Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Inspirasi

Sebuah Warung Kopi di Lucky Plaza, Singapura

Publikasi Ulang
  • 16 Januari 2017
  • Umar Kayam

Waktu minggu yang lalu saya berada di Singapura, saya mendapat kesan kota itu semakin kelihatan tampil sebagai belantara beton yang, meskipun cantik arsitekturnya, tetapi juga sekaligus mengerikan. Tentu belum seperti belantara beton New York yang kelabu kusam, dingin, dan kadang tampil garang. Tetapi toh kesan efisien, acuh, cuwek terhadap sesama manusia terasa juga. Maka agak mengejutkan bahwa di pojok tingkat dua Lucky Plaza yang berjubel dengan manusia yang wira-wiri, naik-turun eskalator sembari menenteng tas-tas belanjaan dengan label Metro dan sebagainya itu, saya menemukan sebuah warung kopi. Ya, warung kopi.

Tentu saja bukan warung kopi seperti punya Bu Amat di depan pasar Beringharjo di waktu malam itu. Juga tidak mungkin di situ ada suasana leyeh-leyeh karena, selain Bu Amat menyediakan lincak, Bu Mul yang mangkal nasi gudeg di sebelah menyediakan tikar. Dan aroma yang sedep bin kangen dari bekas sampah yang baru saja disapu tentu juga tidak terdapat di warung kopi yang saya temukan di pojok tingkat dua Lucky Plaza di Singapura itu. Singapura seperti kota modern baru di mana saja kesannya adalah steril, dingin tidak mengandung aroma apa-apa. Kalau Yogya aromanya ‘kan sedap mambu sampah.

Begitulah saya masuk ke dalam warung kopi Mitsubachi. Wah, Jepang lagi! Interior warung itu juga ditata seperti warung kopi Jepang. Dan di rak buku disediakan sejibun komik-komik Jepang yang ditulis dengan hanacaraka yang pating plungker itu. Tetapi, ternyata yang punya adalah seorang Cina Singapura asli yang semua orang di situ memanggil Mr. Tan. Bersama adik-adiknya dikumpulkanlah modal dan mereka pun menyewa pojok itu dan menyulapnya menjadi satu warung kopi yang seronok suasananya.

Ternyata Mr. Tan mempunyai penciuman yang jitu. Untuk para staf business Jepang yang cukup banyak keluyuran di Lucky Plaza sehabis makan siang disediakanlah sentuhan Jepang itu. Nama warung, Jepang: bacaan hiburan sembari minum kopi, komik jepang, dan selain kopi dari berbagai wilayah budaya di seantero dunia juga ada teh Jepang. Maka langganan tetap orang-orang Jepang pun kelihatan cukup besar juga jumlahnya. Dan untuk langganan lain, orang-orang Melayu Malaysia, orang-orang Melayu Indonesia (termasuk Jawa seperti saya) disediakan kopi Java Arabica dan Java Robusta. Daftar kopi Mr. Tan memang mengagumkan. Mulai dari kopi Brazil hingga kopi Afrika ada semua. Juga tehnya. Segala teh Darjeeling, Assam dan entah apa lagi ada semua. Kopi kita, yang cuma diwakili dua, yaitu yang Java Robusta dan Java Arabica itu, saya rasakan kurang. Maka saya pun melantunkan setengah protes setengah pendobosan.

“Mr. Tan, sebagai orang Indonesia saya bangga, lho, kopi negaraku diwakili di sini.”

“Anda dari mana?”

“Saya dari Indonesia, Yogyakarta. Kopi di negeri saya banyak yang yahud, lho!”

“Is that right?”

“Right, tenan, dong. Yang paling seru mahal kopi Toraja.”

“Ah, ya, saya pernah dengar ada orang Jepang menyebut itu. Di mana sih Toraja itu?”

Maka sebagai seorang patriot yang baik, yang sekarang tentu ikut menyukseskan strategi sapta pesona pariwisata, saya pun lantas bercerita tentang Toraja. Lengkap dengan kerbau-kerbaunya dan mayat-mayatnya yang ditauh di gua-gua.

“Eh, negeri yang fantastic. Tapi saya ini kan cuma pemilik warung kopi. Yang penting itu kopinya. Bagaimana rasanya, bagaimana harganya dan pesennya itu di mana?”

Wah mati aku. Kalau pertanyaan begitu prsesis saya ‘kan tidak bisa kasih keterangan.

