Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Pekan Membaca Bakudapan #3: Kopi dan Budaya Kafe

Esai
  • 28 Agustus 2016
  • Bagus Anggoro

Satu sore pada pertengahan April 2016, saya sengaja berkeliling Yogyakarta dengan naik sepeda motor untuk mencari angin segar. Melakukan semacam wisata kota dan mengambil rute melalui berbagai ruas jalan utama dan berbagai pusat keramaian yang ada di dalam kota. Satu hal yang mencuri perhatian saya adalah munculnya berbagai macam kafe dan kedai kopi di berbagai penjuru kota yang kemudian berfungsi sebagai tempat nongkrong yang senantiasa didatangi pengunjung setiap malam. Saya mengakhiri perjalanan sore itu dengan beristirahat di sebuah kedai kopi pada area utara kota Yogyakarta. Bertemu kawan dan mengobrol, kemudian saya menceritakan apa yang saya lihat sore itu, dan diamini oleh kawan saya dengan jawaban, “Iya kok, emang sekarang Jogja banyak kafe sama tempat ngopi.”

Obrolan itu pada akhirnya membuat saya memikirkan ulang apa yang telah sering saya lakukan selama ini. Ya, saya memang sering menyambangi berbagai kafe atau kedai kopi yang ada di berbagai titik di Yogyakarta, namun saya tidak pernah mempertanyakan kenapa orang datang ke kafe dan kenapa kedai kopi? Atau mungkin lebih dalam lagi kenapa kopi? Bukan jahe atau ronde atau sekoteng? Seketika saya mencoba memikirkan berbagai alasan orang untuk datang ke kafe atau kedai kopi. Tak ada kelegaan yang muncul, dan akhirnya saya mencoba mencari berbagai sumber literasi.

Melalui kesempatan yang ada, saya mencoba mendiskusikan ini bersama kawan-kawan dalam Pekan Membaca Bakudapan. Pada kesempatan ini, saya memilih sebuah bacaan dari Media-Culture Journal yang berjudul “Eat, Drink and Be Civil: Sociability and the Cafe”[1] yang ditulis oleh Emma Felton. Artikel ini membahas tentang tumbuh suburnya budaya kafe di Australia dan oleh penulisnya hal ini dianggap berkaitan erat dengan perkembangan kota dan masyarakat urban, penciptaan ruang publik yang mampu memberikan kenyamanan, serta sifat egalitarian yang mampu diciptakan sebuah kafe.

“Coffee changes people. Moreover it changes the way they interact with their friends, their fellow citizens and their community” (Ellis, 24).

Melalui kutipan di atas, Felton seakan ingin memberikan gambaran bagaimana kopi yang awal mulanya hanya sebuah minuman, mampu mengubah cara berinteraksi dan bersosialisasi seseorang atau sekelompok orang. Lebih jauh bagaimana kopi terkomodifikasi sedemikian rupa sehingga kemudian menjadi kanal yang menciptakan ruang-ruang bagi masyarakat untuk bersosialisasi dan semua orang bebas untuk mencari ruang kenyamanan mereka masing-masing. Kopi pun pada akhirnya telah bertransformasi menjadi sebuah ruang bagi publik yang umumnya berbentuk kafe atau kedai kopi.

Berbagai wacana dan narasi tentang kopi akan mudah kita jumpai hari ini, berbanding lurus dengan tumbuh suburnya berbagai kafe serta kedai kopi di berbagai penjuru kota. Sebagai seorang yang memperhatikan pertumbuhan kedai kopi dan kafe di kota Yogyakarta, saya sempat melakukan observasi singkat terhadap hal ini. Sebagian dari kedai kopi tersebut membawa misi memperkenalkan kopi lokal kepada para konsumen, yang dalam turunannya bisa membicarakan banyak hal, mulai dari rasa dan selera kopi hingga masalah sosial. Dalam diri saya kemudian muncul berbagai pertanyaan tentang hal ini. Benarkah ini memang untuk mendukung gerakan kopi lokal yang berujung pada kesejahteraan petani? Atau apakah kemunculan kedai-kedai kopi ini hanya sebuah tren semata yang mengikuti narasi perkembangan kota disertai juga dengan sebuah gerakan ekonomi baru yang disebut-sebut sebagai “the new middle class”?

