, kami memulainya dengan memberi komentar atas tulisan yang dibuat Mares tersebut. Menurut sebagian besar dari kami, tulisan ini dalam banyak hal lebih mengangkat tentang romantisme kegiatan berkebun / pertanian daripada melihatnya dalam usaha bagaimana agar kegiatan ini terus berkesinambungan dalam situasi dan latar belakang perkotaan. Apalagi, saat berbicara tentang sistem pertanian, masyarakat kota selalu dijauhkan dari nalar-nalar keberadaan produksi pangan. Sebagian dari kami bercerita tentang pengalaman berkegiatan dalam isu pangan yang dilakukan di kota Yogyakarta dan banyak kota lainnya. Upaya yang diceritakan oleh teman-teman peserta diskusi ini tidak lain adalah untuk mengurangi paradoks yang telah dituliskan Mares sebelumnya. Dalam perjalanan diskusi, saya merangkum beberapa pendapat dari peserta diskusi pekan baca.

  • Sebagian dari kami merasa bahwa aksi-aksi urban farming yang dijalankan di kota masih banyak yang berupa aksi simbolik untuk menentang korporasi pangan dan ide akan kedaulatan pangan. Sebagian dari aksi-aksi ini memang disadari pelaku atau komunitas yang menggagasnya masih jauh dari skala pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari yang akan terus diupayakan. Tetapi selain itu ada juga beberapa aksi urban farming hanya sebagai display atau instalasi untuk menunjukan bahwa gerakan swasembada pangan lebih kepada fetisisasi gaya hidup.
  • Upaya-upaya urban farming dalam penanganan isu pangan cenderung dilakukan melalui pendekatan yang beragam. Mulai dari pendekatan sistem pertanian yang berbasis ramah ekologi hingga pendekatan religi. Beberapa contoh komunitas ataupun lembaga disebutkan dalam diskusi ini, khususnya yang berada di wilayah Yogyakara. Mereka bergerak bukan hanya pada proses agrikulturnya saja, tapi juga pada pengolahan dan penjualannya. Misalnya dengan melihat beberapa pasar organik yang didirikan mandiri oleh komunitas pegiat pangan, contoh ini sering kita temui di wilayah utara hingga selatan Yogyakarta. Sayangnya, yang masih menjadi kelemahan beberapa pegiat pangan adalah keberadaan lahan produksi yang sangat jauh dari kota, sehingga membatasi daya jangkau masyarakat. Selain itu, harga yang dirasa masih belum bersahabat dengan logika umum masyarakat luas saat mengeluarkan dana untuk konsumsi, masih menjadi sebuah tantangan terbesar.
  • Food justice yang menjadi salah satu sorotan utama isu pangan dalam masyarakat urban berujung pada permasalahan akses yang terbagi menjadi dua hal. Akses pertama adalah tentang pengetahuan yang hilang, seperti misalnya kearifan lokal masyarakat yang mulai terkikis, diantaranya karena penduduk desa sudah banyak yang hijrah ke kota dan tidak ingin menjadi petani di daerahnya. Kedua adalah akses akan kepemilikan lahan di mana telah terjadi perubahan kepemilikan secara besar-besaran oleh korporat dengan program program food estate, perkebunan pangan skala luas yang berorientasi pada komoditas pangan.[2]
  • Selain itu permasalahan pertanian kota adalah perebutan ruang-ruang antar kelompok masyarakat yang menimbulkan gap-gap kepentingan satu dengan yang lain. Maksudnya, isu-isu tentang produksi pangan belum menjadi kepentingan semua orang dan sifatnya masih parsial dalam kelompok-kelompok masyarakat.
  • Logika ilmu pengetahuan yang menyempit berujung pada tidak terbukanya peluang pada bentuk-bentuk gerakan alternatif. Misalnya bagaimana pendidikan tinggi seperti universitas saat ini sangat berorientasi untuk menciptakan sumber daya manusia “professional” demi memenuhi kebutuhan korporasi-korporasi yang tentunya dijalankan dengan logika kapitalis. Nalar-nalar yang tidak sesuai dengan ini kemudian tidak dianggap sebagai pengetahuan yang sahih, seperti halnya berkebun untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sehingga urban farming bagi sebagian kelompok hanya dilihat sebagai aksi simbolik saja.
  • Kemudian sebelum berbicara tentang praktik melakukan gerakan pertanian di masyarakat urban, baiknya kita perlu juga melihat sejauh mana masyarakat merasakan kegelisahan atas pangan, seberapa jauh urban farming bisa menjadi solusi yang tepat dan efektif. Hal ini perlu dicurigai karena jangan-jangan problem pangan yang selalu dihembuskan oleh media, seperti kurangnya jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan nasional tidak benar-benar terjadi dan hanya merupakan wacana yang berujung pada dibukanya lahan-lahan baru milik penduduk untuk kepentingan korporat.

Usai membaca dan berdiskusi tentang bacaan ini, saya hendak merefleksikanya kembali dengan mengaitkannya dengan beberapa isu keseharian di kehidupan kota. Selain ruang yang dan logika pengetahuan tentang makanan yang menjadi kendala menuju food justice, saya menggunakan kesempatan menulis review ini dengan bercerita mengenai pengalaman seorang Ibu Rumah Tangga yang terus mengeluh akan harga-harga bahan pangan yang naik.

