Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

Jika membicarakan tentang dapur dan pengetahuan tentang makanan, tidak akan terlepas dari konteks lokasi dan budaya. Misalnya saja, ada beberapa pengetahuan tentang jenis alat masak yang digunakan di Indonesia namun tidak digunakan oleh negara lain. Atau bisa juga tentang konstruksi rasa enak di satu negara akan berbeda dengan negara lainnya yang memiliki budaya dan situasi sejarah berbeda.

Alih-alih mencoba untuk mencari dan menentukan rasa yang terbaik dari sebuah makanan sebagai sebuah wujud nyata, kami, Bakudapan tertarik untuk mencari tahu bagaimana sejarah, latar belakang dan budaya dalam membangun rasa dan pengetahuan yang berputar dalam makanan dikonstruksi. Upaya itu kami coba implementasikan ke dalam beberapa bentuk kegiatan, lokakarya dan proyek Bakudapan. Antara lain; Unpacking Embodied Knowledge, Please Eat Wildly dan Living Leftover. Ketiga proyek tersebut sama-sama bertujuan untuk mempelajari dan membedah secara perlahan tentang bagaimana pengetahuan makanan diproduksi, direproduksi dan terus diturunkan melalui beragam cara–mulai dari  keluarga hingga campur tangan negara melalui kebijakan dan propagandanya, misalnya.s

Unpacking Embodied Knowldege merupakan upaya Bakudapan untuk memetakan tentang dari mana pengetahuan menggunakan alat masak yang sering dianggap sebagai pengetahuan yang diterima begitu saja terjadi, dan melalui moda apa pengetahuan ini diturunkan. Kami memulai proyek ini dengan ketertarikan kami pada alat masak yang berfungsi untuk menumbuk dan menghaluskan. Untuk itu kami mengadakan lokakarya membuat “Sambal” di Cemeti Institute For Art and Society pada 6 September 2017. Kami menyediakan beberapa jenis alat penumbuk dan penghalus untuk membuat sambal yang berbeda bentuk dan cara penggunaan. Kami menyediakan cobek dari batu, kayu dan porselen serta mesin blender. Lalu, kami mengundang para partisipan dan membaginya menjadi beberapa kelompok untuk membuat sambal dengan menggunakan salah alat tersebut pada setiap kelompok. Tentu saja, tidak ada peraturan yang mengikat tentang jenis dan cara membuatnya. Peserta bebas untuk membuat sambalnya dan menentukan rasa sambal yang enak bagi mereka secara personal.

Setelah membuat sambal, kami mengadakan diskusi berdurasi 1 jam membahas tentang bagaimana warisan pengetahuan tentang sambal sampai kepada mereka, mulai dari soal teknik dan alat yang dipakai hingga soal resep dan rasa. Upaya memanggil kembali ingatan dipilih untuk membongkar dan menelaah ulang tentang proses reproduksi pengetahuan dan sejauh apa pengetahuan itu mampu bertahan hingga saat ini. Meskipun pada sore hari itu banyak pembicaraan bernada nostalgia yang terjadi, namun hal yang kami sadari adalah bahwa sebuah aktivitas memasak tidak semata-mata berasal dari kemampuan yang terbawa sejak lahir atau terjadi secara alamiah, namun tanpa disadari pengetahuan ini terbentuk melalui aktivitas sehari-hari. Misalnya bagaimana kita tanpa menyadari sering melihat Ibu mengulek sambal sehingga ketika berhadapan langsung dengan cobek, kita tahu bagaimana cara memegang lesung  dan gestur mengulek. Atau melihat kembali perbandingan antara kita dan generasi sebelumnya soal bagaimana kita menggunakan mesin blender yang otomatis, di mana generasi sebelumnya harus membaca manual secara hati-hati, sedang kita saat ini tanpa berpikir langsung memencet tombolnya.

Selanjutnya adalah aktivitas Ngeramban dalam kerangka besar proyek kami tentang Pangan Liar yaitu Please Eat Wildly. Kata “ngeramban” dalam bahasa Jawa ini berarti aktivitas mencari tanaman liar untuk dimakan dari suatu lahan seperti semak-semak, hutan, kebun terbengkalai atau lahan-lahan yang tidak digunakan sebagai tempat produksi makanan. Bakudapan mengajak siapa saja yang tertarik untuk melakukan ngramban di beberapa titik di Yogyakarta. Sembari “ngeramban” niatnya kami melakukan pemetaan pengetahuan akan tumbuhan yang bisa dikonsumsi. Dengan mendatangi, memetik, membaui dan mencicipi secara langsung tanaman ini, pengalaman mendapat pengetahuan ini diharapkan lebih “nyata”. Setelahnya mengumpulkan tanaman, lokakarya dilanjutkan dengan memasak bersama hasil buruan yang kita dapat dengan resep-resep sederhana. Dari rangkaian aktivitas ini, selain persoalan pengetahuan tumbuhan pangan, kami juga banyak mencatat dan mempelajari tentang permasalahan lahan dan batas dalam kaitannya dengan  kepemilikan serta bagaimana kota berkembang yang sebagian besar kasusnya menjadi lebih kapitalis. Selain itu, kami juga melihat kemungkinan ini sebagai alternatif utopis (yang juga mempertanyakan dan mengkritisinya) sebagai cara menyiasati bertahan hidup di kota yang kian padat.

