Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

Catatan / Esai
  • 27 Januari 2020
  • Khairunnisa

Hampir setiap hari sebenarnya saya punya pertanyaan ini, “makan apa ya?” atau “makan dimana ya asiknya?” Pertanyaan ini pun tentunya akan sulit terjawab dalam waktu yang singkat, terutama kalau saya menentukannya dengan beberapa orang yang lain. Tidak akan habis pergulatan dengan pertanyaan ini jika ada satu atau dua kepentingan mulai bermain — misalnya ada yang ingin makan satu menu tertentu tapi tidak enak untuk mengajak teman yang lain mengikuti kemauannya. Lalu, kondisi ini diperparah dengan adanya teman yang lebih berani untuk mengungkapkan pendapat dan mendorong teman yang lain untuk ikut sejalan dengan keinginannya (baca: tukang maksa secara halus).

Itu bahkan hanya contoh kecil dari apa yang terjadi dalam pertarungan menentukan makan apa.Urusan ‘makan apa’ sendiri sebenarnya kalau ingin ditarik ke tataran yang lebih kompleks lagi bisa menjadi lebih rumit; terkait dengan harga, halal atau tidak, lokasi yang jauh atau dekat, bisa duduk lama di tempat makan atau tidak, dan masih banyak lagi, saya rasa tulisan ini nantinya akan menjadi terlalu panjang. Bagaimana jika pertanyaan ini kita coba lihat dari mereka yang menghasilkan bahan baku makanan, yaitu para petani. Apakah mungkin kerumitan yang dialami terkait ‘makan apa’ akan sama? Mungkinkah kerumitan yang kita alami sebenarnya sangat sepele?

Perkara Lahan

Tulisan ini sendiri tidak berasal dari pengalaman saya bertemu langsung dengan para petani atau melalui proses obrolan yang mendalam dengan mereka. Bisa dibilang, tulisan saya ini didasari atas pengamatan saya dan cerita-cerita pengalaman teman-teman. Kita tentu mengalami kesulitan atau kerumitan terkait dengan makanan salah satunya adalah saat menentukan pilihan menu makanan.

Bagi para petani, mungkin mereka juga mengalami hal yang sama, dengan konteks yang berbeda; tidak dengan pilihan menu makan di luar rumah, tetapi lebih kepada bahan masakan apa yang akan diolah hari itu. Dalam pengambilan keputusan di sebuah keluarga akan terjadi secara kolektif atau diputuskan sepihak oleh bapak atau ibu. Terdapat faktor lain dalam pengambilan keputusan bagi para petani untuk makan sehari-hari, tentunya didukung dengan keuangan mereka yang berasal dari lahan pertanian. Pendapatan mereka dari lahan pertanian tidak hanya menentukan pilihan makanan, tetapi juga untuk menopang perekonomian kehidupan seluruh keluarga mereka. Jika lahan pertanian adalah sumber utama pendapatan mereka, tentunya relasi yang tercipta antara petani dengan lahan pertaniannya dapat dikatakan cukup intens dan erat karena setiap harinya mereka akan selalu berinteraksi.

Antara petani yang membutuhkan lahan untuk hidup dan lahan yang membutuhkan petani agar mereka tetap produktif. Pendapatan yang dihasilkan oleh petani berasal dari lahan pertanian mereka yang produktif dan juga subur, sehingga tidak sulit untuk mencapai musim panen. Pertanian merekapun tidak melulu untuk memenuhi permintaan pasar, terkait dengan apa yang bisa dijual, tapi juga dengan apa yang bisa mereka konsumsi untuk sehari-hari. Tentu, tidak semua petani akan memiliki pola kerja yang sama, yaitu menjadi petani subsisten; menanam tanaman komoditas dan juga untuk konsumsi pribadi. Kedua kepentingan ini biasanya otomatis akan sejalan tumbuh tanpa mementingkan satu diantara yang lain. Dengan pengetahuan turun menurun mereka, mereka menciptakan sistem pengaman, sehingga jika terjadi gagal panen atau musim panen datang terlambat kebutuhan konsumsi pribadi pun tidak akan terganggu. Memang, pendapatan mereka akan berkurang tapi masih bisa menunjang kebutuhan lainnya, sebab untuk urusan konsumsi sehari-hari akan tetap terpenuhi.

Menjadi petani subsisten adalah gambaran ideal kehidupan petani, terlebih saat mereka mempunyai lahannya sendiri. Secara pribadi, mereka akan sangat mandiri; tidak terikat dengan biaya sewa lahan, naik turun harga jual, dan ketergantungan terhadap konsumsi atas bahan pangan di pasar. Saya membayangkan posisi para petani seperti itu, merupakan salah satu pekerjaan yang menjanjikan, tetapi kenyataannya berada pada posisi yang rentan.