Sedikit gambaran, Yogyakarta tumbuh dan berkembang secara dinamis menjadi salah satu kota dengan berbagai keberagaman di dalamnya, mulai dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, suku dan budaya, agama dan kelas sosial. Lebih banyak orang yang datang daripada yang pergi dari Yogyakarta sehingga membuat komposisi kota ini semakin beragam. Bangunan-bangunan pendukung konsumerisme seperti mal, hotel, kafe, restoran dan tempat hiburan pun juga semakin marak bermunculan beberapa tahun terakhir ini. Semenjak saya menjejakkan kaki di Yogyakarta pada pertengahan 2005 dan tinggal di dalamnya hingga detik ini, saya menyaksikan bahwa dinamika perkembangan ruang urban Yogyakarta sangatlah pesat, yang hadir di tengah masyarakat dalam segala macam bentuk, cara, dan berbagai kompleksitasnya.

Komoditas kopi pun juga turut hadir di dalamnya yang termanifestasikan dalam berbagai jenis kafe dan kedai kopi yang bermunculan di Yogyakarta. Keragaman ini dapat diasumsikan sebagai siasat para pengusaha warung kopi yang melihat dinamika konsumen menikmati kopi dengan berbagai macam cara, mulai dari kopi sachet yang tersedia di angkringan atau warung burjo (bubur kacang ijo), kedai kopi waralaba semacam Starbucks atau yang bersatu dengan makanan seperti Dunkin Donuts dan J.Co hingga kopi lokal dengan berbagai varian harga. Kopi sebagai komoditas yang diruangi oleh kedai atau kafenya memang seakan sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Yogyakarta.

“Cafe culture is not a new phenomenon, though its current manifestation differs from its antecedent, the sixteenth-century coffee house. Both the modern cafe and the coffee house are notable as places of intense sociability where people from all walks of life mingle” (Ellis 2004).

Hari ini kafe dan kedai kopi terus bertransformasi dengan bentuk dan isu-isu terbaru. Menurut amatan saya, saat ini mulai banyak kedai kopi yang menawarkan dan juga mengampanyekan kopi lokal dengan berbagai nilai baru yang disematkan di dalamnya. Konsep keterbukaan dimana cara dan proses pembuatannya yang ditunjukan ke konsumen, baik dalam proses mengolah tanaman kopi menjadi biji kopi yang dilakukan di luar kedai kopinya, hingga membuat biji kopi tersebut menjadi secangkir kopi yang tersedia di hadapan konsumen. Sembari menunjukan prosesnya, para pemilik kedai kopi ini juga berusaha menyebarkan ‘doktrin’ seputar perkopian, seperti cara menikmati kopi yang benar, lokalitas kopi dan apresiasi akan produk milik sendiri, hingga ke masalah kesejahteraan petani.

Saat bacaan ini dilemparkan dalam Pekan Membaca Bakudapan, berbagai pendapat pun muncul. Salah satunya adalah bagaimana kita dengan cepat dan tanpa melihat lebih kritis akan mengamini seperti apa yang ada dalam tulisan ini, yaitu melihatnya sebagai kebutuhuan masyarakat akan fasilitas kota. Kebutuhan akan ruang yang nyaman ini dianggap sebagai sebuah kebutuhan kota. Semakin berkembangnya kota ke arah metropolitan tentu saja di satu sisi juga akan memunculkan banyak permintaan untuk kota itu sendiri. Kafe dan kedai kopi yang bermunculan di dalam kota pun juga muncul dalam rangka memenuhi kebutuhan ‘nyaman’ itu. Saya rasa, dalam konteks Australia dan Indonesia tentu akan mengalami perbedaan yang signifikan.