Lalu, sesuai dengan namanya Living Leftover, kami banyak berkutat dengan sisa atau leftover. Awalnya proyek ini kami inisiasi ketika Bakudapan mendapatkan undangan berpameran di salah satu hotel bintang 4 di Yogyakarta bernama Greenhost, yang ironisnya dibangun di lahan yang berubah menjadi sangat “turistik” dan banyak meninggalkan sisa cerita sejarah serta menyingkirkan beberapa warga seolah menjadi “sisa” digerus industri wisata yang makin kapitalis. Selain itu kami juga mendapati beberapa fakta tentang sisa makanan hotel yang beberapa dibuang begitu saja ketika menu sarapan tidak habis. Dalam proyek ini selain membuat instalasi makanan sisa, kami merancang 3 kali even makan siang lalu kami mengolah makan sisa sarapan hotel menjadi menu baru, dan menyantapnya sembari membicarakan tentang sisa dalam berbagai aspek kehidupan.

Selain itu kami juga menginisiasi sebuah tur yang kami namakan “Living Leftover”, dimana kami mengundang partisipan secara umum untuk berjalan kaki menelusuri daerah Prawirotaman, lokus utama dimana proyek ini dijalankan. Selama berjalan kaki kami membuka percakapan dengan beberapa warga lokal yang sudah kami rancang untuk menceritakan tentang sejarah area ini dari perspektif pariwisata.

Proyek ini kemudian berlanjut, ketika kolega kami, Margarida Mendez, salah satu kurator dari Istanbul Design Biennale “A School of School” pada September 2018 mengundang kami untuk membawa ketiga ide tersebut ke Istanbul dalam kerangka desain, yang mana lebih menawarkan jalan keluar dari sebuah permasalahan. Kami melakukan rangkaian workshop Living Leftover dan Ngramban. Selain itu, kami juga memajang terbitan kami yang membahas tentang Unpacking Embodied Knowledge.

Cuaca yang mulai memasuki musim dingin disertai beberapa hari rintik hujan, sempat menyiutkan semangat kami. Kami takut tidak ada yang tertarik untuk datang melakukan Ngramban di sekitar lokasi pameran. Untuk memberi gambaran, lokasi pameran tersebar di beberapa titik berdasarkan pengelompokan karyanya. Ada yang di museum, galeri atau di studio sebuah kolektif. Kami adalah salah satu yang mendapat lokasi di studio kolektif bernama Studio-X dengan fokus tema “Digestion School” yang membahas tentang pangan secara garis besar.

Selain keterbatasan pengetahuan kami, perbedaan latar belakang budaya, geografi dan sejarah membuat beberapa jenis tanaman terdengar dan terlihat sangat asing bagi kami selaku inisiator lokakarya. Bahkan, ada beberapa jenis tanaman yang pertama kami jumpai dan tidak tahu bagaimana cara mengolah dan mengonsumsi atau menyiasati rasanya yang tidak familiar. Alih-alih mencari tahu semua pengetahuan tentang tanaman dan makanan yang ada di Istanbul, kami justru memikirkan metode paling tepat yang bisa mengakomidir seluruh pengetahuan pangan yang dimiliki oleh peserta lalu mendistribusikannya kepada seluruh peserta lokakarya. Metode membagi otonomi ke dalam kelompok kecil dan bekerja secara kelompok adalah metode yang kami pilih saat itu.

Bisa dikatakan kedua lokakarya berjalan dengan lancar. Semua partisipan bergerak aktif untuk saling bertanya dan memberi ide atau informasi tentang tanaman dan makanan. Di akhir lokakarya selalu kami tutup dengan acara makan bersama dari hasil masakan bersama sembari membagi pengalaman dan pengetahuan antar kelompok dan peserta. Selain itu kami juga berusaha memetakan

Melalui lokakarya ini kami berusaha untuk memetakan persoalan urban seperti lahan tanam produktif yang kian menyempit, terkapitalsisasinya ruang-ruang publik, pembangunan yang meninggalkan residu, logika berfikir terhadap sisa sebagai sesuatu yang tak bernilai yang terus di reproduksi hingga keberlanjutan pengetahuan terhadap makanan. Kami menyadari bahwa upaya yang kami lakukan tidak bisa ditakar keberhasilannya dengan pertanyaan “lalu apa solusi atas semua persoalan tersebut?”–   tetapi lebih pada membangun imajinasi siasat hidup menghadapi permasalahan-permasalahan urban tersebut. Seperti halnya yang ditulis oleh arsitek Rem Koolhas tentang pemaknaan Junkspace; ruang yang akan terus menerus ter-reproduksi tanpa sadar karena adanya rutinitas kehancuran dan kemunculan di lingkungan hidup kita[1]. Maka dari itu, bisa dilihat upaya latihan yang dilakukan Bakudapan mencoba untuk menelisik lebih dalam tentang bagaimana memanfaatkan Junkspace sebagai bagian dari kehidupan manusia.


[1] Jean Giesking, dkk., The People, Place and Space Reader, (New York: Routledge, 2014), halaman: 4.

Gatari Surya Kusuma