Bulan lalu, saya mendapat kabar dari Ibu saya yang tinggal di kota Jayapura, Papua. Sebagai ibu rumah tangga yang berhadapan dengan tugas mengurus kebutuhan makan keluarga, ia terus mengeluh akan kelangkaan ikan dan cabai rawit. Bagi masyarakat Indonesia Timur, ikan adalah kebutuhan protein yang sering dikonsumsi dan dibeli dengan harga yang terjangkau karena potensi sumber daya alam dari laut yang melimpah. Melimpah? Kira-kira kata melimpah-lah yang sering saya temukan ketika mencari artikel tentang kekayaan pangan dari hasil laut Indonesia Timur. Bagaimana dengan hari ini, apakah masih relevan berita-berita tersebut diceritakan di internet sepertinya akan saya ragukan lagi ketika mendengar keluhan Ibu saya via telepon.

“Ikan sekarang mahal, Tuna kualitas bagus sudah sedikit dijual di pasar lelang ikan dan bahkan harganya sangat mahal.”

Kira-kira begitu cerita beliau. Karena beberapa minggu dikesalkan dengan kelangkaan ikan, ia memutuskan bertanya pada nelayan dan pedagang yang ada di pasar lelang ikan. Mereka bercerita bahwa tangkapan mereka sebenarnya banyak, tapi di tengah laut kapal-kapal besar dari Makassar sudah membeli pasokan ikan mereka. Tidak hanya itu, kapal-kapal besar memberikan nelayan harga yang tinggi untuk ikan-ikan tangkapan yang memang berkualitas. Kira-kira begitu cerita dari para nelayan yang ditemui di pasar lelang ikan. Kabar ini mengagetkan dan mengecewakan tentu saja bagi pasar domestik kota Jayapura. Ikan terbaik tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, karena bisa jadi nelayan lebih pilih harga tawar yang tinggi. Jika saya lanjutkan lagi dengan cerita bahwa teman saya yang pernah ke Papua menyaksikan nelayan usai menjual ikan, pergi ke pasar untuk membeli ikan kaleng, mungkin akan membuat logika pangan ini sudah tidak adil bagi siapapun di negeri ini.

Ketika banyak berita positif yang mengisahkan usaha Mentri Susi Pudjiastuti dalam memerdekakan nelayan sepertinya masih memerlukan helaan nafas yang panjang. Tidak hanya pelarangan ekspor impor luar negeri yang sudah di gagas dan dikerjakan beliau, dalam lingkar yang lebih kecil lagi dalam pemenuhan kebutuhan ikan wilayah domestik harus menjadi pekerjaan bersama. Saya juga menemukan sebuah data di situs berita informasi lingkungan, Mongabay Indonesia, yang boleh jadi membantu pemahaman kita akan logika pangan yang carut-marut ini. Dikatakan oleh Koordinator Kajian Bidang Strategis Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang saya kutip[3]:

“Alan menjelaskan tahun 2011 ketika armada kapal besar penangkap tuna masih beroperasi penuh,  produksi tuna mencapai 800.000 ton per tahun.  Ikan tuna yang diekspor 200.000 ton, sehingga ada selisih 600.000 ton. Jumlah itu kemana? Apa semua masuk ke pasar domestik? Saya tidak yakin. Mungkin jumlah itu yang diekspor, tapi tidak tercatat. 600.000 ton tuna kalau diopitimalkan ke pasar domestik, akan luar biasa,”

Begitu pula dengan cabai rawit. Selera rasa pedas pada masakan nusantara menjadi sebuah cerita yang berujung pedas, ketika harga cabai tiba-tiba tidak masuk akal. Saat mencari-cari berita, baik cetak maupun di media elekteronik, kebanyakan permasalahan harga cabai cenderung berkaitan dengan isu cuaca yakni banjir yang mengakibatkan gagal panen. Atau selain itu dominasi isu yang ditemukan adalah harga pupuk dan pestisida yang tinggi mengakibatkan harga cabai juga naik. Hal yang berbeda akan saya ceritakan dari temuan Ibu saya. Di Kota Jayapura bulan lalu harga cabai 185.000, yang jelas naik lebih dari 100% dari harga normal sekitar 80.000. Lagi-lagi setelah berbincang ala ibu rumah tangga dengan pedagang dan distributor cabai di pasar lokal, Ibu saya bercerita ternyata penyebabnya bukan stok cabai dari petani yang bermasalah. Persoalan ini berasal dari kebijakan pemerintah yang mengeskpor cabai hasil panen kota Jayapura ke kabupaten-kabupaten yang lain. Asumsi saya kemudian sama seperti yang ditemukan dalam permasalahan pasokan ikan, yakni harga tawar yang lebih tinggi dari kabupaten lain membelokkan pasokan domestik.

Beda kota beda permasalahan pangan. Sepertinya hal ini harus menjadi perhatian pihak-pihak pemerintahan di tiap kota. Tentang bagaimana kelayakan kebutuhan pasar semestinya disesuaikan dengan sumber daya kota dan daerah masing-masing. Harga cabai yang sudah biasa naik di pasar pulau Jawa yang selalu disorot perhatian media, sepertinya mesti juga menampilkan isu-isu pangan lokal yang dihadapi bangsa Indonesia lainnya. Indonesia Timur dalam kasus ini saya rasa telah menjadi daerah yang termarjinalkan dalam hak-hak mengenai pemenuhan kebutuhan pangan yang layak, baik layak dalam konteks gizi, harga, dan konteks kebutuhan konsumsi berbasis kultur lokal.


[1] Counihan, Carole dan Siniscalchi, Valeria. 2014. Food Activism: Agency, Democracy and Economy. London: Bloomsbury Academic.

[2] https://indoprogress.com/2011/01/menyelamatkan-pertanian-dan-menjamin-kedaulatan-pangan-2-selesai/

[3] http://www.mongabay.co.id/2016/06/21/perlukah-indonesia-jadi-pengekspor-tuna-terbesar-dunia/

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.