Misalnya di negara Australia seperti penggambaran Felton, kenyamanan dalam ruang untuk konteks kota-kota besar seperti Melbourne atau Sydney dianggap langka sebab harga properti yang sangat mahal sehingga menjadikan mereka tidak punya ruang cukup untuk menciptakan kenyamanan dalam rumah tinggal atau apartemen. Oleh sebab itu, kedai kopi adalah salah satu bentuk penciptaan ruang baru yang terjangkau, mudah diakses, dan dapat digunakan untuk beraktifitas seperti bekerja, menulis, membaca, dan lainnya dengan nyaman.

Sementara itu, dalam situasi kota Yogyakarta nampaknya kita harus lebih jeli lagi melihatnya. Tentu saja observasi ini tidak bisa dilakukan dengan singkat, belum lagi melihat kultur masyarakatnya yang cukup kompleks. Tetapi paling tidak lewat diskusi ini kami mulai membicarakan dan memetakannya dalam bentuk yang paling terlihat. Misalnya, sampai saat ini pun masih ada kelompok masyarakat yang minum kopi di angkringan atau kedai kopi bukan sembari bekerja, tetapi lebih sebagai ajang interaksi dan membicarakan hal-hal sehari-hari hingga politik atau apapun yang menarik untuk didiskusikan. Dalam bahasa Jawa kerap disebut ngudoroso. Bentuk ini pun bisa dilihat sebagai pencarian kenyamanan oleh warga dengan kelas sosial tertentu.

Seiring dengan perkembangan kota Yogyakarta yang saya kemukakan dengan singkat sebelumnya, mungkin menjadikan kebutuhan akan ruang “nyaman” ini semakin beragam, termasuk dalam cara meminum kopi. Baik kafe, angkringan, maupun kedai kopi tidak saja termanifestasikan sebagai tempat untuk sekadar ‘minum’ lantas pergi, namun juga menjadi sebuah tempat di mana orang bisa bertemu satu sama lain dan menetap untuk beberapa saat di dalamnya. Dengan pemaknaan seperti ini, pada akhirnya kopi sendiri sudah bertransformasi menjadi bentuk lain. Terserap dalam bahasa lokal, kopi tidak lagi dimaknai sebagai sebuah minuman, namun sebagai sebuah kegiatan yang bernama ngopi.

Pada dasarnya, ngopi memang tidak hanya merujuk pada sebuah tempat berjualan kopi karena dengan ngopi orang juga belum tentu minum kopi. Ada hal lain selain kopi yang dicari dalam ngopi semacam obrolan, teman, waktu santai hingga hal serius misalnya diskusi politik. Kadang juga ada jargon sindiran dalam bahasa Jawa yang berkata,“Pamit ngopi kok pesene es coklat opo teh anget?”[2] Sebuah kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial untuk saling bertemu satu sama lain, dan hal ini terfasilitasi dengan kopi yang bertransformasi sebagai kegiatan ngopi dan sebuah ruang semi publik (semi public space) bernama kafe atau kedai kopi.

Dikatakan semi public space karena walaupun sebuah kafe bertujuan menjadi ruang publik di mana orang bisa bertemu satu sama lain namun akan selalu memiliki aturan serta batasan tidak tertulis di dalamnya, terutama menyangkut teritorial. Sebuah kafe atau kedai kopi seringnya akan identik dengan satu kelompok tertentu, yang kadang membuat orang-orang baru atau di luar kelompok tersebut merasa enggan untuk mendatangi tempat tersebut dan membaur dengan yang sudah ada. Memang benar, bahwa mayoritas pengunjung kafe atau kedai kopi yang ada di Yogyakarta selalu datang berombongan atau minimal dua orang daripada seorang diri. Kalaupun ada yang seorang diri, pasti memiliki satu hubungan tertentu dengan tempat tersebut.