“Pokoknya, Mr. Tan, kopi Toraja itu kopi surga. Rasanya weh dibanding dengan yang ada di sini, semua jauh lebih-lebih unggul. Tentang harga dan tetek-bengek lainnya itu saya kurang tahu. Begini saja, next time saya ke sini tak oleh-olehi to sudah.”

Mr. Tan tertawa terkekeh.

“You Indonesian always talk big-lah!”

“Lho, true, tenan, Mr.Tan. Nanti tak oleh-olehi to sudah. Lha, masih ada kopi-kopi yang lain. Ada dari Sidikalang. Ada dari Bali. Pokoknya semua kopi dari Indonesia itu good tenan Mr. Tan.”

“Heh…heh…heh… Yang penting itu buktinya, Kalo memang enak jangan kuatir pasti saya pesen.”

Kemudian saya masih terus mendobos (demi pariwisa Indonesia ‘nih) soal caranya membikin kopi yang enak.

“Coba Mr. Tan you coba hidangkan kopi Anda dengan teknik joss.”

“Wah, teknik apa itu?’

“Naaah, ini cuman ada di Solo. Itu pun cuma ada di depan meseum pers, Teknik Joss itu me-ngejoss kopi tubruk panas di cangkir dengan sepotong areng yang mengangah alias membara. Suaranya sampai mak joss begitu. Rasanya? Heavenly, Mr. Tan.”

Mr. Tan menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin dia terheran-heran ada langganan yang penuh pendobosan itu. Eh, dia tidak tahu saja bahwa saya membawa misi sapta pesona pariwisata. Pokoknya semua unsur plus negeri kita mesti kita jajakan, toh? Demi pariwisata, demi lainnya?

Mr. Tan bergeser ke dapur menyiapakan kopi dan membakar toast yang ternyata beraneka warna juga. Ada toast sele kaya, ada toast jamur Jepang dengan keju, ada nasi kare ayam. Harus saya akui rasanya yahud juga. Juga toast sele kaya. Hemm!

Saya kok lantas ingat warung kopi Bu Amat yang teh jahenya yahud, peyek kacang gurih. Tapi ya cuma itu. Dan warung kopi Yu Mulang nebeng di pinggiran Puro Pakualaman itu. Kopi, teh, jadah bakar yang dioles dengan coklat, pisang Ambon yang di-keropok, tahu susur. Wah, alangkah jauhnya mereka dari tempat saya mengunyah toast jamur keju itu. Dan tempat mereka yang gelap, ekonomi mereka yang tertatih-tatih. Kadang jualan, kadang absen karena kehabisan modal. Tetapi, eh, di mana ya warung-warung atau kedai-kedai kopi Singapura lama yang dulu berserakan. Saya ingat salah satu warung itu yang tersuruk di pojokan Change Allery. Di manakan itu sekarang?

Saya keluar dari warung kopi Mitsubachi dengan tubuh yang terasa hangat karena kopi yang enak dan toast yang enak pula. Di esklator saya lihat gerombolan ibu-ibu menggeh-menggeh, terengah-engah, menenteng belanjaan mereka yang menggunung di tas-tas belanjaa. Pasti ibu-ibu Indonesia itu! Tahunya? Ah, gampang. Wajah mereka lebih berseri-seri dari wajah para pembelanja lainnya. Layaknya wajah mereka yang berseri itu bercerita kepada semua orang.

“Dari belanja di Metro dan Isetan lhoo kita….”

Di luar, di Orchard Road, muka saya ketatap lagi dengan deretan pencakar langit Singapura yang dahsyat itu. Saya ingat jalan Thamrin di Jakarta. Di mana warung-warung kopi di jalan Thamrin itu? Saya ingat Malioboro. Ah, Bu Amat, senajan senin-kemis bisnisnya, masih coba membuka warung kopinya, Sampai kapan, Bu Amat, sampai kapan Pak Wali?

21 November 1989


Diambil dari Sketsa Umar Kayam; “Mangan Ora Mangan Kumpul”. 1990. Penerbit : PT. Pustaka Utama Grafiti.

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Jejak Kuliner di Hotel Prodeo
  • Kiriman

Jejak Kuliner di Hotel Prodeo

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
13 November 2017
Tragedi Jari Berkecap
  • Inspirasi

Tragedi Jari Berkecap

  • 264
  • /Publikasi Ulang
20 Januari 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.