Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

Esai / Publikasi Ulang
  • 1 Juli 2020
  • Fuad Perdana Ginting (Serikat Petani Indonesia)
Gambar diambil dari: The Gecko Project

Masyarakat asli Papua memiliki kearifan lokal yang unik dalam analogi pola interaksi kehidupan mereka dan alam. Mereka tidak hanya memiliki dimensi ekonomi saja sebagai penunjang kehidupan, akan tetapi lebih dari itu memiliki makna religius dan sosial yang sangat berpengaruh pada eksistensi mereka. Masyarakat Papua mengidentikkan langit dengan sosok ayah yang superior yang menurunkan embun dan hujan. Menjelajah ke segala arah untuk mencari kehidupan dan memberi rasa aman. Tanah dimaknai sebagai ibu yang memberikan kesuburan dan nutrisi. Hutan adalah wujud dari yang Maha Kuasa. Hal ini lah yang menyebabkan peran dan keberadaan hutan bagi masyarakat Papua tidak dapat digantikan dengan uang. Namun kearifan lokal itu sedang terkikis dan akan mendapat tantangan frontal dari perkembangan politik ekonomi yang semakin mengarah kepada liberalisasi di segala sektor. Ketika arus modal masuk dan Papua dilihat potensial untuk mengembangkan perkebunan dan pertambangan, kekayaan kultur tadi kerap ditundukkan dan dikalahkan oleh kepentingan kapital.

Adalah konsep food estate yang menjadi momok bagi pertanian tradisional yang bukan hanya menjadi lahan penghidupan namun juga merupakan tradisi budaya (agri-culture) yang memiliki keunikan tersendiri di setiap daerah. Dengan dalih untuk mencapai kecukupan pangan dalam negeri dan ekspor, tahun 2010 ini pemerintah akan melakukan pengembangan lahan pertanian pangan dalam skala besar atau dalam bahasa internasionalnya food estate.

Merauke, target utama pengembangan food estate

Salah satu yang menjadi target utama pemerintah mengembangkan food estate adalah Kabupaten Merauke, Papua. Sejak beberapa tahun terakhir, kabupaten yang kini dinahkodai Bupati Johanes Gluba Gebze sudah mencanangkan program MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Berdasarkan keterangan dari Menteri Pertanian Suswono, pemerintah pusat berniat memanfaatkan lahan datar di Merauke sebagai sumber pembangunan pertanian untuk mencapai sasaran kecukupan pangan dalam negri dan ekspor. Sekitar 500.000 Ha lahan pertanian yang ada di Merauke direncanakan akan dijadikan sebagai tempat untuk pengembangan lahan pertanian pangan dalam skala besar.

Merauke memiliki cadangan lahan pertanian mencapai 2,49 juta hektare, terdiri dari luas lahan basah sekitar 1,937 juta Ha dan lahan kering 554,5 ribu Ha. Bahkan, lahan yang ada hampir semua datar sehingga cocok untuk usaha agribisnis skala komersial. Potensi raksasa itu jelas cukup menggiurkan calon investor. Dalam konsep MIFE ini, nantinya dilakukan penataan manajemen lahan dalam satu usaha pertanian yang terintegrasi. Minimal satu hamparan lahan seluas 1.000 ha yang terdiri 70% usaha tanaman pangan, 9% usaha ternak, 8% perikanan darat, 8% usaha perkebunan dan 5% untuk penggunaan lainnya.

Food Estate atau kita sebut saja Perkampungan Industri Pangan merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Hasil dari pengembangan Food Estate bisa menjadi pasokan ketahanan pangan nasional dan jika berlebih bisa dilakukan ekspor. Dan karena skala pertanian ini sangat besar dan luas, maka pengelolaannya juga dilakukan oleh perusahaan industri. Tentu proyek ambisius food estate ini menarik banyak investor perusahaan-perusahaan industri pangan nasional maupun konglomerasi internasional. Sedikitnya terdapat enam swasta nasional yang sudah siap mengucurkan uangnya untuk menggarap agribisnis di MIFE. Mereka adalah Bangun Tjipta, Medco Grup, Comexindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, dan Wolo Agro Makmur.

Pemerintah telah membuat sejumlah payung hukum bagi konsep food estate ini sehingga investasi swasta, termasuk asing, bakal tersedot ke dalam negeri. Penerbitan Instruksi Presiden No 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009, termasuk di dalamnya mengatur investasi pangan skala luas (food estate). Bahkan saat ini kementrian pertanian masih menunggu dikeluarkannya PP tentang pemanfaatan tanah terlantar.

Setiap perusahaan bisa mendapatkan izin untuk mengelola lahan maksimal 10 ribu hektare, kecuali untuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Izin pengelolaan diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan bisa diperpanjang lagi untuk 35 tahun lalu 25 tahun. Adapun pembagian lahan untuk proyek di Merauke, 1 juta hektare lahan akan dialokasikan untuk penanaman tanaman pangan, 100 ribu hektare dialokasikan untuk peternakan, 100 ribu hektare untuk perikanan, dan sisanya untuk perkebunan.

Area yang tersedia dibagi dalam 10 cluster sentra produksi pertanian dan empat cluster prioritas, yaitu cluster Greater Merauke (padi sawah dan gogo serta jagung), Salor (padi, tebu, jagung, sapi, kacang tanah, dan kacang kedelai), Kartini (jagung, kacang tanah, kedelai, dan buah-buahan), serta Muting (Kacang tanah, sawit, dan buah-buahan).