Contohnya saya suka kopi dan bergelut di skena musik, lantas saya sering datang ke Pier 14 Coffee karena di sana memang sering dijadikan tempat berkumpul kawan-kawan saya dari skena musik dan penggemar kopi lainnya. Adapun pengunjung lain yang mengunjungi tempat itu karena kenal pemilik maupun dengan orang-orang yang sudah ada di dalamnya. Pengunjung baru apabila tidak familiar akan tampak malu-malu saat pertama kali datang. Hal ini dalam konteks ruang kafe atau kedai kopi dalam tulisan Felton dikatakan sebagai sebuah bentuk ‘kesukuan’ atau ‘tribes’ yang lebih menjelaskan pada komunitas. Walaupun dianggap sebagai ruang publik, tetapi sepertinya ia tidak pernah benar-benar bersifat terbuka. Tentu saja ini saya rasakan dalam kedai-kedai kopi lokal yang berbeda dengan kafe waralaba yang terletak di pusat perbelanjaan seperti Starbucks atau J.Co.

Dalam pandangan saya, tulisan Felton ini memang terasa kurang sesuai apabila dibicarakan dalam konteks Yogyakarta. Memang Yogyakarta adalah sebuah kota besar, namun kompleksitas kehidupan dan kelas sosial yang ada di dalamnya tentu tidak sama dengan kota-kota seperti Sydney atau Melbourne. Misalnya saat Felton membandingkan kedai kopi dengan bentuk bar yang biasanya menjual minuman beralkohol, yang tidak cukup banyak keberadaannya di kota ini. Dalam tulisan ini, ia menceritakan bahwa kedai kopi lebih egaliter, terutama terhadap kaum perempuan yang merasa lebih diterima dalam kedai kopi dibanding dalam bar. Tentu saja hal ini berbeda dengan situasi di Yogyakarta. Malahan, mungkin saja kedai kopi dirasa tidak egaliter, dalam kaitannya dengan kegiatan nongkrong yang biasa dilakukan hingga larut malam atau bahkan pagi hari.

Kegiatan nongkrong hingga larut, disadari atau tidak, masih kerap diasumsikan sebagai kegiatan yang bersifat maskulin, terutama oleh norma sosial yang berlaku di kota seperti Yogyakarta. Belum lagi jika menyangkut kelas sosial dan keberadaannya yang disandingkan dengan bentuk angkringan atau burjo, bentuk kedai kopi ini semakin terasa tidak egaliter dengan harganya yang jauh lebih mahal. Saya cenderung merasa dengan adanya kedai-kedai kopi yang mengusung nilai-nilai tertentu ini, otomatis mengkotak-kotakan para peminum kopi, entah berdasar ideologi, selera dan rasa, maupun harga.

Melalui bacaan yang kami bahas dan konteks kota Yogyakarta saat ini, memang benar bahwa Yogyakarta akan selalu ramai dengan pendatang dan tentunya juga kota ini akan tetap terus berkembang dan bertumbuh. Budaya kafe dan kedai kopi yang ada pun saya asumsikan juga akan tetap terus muncul seiring laju pertumbuhan kota ini. Pada akhir diskusi kami pun mencoba menarik ini semua dan sampai pada pertanyaan ‘sejak kapan sebetulnya hal ini dimulai?’ Ya, memang akan menjadi menarik untuk kembali melihat sejarah urban yang ada di kota ini melalui perkembangan kopi dan budaya kafe serta kedai kopi yang ada di kota ini.

*Gambar diambil dari http://m.dhgate.com/product/custom-european-style-leisure-coffee-shop/242220467.html


Catatan kaki:

[1] http://journal.media-culture.org.au/index.php/mcjournal/article/view/463
[2] “Pamit pergi minum kopi kok pesan es coklat atau teh hangat?”

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.