Hilangnya Pilihan Demi Kepentingan

Posisi rentan yang dihadapi oleh para petani sudah lama terjadi, yang paling saya ingat pada masa kebijakan Revolusi Hijau sekitar tahun 1950-an. Kalau membicarakan apa yang terjadi sekarang, yang paling dekat dan masih lekat dengan ingatan kita adalah penggusuran lahan para petani di Temon, Kulon Progo. Para petani di Temon melakukan perlawanan atas penggusuran lahan mereka untuk pembangunan bandara baru di Yogyakarta, yaitu New Yogyakarta International Airport (NYIA). Lahan yang digusur ini merupakan lahan pertanian milik pribadi; masih produktif, aktif, subur, sumber ekonomi, dan warisan leluhur. Memang, kalau hanya melihat lahan sebagai “tanah” tanpa memahami apa sebenarnya maknanya bagi para petani di sana, dapat dengan mudah memberi solusi, seperti ganti rugi uang, maka semua akan beres. Mendapatkan ganti rugi berupa uang merupakan imbalan yang “dianggap” adil atas pelepasan lahan milik pribadi demi kepentingan publik. Ya, bagi saya, kepentingan publik sering digunakan sebagai alasan yang menekan pihak-pihak tertentu untuk menyerahkan hak milik atas lahan mereka. Memang, bandara ini kan menjadi pintu gerbang perekonomian yang besar bagi Yogyakarta; membuka jalur langsung penerbangan internasional, memberi lahan pekerjaan yang baru, dan pariwisata pun akan semakin maju dan sederet logika pembangunan kapitalis lainnya. Alasan-alasan ini dianggap menjadi kepentingan bersama yang sering mengorbankan satu pihak tertentu, pada kasus ini para petani di Temon-lah yang dihilangkan haknya untuk dapat memilih.

Tentu jika bisa memilih, para petani di Temon akan menolak untuk dipindahkan dan diambil lahannya guna kepentingan bersama, yaitu NYIA. Mendapatkan ganti rugi uang bukanlah perkara mudah bagi mereka. Bagi para petani uang tidak dapat menggantikan “kehidupan” yang dicerabut dari mereka. “Kehidupan” disini mengacu pada lahan pertanian, di mana sebelumnya saya mencoba menggambarkan bahwa seluruh hidup petani berpusat pada lahan pertanian tersebut, mulai dari kehidupan sosial, ekonomi, politik hingga spiritualnya. Mungkin uang ganti rugi bisa dipakai untuk membeli lahan pertanian baru? Ya, mungkin, tapi harga tanah sendiri sekarang sudah menjulang tinggi, apa cukup? Di Condong Catur sendiri, cukup masuk kedalam area kampung, harganya sudah mencapai Rp 4,000,000/m².

Kembali lagi jika mengacu pada memaknai lahan hanya sekedar tanah, properti atau benda mati, memang akan mudah menggantinya dengan produk atau benda lain. Namun, jika melihatnya lebih dalam lagi bagaimana relasi yang tercipta atas hubungan antara petani dan lahannya, pengetahuan apa saja yang tercipta juga berkembang didalamnya, membuat “mengganti uang” tidak menjadi solusi. Kalau lahan pertanian berada dalam posisi rentan karena ada kekuatan lebih besar, yaitu pembangunan demi kepentingan publik, berapa banyak lagi petani yang harus kehilangan lahannya demi segelintir orang yang disebut “publik”?

Melihat Kembali Penolakan

Kondisi di Temon saat ini semua rumah yang pada awalnya masih bisa bertahan, di bulan Juli 2019 kemarin, semuanya telah rata dengan tanah. Para petani bukan hanya kehilangan rumahnya tetapi juga kehilangan lahan pertanian mereka. Kehilangan yang mereka alami ini bukan berarti menjadi akhir dari perlawanan dan menyerah. Mereka terus bertahan. Tidak hanya bertahan secara fisik, yang berarti bertahan di area yang dekat dengan pembangunan bandara. Bertahan juga berarti secara terus menerus konsisten menolak ide pembangunan itu sendiri. Bagi saya, melihat penolakan itu sendiri sekarang tidak bisa secara hitam dan putih, misalnya kalau saya menolak pembangunan NYIA, berarti saya tidak akan pernah menginjakkan kaki saya di sana atau menggunakan fasilitas dari bandara itu sendiri. Terkait dengan isu NYIA sendiri penolakan yang bagi saya bisa dilakukan adalah dalam bentuk kesadaran, sadar akan isu pembangunan yang tidak berkeadilan yang terjadi di sekitar saya. Menjadi lebih peka terhadap wacana-wacana “pemajuan” yang seringkali digunakan untuk menghisap dan mengeksploitasi kelompok dan warga miskin.

Kulon Progo sebenarnya hanya berjarak tidak sampai satu jam dari Kota Yogyakarta. Namun profesi petani dirasa sangat jauh dengan kehidupan mereka yang berada di kota, tapi sebenarnya sangatlah dekat. Saya sempat merasa isu penggusuran yang dialami petani di Temon terasa jauh. Namun, kenyataannya, penggusuran semacam ini akan dapat terjadi pada kita yang berada di kota. Penggusuran yang dialami para petani di Temon hanyalah satu kasus dari kemungkinan penggusuran lain yang terjadi di Indonesia atas nama pembangunan dan kepentingan publik. Berdirinya NYIA nanti hanyalah awal mula dari penggusuran-penggusuran di masa mendatang yang memiliki alasan “untuk mendukung akses menuju NYIA” atau “mendukung perkembangan pariwisata” atau “demi memajukan ekonomi”. Kesadaran bahwa penggusuran di Temon adalah permasalahan bersama, merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan kita saat ini. Menolak memiliki spektrum yang berlapis, kita sebaiknya perlahan-lahan mencoba melihatnya satu persatu. Jika lahan pertanian secara perlahan digusur keberadaannya, mau makan apa kita nantinya?

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.