Dari sini dapat dilihat bahwa konsep food estate ini akan membuka keran sebesar-besarnya bagi para pemodal untuk dapat menguasai lahan pertanian bahkan dapat dikatakan konsep food estate ini merupakan land grabbing (perampasan tanah-red) pertanian oleh pihak swasta yang dilegalkan pemerintah. Akibatnya, kepemilikan lahan milik petani rakyat berkurang secara signifikan,  kehidupan petani akan memburuk karena tergusur korporat, dan petani akan menjadi buruh di tanahnya sendiri.

Pengembangan konsep food estate ini membahayakan karena swasta asing bisa menguasai pertanian dari hulu sampai hilir. Sektor yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak ini tidak seharusnya dilepas pada mekanisme pasar, karena dapat mengganggu cita-cita kedaulatan pangan akibat kemungkinan terjadinya monopoli dan harga yang tak dapat dikendalikan.

Bagi kalangan investor besar, pengembangan food estate bisa memberikan jawaban. Tapi bagi peningkatan kesejahteraan petani yang berlahan sempit, food estate belum mampu menjawab persoalan malah makin memperparah keterpurukan petani setelah kebijakan-kebijakan berbau neoliberal yang diterapkan pemerintahan ini. Pengembangan food estate justru bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani.

Pembukaan lahan secara besar-besaran yang akan dilakukan oleh para investor dalam program food estate pasti menimbulkan kegelisahan bagi masyarakat adat di Kabupaten Merauke. Pasalnya, dalam hal ini pihak adat tidak pernah diajak berembuk bersama dengan pemerintah maupun investor. Sehingga masyarakat adat dirugikan dengan keadaan tersebut. Warga Papua akan menjadi penonton dan akan semakin jauh terpinggirkan. Dan program ini menurut Moyuend wakil ketua I LMA (Lembaga Masyarakat Adat) Papua kurang pas karena pemerintah membuat suatu loncatan dari masyarakat yang saat ini masih peramu (meramu sendiri makanannya) ke arah yang lebih tinggi. Masyarakat tradisional Papua yang minoritas akan terpinggirkan jika pengelolaan tanah beralih ke sistem modern dan dengan dibukanya kesempatan yang luas untuk pendatang masuk ke merauke.

Pemerintah dapat belajar dari penerapan program perkebunan inti rakyat (PIR) di Papua pada awal tahun 1980-an, dampak sosial yang ditimbulkan sangat tinggi. Masyarakat asli Papua dihadapkan pada peralihan pola hidup, dari meramu menjadi pola industri yang berbasis perkebunan rakyat yang sebenarnya asing bagi mereka. Hutan kayu dan sagu yang sebelumnya menjadi basis hidup mereka tiba-tiba lenyap dan berganti menjadi kebun kelapa sawit. Reproduksi pangan seperti umbi-umbian dan sayur mayur mulai sulit dilakukan, binatang buruan sulit didapatkan.

Program food estate yang dicanangkan ini semakin membuat masyarakat asli Papua terpinggirkan. Karena harus diakui dalam dimensi investasi, penguatan sosial masyarakat kerap diabaikan. Yang menjadi fokus utama adalah pertumbuhan investasi dan laju modal. Gagasan dan rasa memiliki masyarakat asli Papua perlu diperhatikan karena mereka melihat tanah bukan semata-mata sebagai modal usaha. Lebih dari itu, tanah adalah bagian eksistensial dari budaya dan keberadaan mereka.

Berikut adalah kemungkinan kerugian implikasi Food Estate:

  1. Potensi lahan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia tidak bisa maksimal dimiliki dan dikelola secar penuh oleh petani Indonesia. Apalagi jika mengacu kepada Undang-undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dengan berbagai turunannya yang memberikan peluang bagi investor untuk semakin menguasai sumber-sumber agraria, Peraturan Presiden No 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi. Peraturan ini jelas akan sangat merugikan 13 juta petani padi yang selama ini menjadi produsen pangan utama. Apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada tersebut masih merupakan petani gurem.
  2. Jika perpres atau peraturan lain yang dihasilkan pemerintah tentang Food Estate ini lebih berpihak kepada pemodal daripada petani maka kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar yang ada selama ini akan terjadi juga di Food Estate. Bisa jadi akan muncul “tuan takur” baru yang menguasai lahan begitu luas dan menjadi penguasa setempat.
  3. Jika peraturan yang lahir nanti memberikan kemudahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola Food Estate maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant based and family based agriculture menjadi corporate based food dan agriculture production. Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.
  4. Jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasi dari Food Estate maka para pemodal akan menjadi penentu harga pasar karena penentu dijual di dalam negeri atau ekspor adalah harga yang menguntungkan bagi pemodal.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menyesalkan langkah yang diambil pemerintah untuk mendongkrak produksi padi nasional melalui program food estate. Pengembangan food estate justru bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Menurutnya, dengan adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant-based and family-based agriculture menjadi corporate-based food dan agriculture production. Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.

Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan persoalan kesejahteraan petani ketimbang mengundang investor besar membangun food estate. Sebab, problem petani berlahan sempit dan kesejahteraan petani hingga kini belum mampu diselesaikan pemerintah. Setidaknya, kini ada 9,55 juta kepala keluarga (KK) petani yang kepemilikan lahannya di bawah 0,5 ha. Karena tidak mungkin petani yang mempunyai lahan sempit bisa sejahtera.

—-

Tulisan ini sudah pernah dimuat di spi.or.id

Artikel Terkait

Related Articles

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Makanan Sebagai Upah: Upaya Mengakses Makanan bagi Kelas Pekerja dan Masyarakat Menengah ke Bawah
  • Inspirasi

Makanan Sebagai Upah: Upaya Mengakses Makanan bagi Kelas Pekerja dan Masyarakat Menengah ke Bawah

  • Esai
  • /Politik Pangan
13 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.